Malam tahun baru jadi mimpi buruk bagi Muhammad Ali, 82. Warga RT 4, RW4, Kelurahan Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, itu bertaruh nyawa menghadapi banjir. Nahasnya, sang istri Nawa, 72, meregang nyawa di depan matanya.
Z. HIKMIA, Jakarta–FERLYNDA P., Bekasi, Jawa Pos
DITEMUI di pengungsian di Universitas Borobudur, Jakarta Timur, Ali terlihat gelisah. Dia tak nyaman dengan kondisinya. Berbaring sebentar, kemudian duduk. Lalu berbaring kembali. ”Badannya sakit,” ujarnya terbata-bata.
Sambil dipijat anak-anaknya, Ali terus mengeluh sakit pada sendi-sendinya. Sambil duduk, dia berusaha bercerita soal kejadian malam itu. Tak banyak cerita yang keluar sebenarnya. Bahkan, bisa dibilang dia seperti lupa pada sebagian peristiwa yang merenggut nyawa pendamping hidupnya. Beberapa kali bapak enam anak itu meminta anaknya untuk pulang dan melihat kondisi sang ibu.
”Kemarin juga gitu, padahal jenazah ibu disemayamkan di sebelahnya sebelum dimakamkan tadi pagi,” ungkap Muhammad Dawam, 41, anak bungsu Ali, Kamis (2/1/2020).
Dawam adalah orang pertama yang menemukan kedua orang tuanya. Dia menjebol tembok dengan martil untuk menyelamatkan mereka. Pemandangan yang dilihat sungguh mengiris hatinya. Dia melihat sang ibu mengapung di air.
Selasa malam itu, dua jam sebelum pukul 00.00, Jakarta dan sekitarnya diguyur hujan deras. Ali yang berada di dalam rumah tiba-tiba dikagetkan dengan masuknya air ke rumah. Karena panik, bukannya mengungsi, dia justru menutup pintu kamar. Berharap air tak masuk ke kamar karena terhadang pintu. Dia kemudian naik ke kasur bersama sang istri. Sambil berpegangan, keduanya berdoa, semoga air hanya mampir seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi, takdir berkata lain. Air justru masuk ke kamar melalui sela-sela pintu dan lantai. Semua berjalan cepat. Kasur mereka sampai terangkat air sampai plafon rumah. Usia yang sepuh membuat mereka tak bisa berbuat banyak. Ali berusaha berteriak meminta pertolongan. Sang istri yang sedang sakit juga tak mampu berbuat banyak.
Kian larut, kondisi semakin parah. Keduanya menggigil kedinginan. Bukannya mereda, arus air semakin deras. Tiba-tiba Nawa terjatuh karena tak kuat berpegangan pada kasur. Ali berusaha sekuat tenaga menariknya. Tubuhnya yang sudah menggigil, sendi-sendinya yang renta, tak kuasa menarik sang istri kembali ke atas. Dia hanya bisa menangis. Sampai akhirnya dapat diselamatkan Dawam saat sore.
”Saya dapat kabar, banjir. Terus bapak sama ibu katanya ilang. Udah khawatir banget saya datang ke sini,” kenang Dawam.
Sesampai di pengungsian, kabar yang diterimanya semakin simpang siur. Ada yang bilang, kedua orang tuanya sudah dibawa ke rumah sakit terdekat.
”Tapi, gak ada yang benar-benar tahu. Hati saya bilang lain. Kayak harus ke rumah gitu,” katanya.
Dawam nekat. Berbekal getek meminjam di pengungsian, dia bersama lima saudara dan keponakannya menuju rumah. Arus yang begitu deras membuat mereka harus berupaya keras untuk bisa sampai ke lokasi.
”Kalau biasanya 15 menit sampai, ini hampir sejam,” tuturnya.
Ketika sampai, hatinya semakin berkecamuk melihat kondisi rumah kedua orang tuanya. Air menutupi hampir seluruh lantai 1. Hanya tersisa sekitar 30 cm yang dapat terlihat.
”Batin saya orang tua ada di dalam. Tapi, lihat kondisi rumah seperti itu, saya sudah gak bisa mikir apa-apa,” kenangnya sambil sesekali menyeka air matanya.
Dengan martil, Dawam mulai membuat lubang kecil di tembok kamar kedua orang tuanya karena pintu kamar sudah terendam air. Setelah terbuka, dia melongok ke dalam sambil menyalakan senter di handphone-nya. Betapa terkejutnya dia melihat sang bapak tengah berjuang berpegangan di kasur sambil kedinginan. Makin syok melihat baju dan tangan ibunya yang mengambang.
”Ibu telungkup. Hanya terlihat bajunya dan tangannya. Sudah enggak keruan saya. Tapi, saya langsung ingat bapak yang harus segera diselamatkan. Gak makan seharian juga kan,” paparnya.
Dawam kembali mendobrak tembok tersebut. Membuat lubang lebih besar agar sang bapak bisa dikeluarkan. ”Saya bilang ke bapak, jangan banyak gerak agar tidak jatuh. Karena saya sendiri saja nyaris tenggelam saking kuatnya arus,” jelasnya.
Beruntung, bantuan dari TNI datang. Sang bapak bisa segera diangkut untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Sementara itu, jenazah sang ibu dievakuasi untuk kemudian dimandikan dan disemayamkan.
”Setidaknya bapak masih bisa diselamatkan,” ucapnya.
Karena masih di pengungsian, kegiatan doa bersama untuk Nawa ditunda. Mereka hanya bisa mengirim doa sendiri-sendiri dengan membacakan surah Yasin atau Al Fatihah.
Di pihak lain, di Perum Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi, Awi, Puji, dan Rizal bangga menunjukkan tiga ember tangkapan mereka di lumpur yang masih menggenang di kompleks tempat tinggalnya. Di dalam ember cat itu ada lele, belut, hingga kepiting yang juga menjadi korban banjir seperti tiga bocah tersebut. Karena banjir, hewan-hewan itu terdampar ke perumahan warga.
Ada puluhan anak lain yang juga mencari hewan air yang terdampar di lumpur. Bocah-bocah itu menangkap dengan tangan kosong. Tanpa alas kaki. Padahal, di tengah jalan ada juga bangkai tikus. Anak-anak tersebut tampak asyik. Seolah melupakan kejadian pada malam pergantian tahun. Hujan yang mengguyur Jabodetabek sejak Minggu sore (31/12/2019) mengakibatkan kompleks itu terendam. Mulanya hanya sebetis, lalu naik hingga sedada orang dewasa. Kejadian diperparah ketika tanggul yang membendung Sungai Cileungsi jebol Senin (1/1/2020) sekitar pukul 15.00.
Sementara itu, Neliyati sudah mengungsi di lantai 2 rumahnya yang berada di Vila Nusa Indah. Kompleks itu berada di atas kompleks Perum Pondok Gede Permai. Bukan hanya keluarganya. Ada juga tetangga yang turut mengungsi.
”Jam 3 sore ada bunyi duar, lalu ada yang jerit-jerit ’tanggul jebol’,” katanya.
Seketika air naik dengan cepat. Yang semula hanya lantai 1 yang terendam, lantai 2 rumah Neli akhirnya juga terendam. Setinggi perut orang dewasa. Mereka tak sempat menyelamatkan diri lagi dan memilih pasrah menunggu bantuan. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kompleks yang berada di bawahnya.
”Saya dapat video, yang di bawah (Perum Pondok Gede Permai, Red) seperti tsunami,” tuturnya. Sayang, handphone-nya mati karena listrik padam dan dia belum sempat mengisi daya sehingga tak bisa menunjukkan kepada Jawa Pos (grup Bontangpost.id).
Mobil-mobil yang hanyut menjadi bukti derasnya air malam itu. Ada yang kacanya pecah. Ada yang terbalik. Ada pula yang menindih mobil lain. Di tengah jalan pun masih becek dengan lumpur. Warsih, 60, pun masih trauma. Dia bersama teman-temannya yang tengah membenahi rumah salah satu warga di Perum Pondok Gede Permai semalaman tidak tidur. Untuk duduk pun tak bisa. Meski dia berada di lantai 2, air menggenang sedada.
”Yang saya takutkan itu rumah roboh,” ucap dia sambil terus membersihkan lumpur. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: