bontangpost.id – Reklamasi pascatambang menjadi salah satu syarat wajib yang harus dipenuhi pemilik konsesi pertambangan. Sebagai bentuk mengembalikan fungsi lahan yang rusak selama tahap eksploitasi. Di Kaltim, tak sulit menemukan areal bekas pertambangan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim pernah mencatat, pada 2018 lalu, Kaltim memiliki 1.735 lubang tambang.
Kewajiban reklamasi sudah diatur di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang misalnya mengatur segala hal dari persetujuan, pelaksanaan, dan pelaporan, hingga penyerahan lahan reklamasi serta pascatambang. Lalu ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sementara di Kaltim, ada Perda Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang.
Namun, belakangan, sejumlah areal bekas pertambangan, termasuk lubang tambang dialihkan pemanfaatannya. Alih-alih direklamasi, sejumlah lubang tambang yang telah menjadi danau, digunakan sebagai lokasi budi daya perikanan dan kawasan sekitar dijadikan areal pertanian dalam arti luas. Sementara dalam sejumlah penelitian ilmiah, kawasan bekas pertambangan telah terkontaminasi kandungan yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang menjelaskan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pihaknya di 17 lubang bekas tambang batu bara yang tersebar di sejumlah daerah menghasilkan data. Sampel air yang terdapat di kolam bekas tambang mengandung logam berat yang melebihi baku mutu yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jadi, areal bekas tambang tidak hanya berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat sekitar, namun lebih luas lagi jika sebagai budi daya perikanan, pertanian maupun sumber air bersih,” ungkap Rupang, Jumat (17/12).
Tahun lalu, Jatam Kaltim melakukan pengujian sampel air di Sungai Santan, Kutai Kartanegara (Kukar). Di mana diduga akibat limpasan dari air kolam tambang batu bara di badan sungai, mengakibatkan sungai tercemar logam berat. Melebihi ambang batas yang ditetapkan, baik dari PP maupun Peraturan Daerah (Perda) Kaltim No 2/2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Dalam laporan Jatam, kandungan logam berat besi (Fe) mencapai tujuh kali lipat dari ambang baku mutu di badan Sungai Palakan dan 16 kali lipat di muaranya, di Sungai Santan. Demikian halnya kandungan logam berat Mangan (Mn) yang mencapai 28 kali lipat di badan sungai dan 29 kali lipat di muara. Konsentrasi tinggi juga ditemukan untuk logam seng (Zn) dan kalsium karbonat CaCO.
“Kondisi ini bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Bisa memicu kanker bahkan pada ibu hamil bisa memicu anak yang lahir dalam kondisi cacat,” bebernya.
Rupang pun meminjam hasil penelitian yang pernah dilakukan mantan wali kota Bontang Sofyan Hasdam. Yang dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor (S-3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) mengangkat soal hubungan kadar logam berat pada lingkungan dengan kejadian penyakit autisme di Bontang, Samarinda, dan Kabupaten Bantul.
Di mana dalam kesimpulannya, kandungan logam berat di air yang berada di dekat aktivitas pertambangan terbukti memiliki dampak terhadap tingkat penyakit autisme.
Dalam jurnal ilmiah itu menjelaskan, air yang tercemar logam berat kemudian berdampak pada ikan dan biota di dalamnya. Melalui rantai makanan, logam berat itu memiliki kemampuan untuk bioakumulasi. Dan anak-anak bisa secara kronis terpapar dari beberapa sumber seperti udara, air dan makanan yang menyebabkan berbagai penyakit karena bertindak sebagai toksin sistemik. Dapat secara langsung memengaruhi perilaku dan mengganggu mental dan neurologis. “Sayangnya pemerintah melegalkan kejahatan ini,” ujarnya.
Bentuk melegalkan itu adalah dengan mengizinkan kawasan-kawasan yang seharusnya direklamasi, justru dimanfaatkan sebagai lokasi budi daya perikanan bahkan sumber air bersih. Seperti yang dilakukan perusahaan air minum daerah di Bontang sendiri. Yang berencana memanfaatkan air kolam tambang sebagai air baku untuk masyarakat Bontang. “Ironisnya krisis air bersih yang terjadi di Bontang justru diakibatkan oleh aktivitas pertambangan itu sendiri,” katanya.
Rupang pun menduga pemanfaatan kawasan bekas tambang sebagai perikanan dan pertanian itu juga menjadi upaya perusahaan menghindar dari kewajiban reklamasi. Sebab, sejak awal, meski ada dana yang berasal dari jaminan reklamasi (jamrek) yang disetorkan ke negara, tak pernah sekalipun pemerintah khususnya pejabat berwenang transparan soal jaminan ini.
“Berapa sih sebenarnya dana yang harus disetorkan dalam konteks pemulihan berdasarkan luas dan kedalaman. Sering yang dihitung rasio yang normatif. Di mana nilainya menurut saya tidak sebanding dengan kerusakan yang dibuat,” bebernya.
Petugas teknis pertambangan yang terdiri dari sejumlah instansi seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta lainnya diduga tidak menyusun dokumen reklamasi secara benar. Mengabaikan syarat-syarat pemulihan lingkungan pascatambang. Hingga berpotensi terjadi penyalahgunaan kewenangan pejabat terkait.
“Ironinya, Pasal 165 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang sanksi setiap orang yang mengeluarkan IUP yang bertentangan dengan UU ini dan menyalahgunakan kewenangannya itu dihapus dalam UU Minerba No 3/2020,” urainya. Artinya, ke depan dokumen reklamasi yang merugikan kepentingan publik akan tumbuh subur.
Jatam pun mengkritisi, sepanjang tiga tahun kepemimpinan Gubernur Kaltim Isran Noor, tidak ada mitigasi dan penegakan Perda Nomor 8 Tahun 2013. Padahal, perda mewajibkan pembentukan Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Daerah. Namun, hingga kini, komisi yang dibentuk pada 16 Mei 2016 sebanyak tujuh orang itu, justru tidak memperlihatkan tanda-tanda ada terobosan untuk menangani masalah darurat lubang tambang di Kaltim.
“Seharusnya peran DPRD Kaltim ada di sini. Bisa mengajukan hak angket atau interpelasi untuk mempertanyakan mengapa perda ini tak dijalankan. Ironinya, wakil rakyat kita tidak kritis,” ujarnya.
Ditanya soal alasan pemerintah memanfaatkan kawasan pascatambang sebagai areal produktif perikanan dan pertanian, dengan tujuan keberlanjutan ekonomi, Rupang dengan tegas menyangsikannya. Sebab, dengan kondisi dan data yang sudah ada, keberlanjutan hanya dinikmati segelintir pihak. Tidak menyeluruh dan mengembalikan ekonomi yang hilang akibat aktivitas pertambangan.
“Tidak akan ada keberlanjutan di suatu kawasan yang rusak. Ekonomi tidak akan tumbuh seperti semula. Karena pertambangan sejak awal lebih banyak menggusur ekonomi yang telah eksis dan mandiri di kawasan tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, Kaltim Post mengutip hasil penelitian berjudul “Potensi Bahaya Kontaminasi Logam Berat di Lahan Bekas Tambang Batu Bara yang Digunakan Sebagai Lahan Pertanian” karya Haryatie Sarie dari Program Studi Pengelolaan Lingkungan, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda.
Penelitian di salah satu bekas kolam tambang yang ditanam pisang dan pepaya itu menguak sejumlah hasil. Seperti berdasarkan hasil analisis di laboratorium logam Hg terdeteksi dalam buah pisang sebesar 0.007 mg/kg dan pepaya sebesar 0.001 mg/kg.
Bila dibandingkan dengan SNI 7387:2009 batas aman logam Hg adalah 0,03 mg/kg. Maka logam Hg dalam pisang dan pepaya itu masih dalam batas aman untuk dikonsumsi.
Sementara kandungan logam Pb terdeteksi di atas batas aman SNI 7387:2009 yaitu 0,5 mg/kg. Di mana kandungan logam Pb dalam pisang adalah 67 mg/kg dan pepaya adalah 53 mg/kg. Itu menunjukkan adanya pencemaran logam berat Pb dan berbahaya bila dikonsumsi oleh manusia.
Efeknya bagi orang yang mengonsumsi buah itu adalah akan terjadi anemia dan kerusakan fungsi otak serta kegagalan fungsi ginjal. Keracunan Pb pada orang dewasa ditandai dengan gejala seperti pucat, sakit, dan kelumpuhan.
TIDAK ABAIKAN KEWAJIBAN
Tidak semua lubang bekas tambang sengaja diabaikan. Perusahaan biasanya menerapkan back filling. Yakni suatu metode penimbunan kembali material overburden di dalam lubang bukaan bekas tambang. Di mana bahan galian tambang telah selesai diambil. Bagi perusahaan tambang yang kompeten dan memiliki data geologi yang baik, metode back filling akan berjalan lancar dan berkelanjutan.
“Kondisi normalnya seperti itu. Karena untuk biaya lebih murah dengan metode ini. Dibandingkan harus membebaskan lahan baru untuk membuang material,” ucap Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda (APBS) Eko Prayitno, Jumat (17/12).
Namun, ada kasus di mana pertambangan dengan sistem sewa pakai. Itu biasanya terjadi pada pertambangan skala kecil. Di mana lahan yang ditambang merupakan milik pribadi atau kelompok tani. Dengan perjanjian tertentu pascatambang. Jika perjanjian awal pemilik menginginkan lubang bekas galian ditutup kembali, maka tidak ada masalah. “Tetapi ada kasus di mana pemilik lahan atau kelompok tani di sekitar wilayah tambang justru menginginkan bukaan tersebut tidak ditutup,” kata Eko.
Bukaan itu, kata Eko, ke depan akan dimanfaatkan pemilik lahan atau kelompok tani untuk budi daya perikanan. Bahkan di daerah yang kering, kolam tambang dimanfaatkan sebagai sumber air untuk pertanian. Di mana perusahaan akan mengantongi surat perjanjian sebagaimana yang diinginkan pemilik lahan. Dan ini akan ditunjukkan ke dinas terkait sebagai bukti perusahaan tidak meninggalkan kewajiban reklamasi pascatambang. “Permintaan ini riil. Dan dokumen yang ada tidak dibuat-buat,” tuturnya.
Lubang yang ditinggalkan atas permintaan itu juga tidak semua akan disetujui. Sebab, dalam satu izin usaha pertambangan (IUP), dengan sejumlah bukaan akan dipertimbangkan oleh inspektur tambang. Apakah bukaan tersebut memang harus direklamasi berdasarkan kajian lingkungan atau bisa dibiarkan atas dasar surat perjanjian dengan pemilik lahan.
“Nanti tinggal dihitung jaminan reklamasinya. Dibuatkan berita acara. Jika jaminan yang disetorkan melebihi biaya reklamasi, ya dikembalikan (ke perusahaan). Tapi kalau negara tekor, ya perusahaan harus tambah,” jelasnya.
Menurut Eko, tidak semua kolam bekas tambang berbahaya. Sebab, dalam perjalanan waktu, kandungan yang berbahaya akibat proses penambangan akan mengendap di dasar kolam. Dan dengan terjadinya longsoran-longsoran, kandungan itu akan tersimpan dan tidak mencemari air di permukaan.
“Sekarang bisa dicek ke Dinas Lingkungan Hidup. Apakah air tersebut berbahaya atau tidak. Kalau disebut airnya bisa menyebabkan orang tenggelam, berenang di Sungai Mahakam pun orang bisa tenggelam,” bebernya.
Memang, tidak serta-merta air di dalam kolam bekas tambang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan produktif perikanan dan pertanian. Namun, ada pula pemanfaatan sebagai kawasan ekowisata. Yang bermanfaat pada perekonomian masyarakat sekitar.
“Jadi, jangan disebut perusahaan sengaja melepas tanggung jawab reklamasi. Pun semua berdasarkan perjanjian antara perusahaan, pemilik lahan/masyarakat dan pemerintah dan dituangkan dalam berita acara,” bebernya. (rom/k16)