Pelaku thrifting kini waswas. Pemerintah melarang impor pakaian bekas. Dikhwatirkan mematikan UMKM. Pengguna brand mewah dengan harga miring pun bisa gigit jari
bontangpost.id – Tidak ada yang berbeda dari hari-hari Nanda sebagai pemilik toko pakaian di kawasan Berebas Tengah. Gamis-gamis masih terpajang dengan rapi di deretan rak sebelah kanan. Begitupun dengan atasan wanita mode baru yang ia suplai dari luar pulau.
Sembari menemani putranya bermain, ia menunggu pintu terbuka. Berharap ada pembeli yang masuk. Sehingga salah satu dari deretan pakaian itu menemukan pemilik barunya.
Sejak menjamurnya thrift shop, Nanda harus menghela napas berulang. Sebab pendapatannya merosot tajam. Ia tahu pasti bahwa alasannya memang karena pakaian cakar (cap karung) –sebutan awal thrift– yang merajai pasaran akhir-akhir ini.
Ia sendiri mengakui bahwa harga pakaian cakar memang lebih miring. Berbeda dengan pakaian lokal yang ia jual.
Kemudian muncul angin segar tentang larangan impor cakar yang digaungkan pemerintah. Kebijakan yang ia yakini akan mampu membuat brand pakaian lokal bersinar lagi. Terutama harapannya soal peminat yang bisa beralih mengenakan pakaian lokal.
“Pakaian lokal bagus-bagus, kok. Apalagi sekarang banyak macamnya. Modelnya juga beragam. Cuma sekarang lagi ramai pakai thrift, jadi banyak yang ikutan. Harapannya dengan kebijakan larangan impor, pakaian lokal bisa naik lagi,” ucap Nanda dengan semangat.
Perempuan berambut sebahu itu sangat berharap eksistensi pakaian lokal bisa bangkit kembali. Sehingga secara vertikal dapat meningkatkan pendapatannya lagi.
Berbeda dengan Nanda, Lusiana yang juga salah satu pemilik toko pakaian lokal punya pandangan lain. Larangan impor menurutnya tidak membuat perbedaan signifikan pada tokonya.
Dalam sepak terjangnya di bidang fashion, ia sudah merasakan pendapatan toko yang pasang surut. Namun dengan diberlakukannya kebijakan ini pun, ia tidak merasakan ada pengaruh yang besar.
“Akhir-akhir ini lebih ramai juga bukan karena kebijakan itu. Tapi memang lagi momen-momen jelang puasa dan Lebaran. Pendapatan naik turun pun sudah biasa,” katanya.
PENOLAKAN PENGUSAHA THRIFT
Asri, salah seorang penjual thrift ketar-ketir. Jika impor pakaian bekas dilarang, ia khawatir sumber mata pencaharian satu-satunya hilang.
Ini karena usaha yang digeluti hampir enam tahun belakangan telah memberikan dampak positif bagi ekonominya. Toko thrift yang ia kelola selalu ada pelanggan. Hilir mudik pembeli yang didominasi kalangan muda itu kerap memadati tokonya. Meski beberapa pemuda hanya datang melihat sepintas koleksi yang ia pajang.
Dari usaha pakaian bekas, pria berkacamata itu mengaku bisa menghidupi kebutuhannya juga keluarganya. Bahkan mampu ditutupi dari usaha yang ditekuni sejak 2017 itu.
Menurutnya, seharusnya pemerintah bisa mencari solusi lain daripada melarang bisnis yang memang sudah lama berkembang di dalam negeri. Apalagi pangsa pasar dalam negeri sejak pandemi Covid-19 hingga saat ini masih cukup menjanjikan.
“Sebenarnya wacana larangan dari pemerintah itu sudah lama saya dengar. Kalau nggak salah ingat dari 2016 lalu. Tapi, ya tetap saja bikin waswas,” akunya saat dijumpai.
Dalam menjajakan pakaian thrift, Asri tak pernah asal menjual. Ia lebih memilih menyortir satu persatu pakaian yang masih pantas dan memiliki nilai jual tinggi yang ia pasok dari luar pulau. Seperti Sumatera dan Jawa. Daripada membeli pakaian thrift dalam bentuk bal (karung).
Rasa tidak terima sedikit terbesit dalam hatinya. Lantaran, usaha yang ia geluti jadi sasaran larangan berbisnis. Seharusnya, pemerintah memberi dukungan dengan memfasilitasi hal lain.
Misalnya, pelatihan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) supaya barang lokal bisa bersaing dengan barang kualitas impor.
“Ini bagian dari aspirasi saya. Jadi wajar kalau saya sampaikan seperti ini. Harus ada solusi lain. Jangan sampai justru kami yang dikorbankan,” katanya.
Pelaku usaha thrift lainnya, Irsal, mengaku tidak setuju apabila bisnis ini dilarang oleh pemerintah. Larangan ini dianggap merugikan. Bahkan, sejak digaungkan larangan tersebut ia kesulitan memasok thrift terbaru dari luar daerah. Seperti Tarakan, Bandung, bahkan Sumatera.
“Kalau liat berita di itu banyak yang sudah kena razia. Jadi, kami yang di daerah kecil seperti Bontang sulit mendapatkan barang terbaru,” keluhnya.
Meski terbilang baru dalam dunia thrift, penghasilan yang ia peroleh untuk menghidupi keluarganya terbilang sangat cukup. Kata Irsal, aneh rasanya kalau pemerintah melarang hal itu. Mengingat dilihat dari segi pembeli pun banyak masyarakat yang sangat antusias dengan harga yang relatif murah. Pembeli dapat kualitas pakaian original walaupun second atau bekas.
“Kebanyakan pelanggan saya itu, ya, menengah ke bawah. Dapat barang dengan merek ternama itu saja sudah senang sekali. Karena harganya juga bisa dijangkau,” bebernya.
Dikatakan, sementara waktu ia hanya menjajakan pakaian yang tersisa. “Kalau disuruh tutup ya tutup. Mau di apa. Tapi, kalau saya lihat kondisi di Bontang sih nggak seekstrim luar daerah. Artinya kami masih bisa jualan. Walaupun waswas,” ucap Irsal.
Rusdiana, salah seorang penggemar thrifting pun merasa geram dengan adanya larangan pemerintah itu. Menurutnya, tidak semua thrift merupakan produk dari luar negeri. Justru, hadirnya thrift mampu membantu menjangkau brand ternama dengan harga murah.
“Kalau bisa menjangkau brand ternama harganya murah kenapa nggak? Meskipun tangan kedua,” ucap Rusdiana penuh semangat.
Bilang dia, produk lokal yang dijual di pusat perbelanjaan raksasa itu bagus. Namun, karena satu model pakaian diproduksi hingga ribuan, membuatnya kurang sreg.
“Kalau modelnya sama terus ketemu dalam satu lokasi kan malu juga. Kalau thrift kan hanya ada satu. Kalaupun lebih itu pasti hanya beberapa,” tandasnya.
TANGGAPAN PEMKOT BONTANG
Kepala Diskop UKMP Bontang Kamilan ikut buka suara. Saat dijumpai, ia menjelaskan bahwa Pemkot Bontang tidak melarang penjualan pakaian cakar. Karena tidak ada dasar untuk itu. Pun, pihaknya belum menerima instruksi dari pemerintah pusat. Sebab jika meninjau Permendag No.18 Tahun 2021, larangan itu hanya berlaku pada kegiatan impor dan ekspor.
“Kalau dari pusat memang sudah melarang soal impor ini. Jalan-jalan masuknya yang sulit dikendalikan. Jadi kalau sudah masuk ke daerah, tidak ada aturan yang melarang penjualan. Seharusnya ada pengawasan dari akses masuknya seperti di pelabuhan dan tempat-tempat lain,” jelas Kamilan.
Hal serupa turut disampaikan Kabid Perdagangan Diskop UKMP Bontang Nurhidayah. Terkait pangsa pasar, menurutnya, baik pakaian lokal maupun pakaian cakar memiliki konsumennya masing-masing.
Dengan begitu pedagang hanya menyediakan pilihan untuk mereka. Keputusan terbesar terkait apa yang dibeli ada di tangan konsumen.
“Dari dulu mereka (penjual pakaian cakar) sudah ada. Nggak berpengaruh ke brand lokal. Semuanya punya pangsa pasarnya sendiri-sendiri,” pungkasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: