Komitmen sanggar seni Telabang dalam melestarikan kebudayaan lokal patut diberikan apresiasi. Dari masa ke masa, sanggar seni yang satu ini selalu selalu komitmen menelurkan kebudayaan kepada generasi muda. Di antaranya dengan melakukan pembinaan budaya dengan go to school.
DEVI NILA SARI, Samarinda
Sanggar Seni Telabang merupakan salah satu sanggar seni dan budaya yang berada di Samarinda. Komunitas yang sudah berdiri sejak tahun 1980-an ini awalnya bernama Bina Tari Taman Budaya, kemudian pada 5 Januari 1990 berganti nama menjadi sanggar seni yang dikenal saat ini yaitu Telabang.
Kenapa diberi nama Telabang? Ketua umum sanggar seni tersebut, Bakti Hartatib menjelaskan, Telabang adalah alat senjata suku Dayak berupa perisai berfungsi untuk mempertahankan serangan musuh.
“Karena itulah kami bisa bertahan sampai saat ini dengan asumsi bahwa Telabang adalah perisai yang mampu melindungi kami dari serangan pihak manapun,” kata dia saat disambangi seusai latihan di Taman Budaya, Kamis (24/5) kemarin.
Sanggar seni yang beralamat di Jalan Padat Karya Perumahan Puspita Bengkuring Blok AG ini beranggotakan sekira 20-25 orang, dari remaja hingga dewasa. Untuk kesenian yang diajarkan, fokus kepada budaya tradisional Kaltim seperti kesenian Dayak dan Jepen.
Selain memiliki anggota tetap, Sanggar Seni Telabang juga memiliki anak-anak binaan dari berbagai sekolah seperti SD Muhammadiyah, SD Negeri 27, SMP Negeri 22, dan SMK Negeri 1. Anak-anak dari berbagai sekolah tersebut kerap membawa nama sekolahnya dan menjuarai berbagai event. Hal ini memberikan semangat tersendiri bagi mereka untuk tetap berjuang melestarikan budaya daerah.
Awalnya sanggar seni ini didirikan untuk menampung kreasi anak-anak putus sekolah sehingga lebih terarah untuk mencintai kesenian. Namun, untuk sekarang lebih kepada membina anak-anak SD agar lebih mengenal budaya lokal.
“Karena anak-anak inilah yang nantinya akan mempertahankan dan melestarikan budaya lokal kita. Yang remaja nantinya akan beranjak dewasa, makanya fokus kami lebih kepada membina anak-anak agar mengenal kesenian tradisional Kaltim,” tuturnya.
Mengenai event yang pernah diikuti sebelumnya, Sanggar Seni Telabang tidak pernah absen mengikuti festival lokal maupun nasional. Sebut saja Festival Mahakam dan Festival Kemilau. Karena fokus utamanya untuk berkompetisi, sehingga mereka selalu mencari peluang agar dapat tampil di depan khalayak.
“Terakhir kami ke Kota Baru, Kalimantan Selatan. Kami ke sana hampir 20 orang. Kemudian festival Pekan Raya, kami juara 1 dan 2 dan masih banyak lagi. Saya tidak memandang mereka juara berapa, yang penting mereka tampil saya sudah bangga. Namun, jika bisa masuk 6 besar,” kata dia.
Bakti menuturkan, kesenian yang ada di Indonesia sangat beragam. Tiap provinsi memiliki kebudayaan masing-masing. Terutama Kaltim, memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dari kesenian lainnya terutama kebudayaan Dayak. Sehingga, dirinya tidak merasa ragu untuk membawa kesenian tersebut ke hadapan publik. Dia mengatakan pihaknya tidak takut dalam berkompetisi.
“Karena semakin banyak anak-anak berkompetisi, semakin kuat mentalnya. Itulah hal utama yang harus kita tanamkan kepada anak-anak sejak dini,” ujar Bakti.
Sanggar seni ini sendiri mengajarkan kesenian tradisional Kaltim seperti tari jepen, tari perang, tari gong, tari enggang, dan kesenian hudoq. Ditanya mengenai momen mengesankan yang pernah dialaminya selama menjadi ketua Telabang, bapak empat anak itu menjawab yaitu ketika tampil di istana Negara.
Bagi Bakti, pengalaman tersebut merupakan kebanggaan tersendiri. Selain itu, dia pun terkenang saat tampil di Banjarmasin pada 2002, membawakan tarian Paramaya.
“Pada saat itu seluruh penonton di Gedung Pangeran Surianyah standing applause ketika penampilan kami selesai. Sampai diberitakan di RCTI dua hari berturut-turut. Kebanggaan itu harganya sangat tak ternilai,” ungkapnya sambil terharu.
Selain itu, pria kelahiran Samarinda 1965 itu menuturkan, sepanjang perjalanan Sanggar Seni Telabang sejak 90-an, suka dukanya selama menjabat ketua adalah ketika harus membatasi anak-anak didiknya untuk tampil di berbagai festival lokal maupun nasional. Dia ingin agar semuanya bisa merasakan pengalaman yang sama.
“Karena saat kami diminta tampil, kadang anggaran hanya cukup untuk sekian orang. Kalau saya maunya agar semua anak bisa merasakan tampil dan berkompetisi di depan orang banyak,” sebut Bakti.
Sehingga, tak jarang bila dia menambahkan kuota menjadi 13 orang walaupun hanya diminta tampil sepuluh orang. Kelebihan kuota itu, disiasati Bakti dengan mengguunakan dana pribadinya. “Yang penting semua orang merasa senang, walau habis-habisan,” ujarnya.
Mengenai pembiayaan sanggar seni yang dia pimpin, Bakti membeerkan, itu semua merupakan dana pribadi. Kecuali ada pesanan khusus sehingga bisa menambah pemasukan kas sanggar. Selain itu, pemasukan lainnya juga berasal dari uang iuran anak-anak yang ikut les. “Namun yang paling banyak berasal dari pesanan-pesana,” pungkasnya. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post