SAMARINDA – Suap yang melibatkan pihak ketiga kerap kali sulit dijangkau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya suap dari pihak ketiga tidak merugikan keuangan negara. Sementara BPK hanya memeriksa penggunaan anggaran negara.
Model suap seperti ini diduga dilakukan Bupati Kutai Kartanegara nonaktif Rita Widyasari. Padahal dari segi pengelolaan keuangan daerah, beberapa tahun sebelumnya secara beruntun Rita pernah meraih pengelolaan keuangan dengan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Ketua BPK RI, Harry Azhar Aziz menuturkan, penyuapan yang dilakukan pengusaha berasal dari uang pribadi. Sehingga tidak terjangkau BPK. Pasalnya badan tersebut berkonsentrasi memeriksa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Jadi kebanyakan kepala daerah yang pernah ditangkap KPK itu tidak ada hubungannya dengan anggaran yang kami periksa. Bukan dari uang negara. Mereka mendapat suap dari pengusaha, karena pengusaha pengin dapat izin usaha atau kemudahan lain,” kata Harry, Kamis (15/3) kemarin.
Ia mengaku, uang yang diberikan oknum pengusaha tersebut tidak dapat diperiksa BPK. Karena lembaga tersebut hanya memeriksa belanja infrastruktur, belanja modal, dan belanja barang. Sebelumnya, BPK juga memeriksa penggunaan hibah, dana Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), dan aset daerah.
“Dari kewenangan tersebut tidak terdapat item pemeriksaan anggaran dari pihak ketiga. Kalau ada pejabat negara yang disuap pihak ketiga, itu biasanya bukan temuan BPK, tapi dilakukan KPK,” ujarnya.
Kepala Perwakilan BPK Kaltim periode 2016-2018, Dori Santoso menegaskan, suap bisa dilawan dengan cara membangun komitmen pengelolaan keuangan di internal. Karena timbulnya suap pihak ketiga disebabkan kurangnya komitmen kepala daerah mengelola keuangan dengan terbuka.
“Untuk membangun keterbukaan pengelolaan keuangan, harus terlebih dulu ada komitmen kepala daerah dan semua jajarannya. Karena komitmen itu yang membuat suap bisa diminimalisir,” ucapnya.
Adanya korupsi atau kebocoran anggaran di daerah, lanjut dia, karena kurangnya komitmen kepala daerah. “Kalau komitmennya bagus, kemudian diikuti jajaran di bawahnya, korupsi itu bisa ditanggulangi,” katanya.
Kontrol tidak hanya dilakukan kepala daerah, tapi juga harus diikuti Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Kemudian seluruh pejabat vertikal di bawahnya juga ikut mengontrol penggunaan uang negara.
“Lembaga hukum, lembaga vertikal, dan kepala daerah harus bersinergi agar sama-sama mengawasi penggunaan uang negara. Lakukan pengawasan dan setiap waktu monitor penggunaan uang negara,” pungkasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: