PENABRAKAN rumah warga oleh tongkang pada Ahad (14/10) kemarin bukan kali pertama di Kaltim. Kasus tersebut menambah daftar dugaan lemahnya penegakan hukum hingga evaluasi terhadap tongkang yang berlayar di Sungai Mahakam. Pasalnya, sebelum itu di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) juga pernah terjadi kasus serupa.
Dari catatan Metro Samarinda, pada 14 Mei 2017 lalu, enam rumah rusak parah di RT 2, Kelurahan Benua Puhun, Kecamatan Muara Kaman, Kukar. Penyebabnya tak lain karena tongkang batu bara menabrak pemukiman warga.
Lima bulan berlalu, tepatnya pada 16 November 2017 lalu, di Kelurahan Tama Pole, Kecamatan Muara Jawa, Kukar, terjadi penabrakan rumah warga oleh sebuah tongkang batu bara.
Tidak hanya pemukiman warga yang jadi sasaran, selain itu di 2018 ini, tercatat dua kali tongkang batu bara menabrak Jembatan Mahakam di Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda. Namun hingga kini belum ada sanksi berat yang diberikan pemerintah terhadap pemilik tongkang.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu mengatakan, pemilik tongkang mestinya bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan dari kasus tersebut. Khususnya rumah warga yang rusak akibat tertabrak tongkang.
“Tidak bisa lagi mereka beralasan seperti saat menabrak jembatan. Artinya itu pertanggungjawaban mereka. Tetapi ganti rugi saja tidak cukup,” imbuhnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu meminta aparat kepolisian mengungkap secara detail kasus tersebut. Sehingga tidak hanya ganti rugi yang harus ditanggung pemilik tongkang. Tetapi juga sanksi akibat dugaan kelalaian.
“Jangan sampai setelah ganti rugi seenaknya saja kasus ini selesai. Itu ada dugaan pelanggaran. Karena tidak mungkin bisa menabrak rumah warga tanpa ada unsur kelalaian,” tuturnya.
Dia menyarankan Dinas Perhubungan (Dishub) serta Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Kaltim menindaklanjuti dan mendalami kasus tersebut. Apabila terbukti terdapat kelalaian, kedua dinas itu harus memberikan sanksi pada perusahaan pemilik tongkang.
“Sanksinya apa? Itu nanti biar mereka yang menentukan. Ada dasarnya kok itu. Namanya kelalaian, itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Pasti ada sebab yang disengaja atau tidak,” tegasnya.
Kasus penabrakan di Kecamatan Loa Janan Ilir itu, lanjut Baharuddin, mesti dijadikan percontohan dalam pemberian sanksi berat bagi perusahaan. Dengan begitu, diharapkan ada efek jera. “Agar tidak terulang lagi,” ucapnya.
Kata dia, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) juga diminta tidak pasif dalam memberikan sanksi. Pasalnya, kasus penabrakan jembatan jadi contoh buruk lemahnya pemberian sanksi.
“Kalau pemerintahnya tegas, pasti pemilik tongkang dan perusahaan akan hati-hati. Tetapi kalau dibiarkan begitu saja, sanksinya juga tidak berat, nanti tidak akan muncul efek jera. Bisa terulang lagi kasus yang sama,” tuturnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post