Oleh; Chai Siswandi
(Petani, tinggal di Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara)
GIGIL dingin menyelimuti jembatan tempat kami berdiri. Tacik memintaku menemaninya ke Jembatan Mahakam. Pagi-pagi sekali aku meluncur dari Kota Bangun naik Supra yang dipinjamkan negara. Atas nama sebuah ikatan persahabatan. Untuk melarung abu Wiguno.
Di simpang tiga Sungai Kunjang, Kartini, kakak perempuan Wiguno yang biasa kupanggil Tacik, sudah menunggu. Setelah menitip sepeda motor di dekat pos polisi, kami berjalan kaki menuju tengah jembatan di lajur pejalan kaki.
Jembatan bercat kuning terkelupas, bertuliskan Mahakam. Lantai pejalan kaki yang terbuat dari pelat besi berderak-derak. Lalu lintas pagi itu belum terlalu ramai. Hanya kami yang ada di lajur pejalan kaki, tepat di bawah lengkung baja penopang jembatan itu.
Tongkang-tongkang batu bara juga belum ada yang hilir mudik. Tacik terlihat tegas, walaupun aku tahu kesedihan menyelimuti hatinya. Tangannya membawa guci yang didekapnya selalu. Guci abu jenazah adik kesayangannya. Imlek yang akan datang sebentar lagi, harus dilalui dengan duka. Kehilangan adik yang dicintainya.
Meski berteman lama. Aku tak pernah tahu apa agama Mas Wieg–begitu aku biasa memanggil Wiguno–kami bersahabat begitu saja. Aku tak pernah menanyakan. Sampai kemarin, Tacik mengabari Mas Wieg sudah meninggal dan bermohon pesan agar aku ikut melarung abunya di Mahakam. Jenazah dibakar di krematorium di utara Samarinda.
Dalam hidupnya yang sepi Mas Wieg tak punya banyak teman. Sering kuejek ia karena belum menikah dan tak laku. Katanya, perjodohan itu rumit. Dia punya toko kecil di pinggiran Karang Mumus. Menjual sembako dan aneka barang kelontong. Makanan ringan, rokok dalam rak kaca kecil, sampo sachet, dan rentengan pisau cukur terpajang di depan toko itu. Sebatang pohon kersen tumbuh subur di depan rumah. Burung pipit sering bertengkar merebutkan buahnya.
Mas Wieg suka lari pagi. Biasanya pagi-pagi sebelum membuka toko ia selalu jogging dulu, di sepanjang tepian Mahakam. Kata Tacik, Jembatan Mahakam adalah salah satu tempat favoritnya. Sering ia menemani Mas Wieg naik sepeda motor ke depan Islamic Center, lalu lari sampai ke tengah jembatan Mahakam. Berada di tengah-tengah jembatan itu, diterpa deru angin, mengeringkan keringat, dia membentangkan tangannya. Seperti burung yang melebarkan sayapnya. Bujang, yang mencintai kebebasannya.
Dulu dia pernah berkelakar. ”Kami orang-orang keturunan itu beruntung, bisa berumur panjang. Beda sama kamu, gaya hidupmu itu gak sehat. Makanmu sembarangan, gak pernah olahraga. Aku yakin nanti aku ikut ngubur kamu,” ucapnya sambil tertawa terkekeh-kekeh, seolah meramal masa depan kami.
Kakek buyutnya dulu adalah orang Tiongkok yang didatangkan ke Kalimantan dari Surabaya lewat Makassar sebagai buruh tambang batu bara Oost Borneo Maatschapij (OBM) di Batu Panggal. Sampai bisa punya tanah sendiri di sekitar Pecinan. Yang sekarang jadi Jalan Imam Bonjol. Rumah itu sudah dijual dan kehilangan jejak di deretan ruko-ruko.
Dia pernah bergumam, sejak zaman Belanda sampai sekarang orang-orang seperti dirinya selalu didiskriminasi, dianggap warga negara kelas dua, bukan asli Indonesia. Padahal dari buyut sampai ayahnya bekerja keras untuk bangsa ini. Sebelum Indonesia merdeka itu ada. Bahkan, orang-orang Tionghoa lebih dulu datang dan tinggal di Nusantara dibanding orang-orang Eropa yang malah menjadi penjajah kemudian.
Pada 1854, diketok UU Regerings Reglement di mana masyarakat di Hindia Belanda menjadi dibedakan antara golongan Eropa dan Jepang, Timur Jauh, dan bumiputra. Yang akhirnya menjadi diskriminasi antar-etnis.
Dan sisa-sisa warisan penjajah itu masih bertahan sampai generasi sekarang. Menurut Wiguno, guru besar politik dan sejarah dunia seperti Ben Anderson pernah bilang, diskriminasi rasial itu adalah produk konstruksi sosial politik yang terkait dengan sejarah kolonial Belanda.
“Sayangnya, kita tak mau belajar. Padahal aku lahir di Samarinda, minumnya air Mahakam. Tumbuh dengan asupan makanan dari tanah yang sama, tetapi orang-orang tetap menganggap aku seolah pendatang dari negara lain. Aku ini WNI sejak lahir, bahkan sebelum lahir,” gumamnya setengah pias.
Aku jadi bisa memahami orang-orang semacam Mas Wieg jadi tertutup, cenderung introvert. Tak terlalu akrab dengan tetangga, tak terlalu punya banyak teman, sibuk pada bisnisnya sendiri. Tentu itu bukanlah kejahatan. Orang-orang Melayu yang lebih dulu melekatkan streotype kepada mereka. Tionghoa meskipun merupakan nebula kebudayaan yang memberi banyak bagi Nusantara sebagaimana Islam dan India, tetap menjadi entitas yang paling banyak didiskriminasi.
***
Tacik sempat mengabari kalau Mas Wieg sakit dua bulan lalu.
“Gak apa-apa, cuma sakit biasa. Cuma kelelahan habis belanja barang dagangan,” ucap Wiguno di telepon, dan biasa sambil tertawa terkekeh.
Karena tertawanya itu aku jadi tak terlalu khawatir, dan berkata belum bisa menjenguk sebab sedang berada di Hulu Mahakam. Dia sempat menanyakan kabar anak-istriku. Dibilang di toko sudah disediakan aneka makanan ringan, hadiah untuk anak-anakku. Kukatakan kepadanya keluarga di rumah baik-baik saja, sehat.
“Nantilah setelah kau sembuh, kami sowan ke rumahmu. Kubawakan jukut salai, jukut pija, dan kerupuk gandum Kota Bangun,” kataku. Itulah meskipun terkesan tertutup, sekali berteman pertemanannya akrab dan hangat.
Rupanya sebelum wafat Mas Wieg sempat berpesan ke Tacik untuk tak memberi tahu bahwa penyakitnya makin parah. Sesuatu menggerogoti paru-parunya, kemudian merenggut nyawanya. Dari Taciklah aku dapat cerita, ia tak mau merepotkan orang lain, termasuk tetangga. Sebab itu dia lebih memilih kremasi daripada dikubur. Katanya biarlah tanah untuk ruang mereka yang hidup saja. Orang mati tak perlu banyak lahan, hanya perlu sedikit tempat di dalam kenangan.
Di tepi Jembatan Mahakam itu aku berpegangan di pagar lajur pejalan kaki. Pagar itu semacam pipa-pipa besi berwarna kelabu. Tacik membuka kain pembungkus guci abu. Dari dalam guci keramik itu, ada kantung putih wadah terakhir abu Wiguno.
Juga kelopak melati dan bunga krisan yang sudah mengering, dicampurkan di dalamnya. Abu itu ditebarkannya dari atas jembatan. Sebagian sampai ke air, sebagian diterbangkan angin. Aku bayangkan abu itu timbul tenggelam di sungai itu, mengapung terombang-ambing dipermainkan gelombang kemudian menyebar di muara-muara delta Mahakam. Mengalir jauh sampai ke Selat Makassar. Mungkin sampai ke surga.
Angin di atas jembatan menderu tak habis-habis.
Air mata leleh di pipi tacik. Ia masih kelihatan tangguh. (***/dwi/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post