Dalam kegelapan kaki itu berlari kencang. Peluh bercucuran membasahi kening. Tanpa tahu sejauh mana langkahnya. Dalam keterbatasan pandangan, batin Iwan melihat jauh ke depan. Mengejar emas demi kebanggaan Bontang. Sayang, tetesan keringatnya tak dapat perlakuan layak.
——————
TAWA kecil Iwan Purnomo terhenti. Tubuhnya terlempar. Jatuh dari tangga rumah. Tak ada luka berarti. Namun peristiwa yang awalnya sekadar bercanda dengan kerabatnya itu mengubah kehidupan pria asal Blora, Jawa Tengah, itu.
Saat itu Iwan masih berusia 5 tahun. Setelah terjatuh, penglihatan Iwan mulai berkurang. Tidak fokus. Itu dirasakan saat masih berada di bangku SD. Kaca mata yang digunakan tidak banyak membantu. Dia mengalami low vision atau kerusakan penglihatan.
Ketika kembali diperiksa, dokter memvonisnya mengidap macular degeneration, atau degenerasi macula. Penyakit mata yang menyebabkan kehilangan penglihatan. “Divonis kelas 1 SMP, dan alhamdulillah saya lulus SMA. Hingga mengikuti pelatihan kecakapan tunanetra di Wiyataguna, Bandung,” jelas Iwan saat ditemui di kediamannya, di Jalan Parikesit, RT 05, Kelurahan Bontang Baru.
Kekurangan yang dimilik tak lantas membuat ayah dari 2 anak itu putus asa. Pria kelahiran 1986 itu justru terus berupaya mengembangkan kemampuan dan potensi diri. Baik di bidang kecakapan yang dipelajarinya, maupun olahraga.
Alhasil, Iwan pernah menorehkan prestasi membanggakan yang membawa nama baik Bontang. Dalam multievent Pekan Paralimpik Provinsi Kaltim 2015. Di nomor lari 100 meter, dia sukses mendapat medali perak. Di nomor lari 200 meter dan loncat tinggi, Iwan menyabet medali emas. Sedangkan di event Pekan Paralimpik Nasional nomor estafet 4×400 meter, Iwan mengantongi medali perak.
“Kami mendapat bonus dari pemerintah. Namun hanya Rp 1,1 juta untuk medali emas. Sangat berbeda jauh dengan atlet umum yang mendapat bonus Rp 20 juta jika berhasil meraih emas,” ungkapnya.
Hal itu tentu sedikit menimbulkan kekecewaan. Iwan merasa ada diskriminasi antara atlet normal dengan disabilitas. Namun hal itu tak mengurungkan semangatnya untuk tetap berkarya. “ASEAN Para Games sempat ikut seleksi, namun saya tak lolos. Kalau di event itu bonusnya sama antara umum dan disabilitas,” terangnya.
Tak hanya mengandalkan bonus atlet, Iwan dan istrinya, Dyah, yang juga menyandang tunanetra berusaha mandiri. Yaitu dengan membuka klinik pijat tunanetra dengan nama Yasmin Pijat Shiatsu. Usahanya itu masih dirintis dan sempat berpindah-pindah tempat karena menyewa.
Beruntung, dirinya bertemu dengan pemilik Toko Balita yang mengizinkan keluarga Iwan tinggal di rumah toko (ruko) di Jalan Parikesit secara cuma-cuma. “Karena saya sempat belajar ilmu Alquran braile dan pijat shiatsu, bertemu guru SLB dan diminta mengajar,” ujar Iwan didampingi sang istri.
Di awal mengajar, status kepegawaiannya sempat tak jelas. Hingga ketika SLB diambil alih Pemprov Kaltim, Iwan direkomendasikan menjadi tenaga kontrak dan disetujui. Sehingga pendapatannya ikut menyesuaikan.
“Usaha pijat ini kadang ada kadang tidak. Makanya awalnya sampingan mengajar di SLB, sekarang jadi pemasukan utama. Dan usaha pijat bisa buka sepulang mengajar,” bebernya.
Sementara istrinya, Dyah Ayu Arifaeni (33) terlahir dengan kondisi normal. Hingga kelas 3 SMA, dirinya mengalami kebutaan permanen. Gejalanya terasa sejak SMP yang dinyatakan rabun senja. Tapi ternyata dia mengalami retinitis pigmentosa yang membuat indra penglihatannya semakin menurun dan buta total. Lantaran dinding retina mengalami kerusakan.
“Menurut dokter ini bawaan lahir, karena faktor genetik atau mutasi gen. Tetapi karena di keluarga hanya saya sendiri yang mengalami, maka kemungkinan hasil mutasi gen akibat radikal bebas,” kisah Dyah.
Meski sempat bingung, Dyah tetap bisa menyelesaikan pendidikannya hingga S1 Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Usai lulus, dirinya mengikuti pelatihan keterampilan tunanetra di Wiyataguna, Bandung, dan bertemu Iwan. “Sempat mempelajari shiatsu juga, makanya sama-sama buka usaha klinik pijat shiatsu,” ujarnya.
Baik Iwan maupun Dyah mengaku pemerintah masih kurang ramah disabilitas. Karena itu dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta Perda nomor 1 tahun 2018 Provinsi Kaltim tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, diharapkan lingkungan keluarga, masyarakat, pemerintah, maupun swasta memberikan kesempatan kepada para penyandang disabilitas. Agar bisa mandiri termasuk dalam hal pemenuhan hak-haknya. “Yang paling utama hak dalam mendapatkan pekerjaan,” tegas Dyah.
Mengingat selama ini dia banyak mengalami kendala saat mencari pekerjaan dan kesempatan bekerja. Sehingga diharapkan hambatan tersebut diminimalisasi agar bisa turut berperan aktif dalam pembangunan di masyarakat.
Kedua pasangan tunanetra tersebut juga aktif dalam hal berorganisasi. Terbukti, Iwan menjadi Ketua National Paralimpic Committe (NPC) Indonesia cabang Bontang. Sementara Dyah dipercaya menakhodai Persatuan Tuna Netra Indonesia cabang Bontang.
Pada Mei 2019 mendatang, bakal digelar Pekan Paralimpik, Iwan berharap proposalnya bisa disetujui Pemkot Bontang. Mengingat dalam Perda Bontang nomor 6 tahun 2018 tentang Hibah, Pasal 9 ayat (4), tertulis hibah untuk paralimpik senilai Rp 1 miliar.
“Harapan kami, kalau anggaran tersebut close, ada alternatif anggaran lain dari Pemkot Bontang,” terangnya. Pun demikian, dia berharap usaha klinik pijat shiatsu-nya semakin laris agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.
TAK MALAS, LOLOS KE INTERNASIONAL
Setiap orang memiliki talenta di bidangnya masing-masing. Termasuk bagi penyandang disabilitas yang hidup dalam keterbatasan. Salah satunya Ditta Yulianti Ningtyas yang merupakan atlet bocce dan boling di tingkat pelajar pendidikan khusus.
Terlahir sebagai tunagrahita, tidak menyurutkan diri untuk menggali setiap potensi yang ada. Meskipun dengan nilai tingkat kecerdasan 46, bukan dijadikan sebagai alasan untuk bersikap malas-malasan.
Spirit yang kuat serta panjatan doa dari orang tua mampu menjadikan Ditta memiliki segudang prestasi di bidang olahraga. Terutama bocce dan boling.
Kepada Bontang Post, ia mengaku awalnya menggemari dunia olahraga saat duduk di kelas 3 SLB Permata Bunda. Mengingat di sekolah tersebut setiap pelajar diwajibkan rutin berolahraga dua kali dalam sepekan.
“Jadi pada waktu itu diantar orang tua ke Stadion Mulawarman untuk latihan lari. Setelah itu baru ke olahraga yang disukai,” kata Ditta.
Awalnya, perempuan kelahiran Bontang ini memilih untuk menekuni bola basket. Sayangnya, jumlah pelajar tidak memenuhi kuota. Sehingga sekolah menghapus ekstrakurikuler ini.
“Saat itu baru latihan basket, masih belum bisa menyasar ring. Setelah dilatih, mulai bisa. Ternyata jumlah yang mengikuti olahraga tersebut sedikit. Bahkan tidak bisa dijadikan satu tim,” ungkapnya.
Ditta pun beralih ke olahraga bocce. Olahraga yang sekarang dikenal dengan petanque ini memiliki cara bermain unik. Yakni melempar bola ke arah bola sasaran. Bola dengan jarak terdekat itulah pemenangnya.
Pada saat memulai melakukan latihan, Ditta tak canggung. Ia percaya setiap lemparan merupakan upaya yang maksimal.
Bahkan, tahun pertama mengenal bocce, Ditta ditunjuk sekolah untuk berlaga di Special Olympics Bontang pada 2011. Medali perak dan perunggu disabetnya. Melalui kategori perorangan maupun beregu.
Setahun berselang, ia terpilih untuk mengikuti ajang olimpiade penyandang disabilitas di Brunei Darussalam. Di kategori perorangan, Ditta berhasil memperoleh medali perak. Sementara nomor beregu, medali perunggu didapatkan.
Pada 2013, Ditta mewakili Indonesia bertarung di Olympics Asian Pacific, Newcastle, Australia. Medali emas di nomor perorangan pun disabetnya. “Saya tidak minder waktu ditunjuk untuk berlaga. Selalu siap, tidak pernah menolak,” tuturnya.
Tahun ini prestasinya tidak surut. Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) Kaltim diikutinya. Hasilnya, medali perak diraih pada cabor yang sama. “Ketika itu yang tunjuk langsung dari Disporapar(Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata) Bontang,” terangnya.
Satu cabor baru ditekuninya, yakni boling. Pasalnya, perempuan kelahiran 2002 ini dipilih sebagai wakil Kaltim di ajang Pornas VIII SOIna, Riau. Olahraga ini dinilainya kurang lebih sama dengan bocce. Sehingga ia optimistis mampu memberikan hasil terbaik.
Kisahnya begitu mujur. Ia langsung ditangani pelatih dari klub boling PT Badak NGL. Bahkan, pelatih tersebut rela tidak dibayar sepeser pun oleh atlet maupun pengurus SOIna Bontang. “Pengalaman yang luar biasa dan sangat beruntung untuk saya,” ungkap anak dari pasangan Hero Dwi Nugroho dan Nelfi Ilham Kalanga ini.
Hasilnya menggembirakan. Ditta memperoleh medali perak dan berhak lolos di special olympic internasional, Abu Dhabi, April 2019. Kini, ia menunggu hasil keputusan pengurus SOIna Bontang terkait keberangkatannya. “Sampai saat ini belum ada informasi dari pengurus,” sebutnya.
Sementara ibunda tercinta Nelfi mengaku bersyukur dengan sederet prestasi yang diraih putrinya. Ia pun percaya bahwa setiap kejadian merupakan rencana Tuhan. “Kami orang tua selalu mendukung total perjuangan putri kami. Bahkan ayahnya selalu mengantar saat dia latihan,” kata Nelfi.
Salah satu yang menjadi harapannya ialah memasukkan Ditta ke klub boling. Diceritakannya, hingga kini belum ada klub yang tertarik. Mengingat keterbatasan yang dialami putrinya tersebut.
“Setelah lulus SMA ini, kalau dia tetap semangat untuk meneruskan di bidang olahraga, kami akan mencari klub buat dia. Meskipun sampai saat ini belum ada 100 persen yang membukakan pintu,” tuturnya.
Tak hanya itu, Nelfi mengharapkan dukungan dari Pemkot Bontang. Sehubungan dengan penyediaan fasilitas tempat latihan. Pasalnya, hingga kini proses latihan selalu menumpang di Bowling Centre PT Badak NGL.
BERPRESTASI DALAM KESUNYIAN
Prestasi mentereng turut ditorehkan Reda Nova Risti, perempuan 22 tahun yang terlahir tunarungu. Dara yang akrab disapa Nova ini mengaku sempat tak percaya dengan kekurangan yang dimiliki. Namun dukungan orang tua yang tidak membeda-bedakan dirinya dengan kakak-kakaknya, membuat Nova mampu menjalan aktivitasnya seperti orang normal.
“Karena bagi saya, kekurangan yang saya miliki itu bukan halangan untuk bisa mandiri,” kata Nova.
Dia menyadari, Tuhan turut memberikan kelebihan kepada dirinya. Kelebihan yang belum tentu bisa dilakukan orang pada umumnya. Hal ini dibuktikannya lewat beragam prestasi yang ia raih semasa sekolah. Bahkan, karena memiliki paras yang terbilang cantik, alumni SMALB YPK ini sering menjadi model.
”Saya memiliki kemampuan lebih untuk menggapai pretasi layaknya orang normal pada umumnya. Bahkan, belum tentu orang normal dapat melakukannya,” akunya.
Serangkaian prestasi itu mulai dari menjadi Peserta Olimpiade Sains Nasional tingkat SMPLB di Jawa Barat 2013, Juara 3 Lomba Fashion Show Kategori C oleh Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Kota Bontang tahun 2015, juara 4 Special Olympics Indonesia tingkat Kaltim, serta Miss Deaf Talent Indonesia tahun 2015-2016.
Nova pun berpesan kepada anak-anak disabilitas lainnya agar jangan minder dengan keterbatasan yang dimiliki. “Jangan minder, tetap percaya diri bahwa dibalik kekuranganmu ada kelebihan yang bisa kamu tunjukkan kepada orang lain. Tetaplah jadi diri sendiri,” ujarnya.
Kegigihan turut ditunjukkan penyandang disabilitas tunarungu lainnya, Rizky Erfanda Wahyu Pratama. Meski tak berdaya dengar yang baik, pria kelahiran Malang, 30 April 1996 ini sudah bisa mandiri dan punya penghasilan dari usaha merchandise atau pernak-pernik di Inkubator Bisnis (Inbis) Permata Bunda.
Memiliki keterbatasan pendengaran sejak lahir, Rizky kerap diremehkan dan dipandang sebelah mata. Namun hal tersebut justru tidak membuatnya berkecil hati. Malahan dijadikan motivasi untuk terus berkarya. Karena dengan karyanya, Rizky ingin membuktikan bahwa tidak semua penyandang disabilitas tak bisa berbuat apa-apa.
“Ketika ada yang meremehkan, saya selalu fokus untuk tidak mendengarkan. Bagi saya pekerjaan tidak selalu membutuhkan pendengaran,” tuturnya.
Pemuda 22 tahun ini dalam kesehariannya dikenal sebagai pribadi yang rajin. Baginya, apapun pekerjaannya selagi halal akan dijalani. Apalagi Rizky mau tidak mau harus menjadi tulang punggung keluarganya sejak sang ayah terjerat kasus hukum. Apalagi ibunya yang sebelumnya berprofesi sebagai asisten rumah tangga kini sering sakit-sakitan.
Sejak lulus dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Permata Bunda, Rizky bekerja sebagai jasa pemasang wallpaper di rumah-rumah maupun instansi perkantoran. Usah ini yang diinisiasi founder Inkubator Bisnis (Inbis) Permata Bunda, Anggi V Goenadi. Malam harinya, Rizky juga bekerja sebagai pramusaji di salah satu angkringan di Bontang untuk menambah penghasilan.
Rupanya, pekerjaan Rizky sebagai pemasang wallpaper membuat rekan-rekan Rizky sempat iri kepadanya. Lantaran dia bisa menghasilkan penghasilan sendiri. Berangkat dari hal itu, fakta kebutuhan lapangan pekerjaan bagi anak-anak disabilitas semakin meningkat, Inbis Permata Bunda lantas melebarkan unit usahanya dengan membuka bisnis katering, jasa cuci motor, hingga pembuatan merchandise.
Setelah mengikuti pelatihan dan pemagangan, Rizky merasa bisnis merchandise sebagai dunianya. Kini produk Rizky bisa menghasilkan buah tangan, seperti kaos, mug, tas, pin, hingga pulpen.
“Kebetulan hasil produknya disukai klien-klien Inbis seperti Pupuk Kaltim dan beberapa perusahaan atau instansi lainnya. Sehingga Rizky tambah semangat untuk terus membuatnya hingga saat ini,” jelas Jessie Agrippina Valencia, selaku fasilitator dan penerjemah bahasa isyarat.
Kini lewat hasil jerih payahnya, Rizky bisa membiayai segala urusan rumah maupun keperluan ibunya. Bahkan dia juga bisa membantu keluarganya yang ada di Jawa. Jika sedang banyak orderan, Rizky bisa meraup penghasilan hingga Rp 5 juta per bulan. Hal ini sangat jauh berbeda dari pekerjaan sebelumnya.
“Jangan malu dan jangan takut dengan keterbatasan kita. Kalau kita menunjukkan kita bisa, orang lain akan melihat kita bisa,” pungkas Rizky sebagaimana diterjemahkan Jessie. (mga/ak/bbg)
IWAN DAN DYAH
Nama: Iwan Purnomo
TTL: Blora 13 Oktober 1986
Nama Istri: Dyah Ayu Arifaeny
TTL: Samarinda 28 Juli 1985
Alamat: Jalan Parikesit RT 05 Kelurahan Bontang Baru
Nama Anak: Yasmin dan Marwah
DITTA
Nama : Ditta Yulianti Ningtyas
TTl : Bontang, 7 Juni 2002
Alamat : Jalan AP Mangkunegoro RT 7 Nomor 11, Berebas Tengah
Nama Ayah : Hero Dwi Nugroho
Nama Ibu : Nelfi Ilham Kalanga
Nama Kakak : Oktavianus Rangga Siwi Nugroho
Pendidikan : SLB Permata Bunda
TENTANG NOVA
Nama: Reda Nova Rista
TTL: Bontang, 30 Oktober 1996
Nama Ayah: Reno Adi
Nama Ibu: Anjar Laras Wulan
Riwayat pendidikan:
- SDLB YPK
- SMPLB YPK
- SMALB YPK
Prestasi:
- Peserta Olimpiade Sains Nasional tingkat SMPLB di Jawa Barat (2013)
- Juara 3 Lomba Fashion Show Kategori SMP/SMA se-Bontang (2014)
- Juara 3 Fashion Show Kategori C oleh Kantor Perpustakaan m, Arsip, dan Dokumentasi kota Bontang (2015)
- Juara 4 Special Olympics Indonesia tingkat Kaltim
- Miss Deaf Indonesia (2015-2016)