Batu Bara Makin Seksi, Harga Melambung Tinggi

Industri batu bara di Kaltim menopang sumber pendapatan daerah ini. Namun angka itu belum berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang.

bontangpost.id – Batu bara menjadi komoditas “panas”. Harganya belakangan kembali membara. Kaltim turut diuntungkan.

Di tengah kampanye penggunaan energi baru terbarukan oleh dunia internasional, batu bara terus menjadi barang penting bagi sejumlah negara konsumen terbesar seperti Tiongkok dan India. Belum lagi pasar Amerika Serikat dan Eropa yang terdepan dalam kampanye mengurangi emisi gas rumah kaca dan pengurangan energi fosil juga masih kencang dalam mengimpor “emas hitam”.

Terkait harga, pekan ini batu bara terus menguat. Berada pada zona bullish. Hingga pada Jumat (2/8) lalu, emas hitam membukukan kenaikan 4,12 persen secara point-to-point.

Dalam sebulan terakhir sudah naik hingga 9 persen. Di pasar ICE Newcastle misalnya, batu bara pada perdagangan Jumat (2/8) lalu berada di angka USD 144,1 per ton.

Di dalam negeri, Dirjen Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun pada Juli lalu menetapkan harga batu bara acuan (HBA) sebesar USD 130,44 per ton. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya senilai USD 123 per ton. Bahkan jika dilihat secara grafik, terus mengalami kenaikan sejak Desember 2023 lalu.

Lantas bagaimana dampaknya di Kaltim? Dalam Diseminasi Laporan Perekonomian Bank Indonesia (BI) di Samarinda pada Rabu (17/7) lalu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Kaltim Budi Widihartanto mengatakan, sumber daya alam (SDA) sektor batu bara masih menjadi penyokong utama pertumbuhan Kaltim di triwulan I 2024. Di mana Kaltim mencatat pertumbuhan sekitar 7,2 persen.

“Pertumbuhan ekonomi Kaltim 2024 diperkirakan masih didominasi dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian. Terutama dari batu bara seiring permintaan pasar ekspor yang menguat, terutama permintaan dari Tiongkok dan India,” ucap Budi.

Tingginya permintaan produksi batu bara mendorong lapangan usaha sektor pertambangan berkontribusi sebesar 4,79 persen (year on year/yoy) terhadap pertumbuhan ekonomi Kaltim periode ini.

Itu didorong oleh upaya korporasi mengejar target akhir 2024 di tengah permintaan batu bara yang masih relatif tinggi.

“Namun selain batu bara, pembangunan terkait IKN (Ibu Kota Nusantara) ikut berperan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Kaltim,” imbuhnya.

Infografis Konsesi PKP2B dan harga batu bara setahun terakhir. (Agus Dwi Wahyudi/ Kaltim Post)

Sementara itu, data terbaru menunjukkan, bahwa impor batu bara Tiongkok melalui jalur laut meningkat sebesar 11 persen yoy pada periode Januari-Juni 2024. Apalagi Tiongkok dalam empat bulan ke depan bakal menghadapi musim dingin.

Selain Tiongkok, kabar datang dari India yang meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara untuk memenuhi kebutuhan selama gelombang panas.

“Batu bara ini sebenarnya komoditas yang keperluannya untuk jangka panjang. Jika ada permintaan yang sifatnya dadakan karena isu yang bersamaan, maka akan memengaruhi harganya,” ungkap Ketua DPD Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI) Kaltim Mohammad Hamzah.

Dia mengambil contoh saat pemerintah mengambil kebijakan penghentian ekspor untuk pemenuhan keperluan dalam negeri (domestic market obligation/DMO).

Kemudian konflik antara Ukraina-Rusia. Hingga saat Tiongkok melakukan pemeliharaan besar-besaran terhadap tambang mereka. Yang kemudian menciptakan permintaan yang tidak wajar di pasar.

“Tetapi kenaikan ini tidak akan selamanya. Karena misal untuk keperluan PLTU (batu bara) di luar negeri mampu membeli harga mahal. Namun tidak selamanya. Karena di pasar ada gerak alamiah yang bakal mengembalikan harga batu bara ke harga normal. Bagaimana pun harga batu bara ini normalnya akan berada di bawah harga minyak,” ucapnya.

Karena itu, dirinya memprediksi dengan kondisi saat ini harga batu bara dalam beberapa bulan ke depan tetap akan mengalami kenaikan. Hingga waktunya mencapai penyesuaian akibat turunnya permintaan yang cukup signifikan dari negara-negara tujuan ekspor.

 

“Yang terjadi di dalam negeri (Indonesia) termasuk di Kaltim, saat permintaan tinggi, harga bagus, perusahaan pun meningkatkan produksi. Namun ini kan tidak bisa seketika. Pada akhirnya ada masa ketika perusahaan masih mengejar produksi karena harga bagus itu, permintaan dunia turun. Dampaknya produksi terlanjur tinggi, harga jatuh. Saat ini posisi harga kalau saya bilang adalah normal,” bebernya.

Dengan kondisi saat ini, lanjut Hamzah, tidak akan memengaruhi jumlah dan nilai ekspor batu bara Indonesia. Karena selain komoditas itu, masih banyak diperlukan negara-negara yang menjadi tujuan ekspor, juga dalam posisi harga yang ideal menurut pasar.

“Karena saat ini sudah tergolong harga normal. Semua cost dari produksi sampai pengangkutan sudah menyesuaikan,” sebutnya.

Adapun, informasi terkini juga datang dari Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) yang memberi sinyal penurunan suku bunga.

Kebijakan The Fed itu dianggap menjadi kabar positif bagi pasar komoditas terutama batu bara. Sebab akan ada potensi permintaan batu bara dari ekonomi yang menggeliat setelah tren suku bunga tinggi berakhir. (*)

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version