Kisah Gerakan Rakyat Kutai Mempertahankan Kemerdekaan (7/Habis)
Perjuangan tidak akan mengkhianati hasil. Ungkapan itu layak disematkan pada para pejuang Gerakan Rakyat Kutai (GRK) yang begitu gigih melawan penjajah Belanda. Mereka pun dielu-elukan dan disambut sebagaimana pahlawan.
==========
Kokohnya jeruji besi tampaknya bukan penghalang bagi JF Sitohang, pelaksana harian GRK untuk terus bergerak. Dia tidak tinggal diam, melainkan selalu berusaha mengadakan aksi berikutnya dalam bingkai perjuangan. Bersama RM Notosunardi, Sitohang menyusun rencana berikutnya. Namun sayang, rencana apiknya tercium oleh Belanda.
“Mereka menerima siksaan dan dimasukkan ke dalam sel yang sebelumnya ditempati Abdul Gani dan Aminuddin Nata,” ujar Hamdani menceritakan peliknya perjuangan GRK dalam buku Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Perjuangan Kaltim, sebagaimana dikutip Metro Samarinda.
Kungkungan penjara dan siksaan bertubi-tubi semakin memantapkan Sitohang untuk membebaskan diri. Agar bisa bebas bergerak sebagaimana kiprah sebelumnya yang begitu aktif menghidupkan GRK. Rencana melarikan diri dari penjara pun dibuat. Sewaktu dia dipekerjakan di perkebunan belakang penjara, Sitohang dapat memutuskan rantai dan melarikan diri menuju Kota Tepian.
“Pelarian ini terjadi Juni 1947. Namun di Loa Janan dia tertangkap kembali dan dikirim ke Balikpapan,” papar Hamdani yang menyusun buku bersama Johansyah Balham.
Bukan hanya JF Sitohang yang dihukum penjara oleh Belanda. Para tawanan lainnya juga telah dijatuhi hukuman. Di antaranya yaitu Mandar, Idum, dan para pejuang dari Kelompok Barisan Pembela Rakyat Indonesia (BPRI) seperti Kasmani serta dari kelompok TKI Pasir yaitu RM Notosunardi.
“Para pejuang ini ada yang dikirim ke Cipinang, Jakarta. Ada pula yang diteruskan ke Nusakambangan,” ungkapnya.
Meski sebagian besar tokoh GRK ditahan, namun perjuangan bukan lantas mati. Tahun 1948, di Samarinda terbentuk Brigade XVI di bawah pimpinan Tantawi (Wahel) dengan inti eks Barisan Sadewa. Eks BPRI Samarinda dan eks GRK di sana lantas bergabung dengan brigade ini. Pun di Samboja, terbentuk konsentrasi kamp gerilya di bawah pimpinan Imat Saili.
“Dalam kamp gerilya ini, tergabung ALRI Divisi IV, eks BPRI, eks PI Balikpapan, dan eks KNIL/GRK Samboja,” terang Hamdani.
Perjuangan para pemimpin di Jakarta melalui jalur perundingan ikut berdampak dalam langkah GRK. Berdasarkan persetujuan Roem-Van Royen, para pejuang yang ditawan Belanda di penjara Balikpapan akhirnya dibebaskan. Dalam pembebasan tanggal 22 November 1949 itu, Abdul Gani termasuk tawanan yang dibebaskan.
“Para tawanan dielu-elukan dalam suatu iringan mobil dan truk mengelilingi Kota Balikpapan berakhir di Pesangrahan Kampung Baru,” tambahnya.
Tanggal 4 Desember 1949, Abdul Gani berangkat dengan pesawat Catalina menuju Samarinda. Keberangkatannya ini bersamaan dengan kembalinya delegasi Kaltim dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Sebagai bekas tawanan Belanda dan telah terbukti sebagai pejuang, Abdul Gani disambut secara meriah di dermaga Samarinda.
“Beliau dikalungi bunga dan seluruh Samarinda mengibarkan bendera merah putih. Malamnya diadakan resepsi di Gedung Palang Merah, Jalan Veteran Samarinda,” tutur Hamdani yang dalam bukunya banyak mengambil referensi buku Kronik GRK/Gerak yang ditulis sendiri oleh Abdul Gani.
Perjuangan para gerilyawan yang begitu heroik dalam mempertahankan kemerdekaan tak ubahnya tentara negara. Makanya pada 12 Desember 1949, Letkol Soekanda Bratamenggala meresmikan gerilyawan sebagai anggota TNI. Di antara yang diakui sebagai TNI yaitu pimpinan BPRI Sangasanga Soekasmo, Djunaid Sanusie, Herman Runturambi, dan JF Sitohang.
Di tahun 1950, Letnan Toto disertai Abdul Gani selaku wakil Republik Indonesia bersama pihak Belanda membebaskan sisa tawanan yang masih berada di penjara Balikpapan. “Demikian pula Mas Patih, Kepala Penjawat Samboja yang ditawan di kamp konsentrasi Gerilya Samboja,” sambungnya.
Tanggal 23 Januari 1950, Kesultanan Kutai Kartanegara mencetuskan sebuah proklamasi. Proklamasi ini bertujuan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia yang berada di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Adapun isi proklamasinya yaitu:
Kita ADJI MOHAMMAD PARIKESIT, soeltan dari Keradjaan Koetai Karta Negara dengan ini mempermakloemkan kepada seloeroeh pendoedoek dan segala lapisan rakjat dr Kerajaan Koetai Karta Negara sebagai berikoet:
menjetoedjoei bentoek Negara Kesatoean oentoek seloeroeh Indonesia.
melaksanakan pantjasila sebagai dasar Pemerintahan Indonesia.
Pelaksanaan setjepat mungkin fatsal 45 dari U.U.D. Republik Indonesia Serikat ialah memberi pemerintahan jang demokratis kepada rakjat.
Samarinda, 23 Djanuari 1950
Soeltan Keradjaan Koetai,
A Modh Parikesit
Proklamasi ini disertai penjelasan yang menerangkan bahwa kesultanan menyetujui bentuk negara kesatuan. Pemerintahan Kerajaan Kutai berkeyakinan, bentuk ini merupakan bentuk yang sebaik-baiknya untuk seluruh rakyat Indonesia dan sesuai dengan tingkatan kecerdasan rakyat pada waktu itu.
Terkait pengakuan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara, sultan memerintahkan dibentuk badan-badan dan alat-alat pemerintahan yang ditentukan rakyat. Untuk menentukan hal tersebut, akan diadakan pertemuan dengan wakil-wakil rakyat dari seluruh Kutai dengan badan-badan yang sah saat itu.
“Sultan hanya merupakan lambang dari tiap-tiap kesultanan. Badan Perwakilan Rakyat mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Dewan Gabungan Kesultanan akan ditiadakan,” tulis penjelasan tersebut. (luk/selesai)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post