Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sudah empat tahun bersama-sama memimpin bangsa Indonesia. Selama itu juga, banyak hal-hal yang telah dicapai maupun yang belum dari keduanya.
Salah satu yang belum tercapai adalah tidak terpenuhinya janji kampanye untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen.
Kenyataan pahit itu disinggung oleh Anggota DPR Fraksi Gerindra, Ramson Siagian pada Rapat Pandangan Umum Fraksi Atas RAPBN 2019 di DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
“Setelah tiga tahun (pemerintahan Jokowi), pertumbuhan ekonomi hanya 5,1 persen. Padahal pada kampanye, Jokowi-JK menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7 persen, tapi sampai tahun terakhir Kabinet Kerja masih jauh dari janji saat kampanye,” kata Ramson.
Ditambah lagi, dalam RAPBN 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya ditargetkan sebesar 5,3 persen. Angka itu lebih rendah dibanding tahun 2018 yang sebesar 5,4 persen.
Mengutip dari pernyataan Ramson, data Badan Pusat Statistik (BPS) soal pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin menegaskan melencengnya target mantan Wali Kota Solo itu.
Sejak 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,88 persen, lebih rendah dibanding tahun 2014 yang sebesar 5,01 persen. Setahun berselang, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perbaikan dengan meningkat ke angka 5,03 persen. Tahun berikutnya angka itu naik lagi menjadi 5,07 persen.
Memasuki tahun 2018 berjalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 5,17 persen. Angka itu belum diakumulasi pada realisasi pertumbuhan ekonomi Indoenesia kuartal III dan IV.
Melihat kondisi itu, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan, cita-cita untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 7 persen rasanya akan sulit tercapai. Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri lantaran pemerintah terlalu mengesampingkan peran harga komoditas.
“Pemerintah pada awalnya terlalu overshoot dengan mengesampingkan fakta bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas. Baru di ujung 2017 harga minyak kembali naik, sayangnya kali ini tidak diikuti oleh harga-harga komoditas unggulan misalnya sawit dan karet,” ujarnya kepada JawaPos.com.
Penyebab lainnya, Bhima menilai tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi juga dipicu oleh menurunnya peran sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, kontribusinya pada tahun ini hanya mencapai 20 persen. Angka itu terus anjlok dibanding kontribusi sejak 2015 yang tercatat sebesar 20,99 persen, 20,51 persen (2016), dan 2017 sebesar 20,16 persen.
“Ini cukup menghawatirkan karena industri manufaktur menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar, dan multiplier effectnya tinggi kesektor lainnya. Di era Jokowi, kita terlalu cepat loncat ke sektor jasa, meninggalkan industri yang makin turun. Artinya poin produktivitas dan daya saing masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh tim ekonomi Jokowi,” tandasnya. (hap/JPC)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: