Kerusakan mangrove di Kaltim dinilai sudah cukup mengkhawatirkan. Pemicunya beragam. Perlu upaya masif untuk menekan dan merestorasi hutan bakau tersebut.
bontangpost.id – Dari 220 ribu hektare luas mangrove di Kaltim, tiga kawasan yang paling mendapat sorotan dari organisasi yang bergerak di lingkungan hidup, yakni mangrove di Delta Mahakam, Kukar, Teluk Balikpapan, dan Muara Adang di Paser. Selama 15 tahun terakhir, kerusakan dan degradasi mangrove di tiga kawasan tersebut disebut sangat masif karena perbuatan manusia.
Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Mappaselle menjelaskan, untuk di kawasan Delta Mahakam, kerusakan mangrove terbesar akibat pemenuhan keperluan di sektor perikanan. Sebesar 59 persen sudah beralih fungsi menjadi tambak masyarakat. Hal itu membuat kekhawatiran mangrove di Delta Mahakam bakal hilang jika tidak dilakukan restorasi.
“Kalau di Delta Mahakam itu kawan-kawan dari Yayasan Mangrove Lestari Delta Mahakam yang sudah bergerak membantu upaya restorasi mangrove. Kalau tidak salah dari tahun 2013 sampai sekarang,” ucap Mappaselle, Sabtu (30/7).
Serupa upaya di Delta Mahakam, untuk kawasan Muara Adang, Paser, Pokja Pesisir sejak tahun ini hingga 2023 bekerja sama dengan Planete Urgence Indonesia berupaya melakukan restorasi mangrove di lokasi yang hilang karena pertambakan. Secara swadaya, mereka mengajak masyarakat bisa menerapkan Sistem Silvofishery. Untuk menekan dan melestarikan mangrove di kawasan tersebut.
Silvofishery adalah penghijauan sekaligus budi daya komoditas perikanan dengan nilai ekonomi tinggi yang dilakukan di kawasan mangrove, tanpa harus mengonversi, terlebih mengancam fungsi ekologi mangrove.
“Saat ini kami dalam proses pembibitan. Rencana yang mau kami tanam ada 80 ribu pohon. Sekitar 30 ribu dalam tambak dan 50 ribu di luarnya. Tentu kami sudah melalui tahapan kajian oleh ahli terkait kandungan biologi dan kesesuaian kawasan, jenis mangrove apa yang cocok ditanam. Semua sudah dianalisis,” ujarnya.
Selain akibat praktik alih fungsi mangrove menjadi pertambakan, Mappaselle menyebut, ancaman kerusakan hutan bakau itu paling besar adalah pembangunan kawasan industri. Jika mangrove dibuka untuk sebuah tambak dan tidak digarap lebih dari lima tahun, maka secara alami kawasan itu akan tetap bisa dipulihkan.
Sementara bila hutan bakau dirusak dan dibabat untuk alih fungsi kawasan industri, kawasan mangrove akan benar-benar hilang selamanya. “Bukan berarti saya membenarkan pembukaan mangrove untuk tambak. Tetapi ketika mangrove dibuka untuk industri, seperti membabat, menimbun, menguruk, reklamasi, maka tamatlah mangrove itu. Itu yang saat ini banyak terjadi di Teluk Balikpapan,” ucapnya.
Dari catatan Pokja Pesisir, Teluk Balikpapan memiliki luas kawasan mangrove sekitar 17 ribu hektare. Semuanya disebut belum mendapatkan status perlindungan. Artinya, sebagai habitat banyak flora dan fauna yang dilindungi seperti bekantan, pesut, dan dugong, pemerintah di sini mengabaikan pentingnya fungsi mangrove. Termasuk sebagai salah satu kawasan yang menjadi gantungan hidup masyarakat khususnya nelayan.
“Karena kita tahu bagaimana ekosistem mangrove memiliki peranan yang penting sekali sebagai tempat berlindung, memijah, mencari makan ikan dan hewan di dalamnya. Tanpa status perlindungan, kawasan mangrove sangat rentan terjadinya alih fungsi lahan,” ujarnya.
Mappaselle menyebut, sedikitnya ada dua kasus perusakan mangrove untuk kepentingan industri di Teluk Balikpapan. Pertama kasus PT MMP, perusahaan yang berencana membangun industri pemurnian mineral atau smelter nikel di Sungai Tempadung, Kelurahan Kariangau, Balikpapan Barat. Dalam temuan Pokja Pesisir diketahui diduga telah merusak lebih 14,4 hektare mangrove.
“Temuan kami, dari hasil investigasi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), ternyata 70 persen dari 22 hektare luas kawasan PT MMP di Sungai Tempadung itu masuk areal mangrove. Jadi mereka datang ke sana, merusak tanpa disertai izin amdal (analisis dampak lingkungan),” kata dia.
Untuk diketahui, kasus perusahaan mangrove PT MMP, KLHK menyatakan, perusahaan tersebut bersalah dan diberikan sanksi administratif. Keputusan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SK.5132/MENLHK-PHLHK/PPSALHK/GKM.0/5/2022 tentang penerapan sanksi administratif paksaan perintah kepada PT MMP yang ditetapkan pada 30 Mei 2022.
Ada tiga sanksi administratif yang diberikan. Pertama, PT MMP dipaksa menghentikan kegiatan pembangunan industri pengolahan nikel beserta fasilitas penunjang lainnya sampai memiliki persetujuan lingkungan.
Kedua, dipaksa memiliki persetujuan lingkungan paling lama 30 hari. Terakhir, PT MMP dipaksa untuk melakukan rehabilitasi mangrove seluas 14,4 hektare dengan berkoordinasi kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan paling lama 30 hari.
Terbaru, Pokja Pesisir melalui Koalisi Peduli Teluk Balikpapan juga melaporkan praktik serupa ke DLH Kaltim. Kawasan mangrove di Jalan Pendekat Pulau Balang, Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Wain, Balikpapan, diduga dirusak oleh sebuah perusahaan tanpa mengantongi amdal. “Kasus-kasus ini yang kami khawatirkan jadi modus perusahaan untuk lebih besar melakukan perusakan ekosistem mangrove. Artinya rusak dulu mangrove-nya, kalau ketahuan baru urus izin,” tambahnya.
Sayangnya, langkah yang dilakukan pemerintah justru lemah. Perusahaan hanya diminta melakukan pengurusan izin amdal. Lalu menanam mangrove sebagai ganti pohon bakau yang dirusak di tempat lain, tanpa dibawa ke ranah hukum. Pemulihan pun dipertanyakan pihaknya, selain lokasi penanaman, Mappaselle menyebut, luas penanaman yang kemudian dikategorikan sebagai pemulihan mangrove tidak sebanding dengan kerusakan yang sudah dibuat perusahaan.
“Apalagi mangrove sebagai ekosistem itu perlu waktu panjang. Tidak serta ditanam selesai. Perlu analisis dan perawatan yang panjang. Karena itu, apa yang dilakukan pemerintah justru bertolak belakang dengan semangat pemerintah melindungi mangrove. Apalagi berseberangan dengan konsep IKN (ibu kota negara) sebagai forest city dan green city,” jelasnya.
Padahal, kata dia, banyak aturan terkait perlindungan ekosistem khususnya mangrove. Seperti Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pelanggaran terhadap pasal itu diancam pada Pasal 73 Ayat (1) Huruf (b) yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar setiap orang yang dengan sengaja: menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, melakukan konversi ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, serta kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Huruf e, Huruf f, dan Huruf g.
“Pasal 22 (1) UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang berbunyi, ‘setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal’,” ucap Mappaselle, mengutip.
Sayangnya hingga kini belum banyak tekanan kepada pemerintah baik di pusat maupun daerah menegakkan aturan tersebut. Justru, kata dia, pemerintah seolah-olah memanfaatkan mangrove sebagai bahan “jualan” untuk memperoleh bantuan dana dari luar negeri.
Sementara praktiknya di lapangan justru tidak melindungi mangrove. “Tidak berarti peraturan yang ada kalau pemerintah tutup mata jika ada praktik perusakan mangrove,” ujarnya.
Adapun data dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove tahun ini di Kaltim terdapat 27.243 hektare mangrove dalam kondisi kritis. Melihat itu, Kepala DLH Kaltim EA Rafiddin Rizal menjelaskan, Pemprov Kaltim sudah memiliki regulasi dalam melestarikan keberadaan ekosistem mangrove. Seperti Perda Kaltim Nomor 1/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalamnya mengatur tentang upaya pengendalian, meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kerusakan mangrove, serta mengatur pemeliharaan ekosistem mangrove melalui upaya konservasi, pencadangan dan pelestarian fungsi ekosistem mangrove.
Kemudian Perda Kaltim Nomor 2/2020 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), yang memuat rencana tentang pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan atau fungsi lingkungan hidup termasuk ekosistem mangrove, serta rencana adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim melalui rencana rehabilitasi ekosistem mangrove sebagai pelindung daratan dari abrasi.
“Gubernur juga sudah menerbitkan SK Gubernur Kaltim Nomor: 522.5/K.672/2020 Tanggal 30 Desember 2020 tentang Penetapan Peta Indikatif Ekosistem Esensial Kaltim yang diharapkan menjadi rujukan bagi para pihak dalam mengambil kebijakan pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Di dalamnya melingkupi atas empat lokasi indikatif KEE Mangrove dengan habitat bekantan seperti Delta Berau, Delta Mahakam, Teluk Sangkulirang, dan Teluk Balikpapan,” paparnya.
Kata Rizal, Kaltim saat ini dalam fase implementasi program penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui skema FCPF-Carbon Fund, yang menargetkan penurunan emisi sebesar 25 persen dari baseline 28 juta ton CO2e.
Salah satu aksi mitigasi yang dilakukan adalah melindungi kawasan berhutan, termasuk mangrove di Kaltim. Emisi tanah hutan bakau sebesar 2,5 persen baseline. Dari periode pelaksanaan pertama dari Juli 2019 hingga Desember 2020, diperoleh penurunan emisi GRK sebesar 25 juta ton CO2e, dan tidak terjadi pembukaan baru tambak di hutan mangrove pada periode ini. “Sejak 2010 pun, penanaman mangrove telah dilakukan oleh Pemprov Kaltim melalui OPD (organisasi perangkat daerah) terkait,” tuturnya.
Selain itu, pengaturan upaya pengelolaan dan pemantauan terhadap ekosistem mangrove di dalam persetujuan lingkungan yang diterbitkan oleh Pemprov Kaltim, terhadap para pelaku usaha/kegiatan yang akan melakukan kegiatan secara legal di lokasi kawasan yang terdapat ekosistem mangrove. (rom/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post