SAMARINDA – Sebanyak 35 ribu buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja (SP) Kahutindo mendesak Gubernur Kaltim mencabut sistem outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di seluruh perusahaan yang ada di Kaltim. Pasalnya, hubungan kerja tersebut melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketua SP Kahutindo Kaltim, Sukarjo menyebut, sistem outsourcing dan PKWT telah diatur pemerintah. Tetapi bukan dialamatkan pada buruh yang bekerja di bagian strategis perusahaan. Pengusaha hanya diperbolehkan menggunakan sistem tersebut pada bagian kebersihan, dapur, dan sekuriti.
Apabila pengusaha menggunakan sistem outsourcing dan PWKT untuk seluruh buruh, maka dapat disebut menyalahi aturan. Pasalnya hubungan kerja demikian dapat merampas hak pekerja. Antara lain pengusaha dapat dengan sewenang-wenang memberikan gaji kepada buruh.
“Selain itu lewat hubungan kerja seperti ini, buruh tidak mendapatkan jaminan kelangsungan pekerjaan. Buruh juga tidak mendapatkan hak pelayanan dasar seperti Upah Minimum Provinsi (UMP), tidak mendapatkan tunjangan hari raya, dan mudah diputus hubungan kerjanya,” ujar Sukarjo, Selasa (1/5) kemarin.

Kata dia, sistem tersebut memberikan peluang bagi pengusaha menggunakan jam kerja buruh hingga melampaui waktu yang ditentukan. Sesuai Pasal 77, UU Nomor 13/2003, waktu kerja sehari bagi setiap buruh hanya tujuh jam. Namun nyatanya di perusahaan perkayuan dan pertambangan, pada umumnya buruh mulai bekerja sekira pukul 08.00 Wita. Kemudian pulang sore hari pukul 17.00 Wita.
Jika dikalkulasi waktu kerja buruh tersebut, rata-rata buruh harus menghabiskan waktu sembilan jam. Dalam enam hari, buruh harus menggunakan waktu 54 jam di pabrik. Padahal dalam UU tersebut, buruh hanya diwajibkan bekerja selama 40 jam dalam sepekan.
Belum lagi, sistem tersebut membuat pengusaha dengan mudah membuat aturan sendiri. Pekerja digaji sesuai volume kerja. Berapa pun hasil kerjanya, sebesar itu pula nilai upah yang akan didapatkan buruh.
“Bisa saja gaji outsourcing dan PKWT itu sesuai UMP. Tetapi itu pengecualian bagi buruh yang diberikan jam kerja melampaui sembilan jam dan tingkat produktivitas tinggi. Kalau buruh yang hanya diberi kerja di bawah itu, upahnya bakalan jauh dari UMP,” ungkapnya.

Dia menyebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menyatakan volume kerja buruh yang sesuai standar UU Nomor 13/2003, mengharuskan pengusaha mengupah buruh sesuai upah di daerah setempat. Tetapi selama ini pemerintah dianggap melakukan pembiaran.
“Padahal begitu banyak aturan yang dilanggar pengusaha. Nyatanya belum ada penindakan dari pemerintah. Seharusnya di sini, pemerintah hadir menjadi pengayom masyarakat,” imbuh Sukarjo.
Dia yakin, apabila pemerintah daerah menggunakan wewenangnya untuk mendorong pengusaha menghapus hubungan kerja outsourcing dan PKWT, tidak mungkin pengusaha berani menerapkan pola tersebut.
“Dalam aturannya, gubernur itu sebagai ketua lembaga tripartit yang menggabungkan pengusaha, buruh, dan pemerintah. Makanya kami meminta gubernur membentuk tim investigasi. Diharapkan hubungan kerja outsourcing dan PKWT itu segera dihapus,” imbuhnya. (*/um)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini:
Komentar Anda