SAMARINDA – Terantup kasus korupsi berjemaah, Dody Rondonuwu lama bolos dari kantornya di DPRD Kaltim. Apalagi sejak kasus lama yang membelitnya saat menjadi anggota DPRD Bontang periode 2000-2004 disidangkan kembali di Pengadilan Negeri (PN) Bontang.
Meski lama bolos dan sempat jadi buronan Tim Adhyaksa Monitoring Center (AMC) Kejagung, ternyata penghasilan Dody sebagai legislator tetap mengalir.
Anggota DPRD Kaltim Dapil Bontang-Kutim-Berau itu muncul terakhir kalinya di gedung dewan pada Agustus 2016. Artinya, sekarang hampir tujuh bulan berlalu.
“Dalam aturan seperti itu. Gaji pokok melekat sebagai anggota dewan,” terang sekretaris DPRD Kaltim Achmadi, kemarin (23/3).
Berbeda jika politikus PDI Perjuangan tersebut diberhentikan permanen sebagai anggota dewan. Tapi, mengenai tunjangan, telah disetop per November 2016. Demikian pula, terhadap fasilitas yang selama ini dinikmati wakil ketua dewan tersebut, sudah ditarik. Semisal, rumah jabatan dan mobil dinas.
Sekalipun, usulan pemberhentian sementara masih berproses. Saat bersamaan, Dody telah menempuh kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
“Dasar kami (sekretariat) menyetop karena status terdakwa,” katanya.
Diketahui, gaji pokok wakil ketua per bulan sebesar Rp 6,67 juta. Sementara itu, tunjangannya Rp 19,22 juta. Dengan tujuh bulan tak berkantor, negara harus mengeluarkan anggaran secara cuma-cuma untuk gaji Dody dengan total Rp 46,69 juta.
Dalam Pasal 146 ayat 4 UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, penghentian pemberian tunjangan dan fasilitas baru bisa dilakukan ketika surat pemberhentian sementara dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terbit.
Achmadi beralasan, kebijakan itu diambil dengan mempertimbangkan agar pada kemudian hari tak sulit menagih tunjangan bila putusan telah berkekuatan hukum tetap menyatakan bersalah.
“Sebaliknya (tidak bersalah), kami berikan haknya sejak November 2016,” tutur dia.
Mengenai ketidakhadiran Dody selama ini, mantan kepala Biro Perlengkapan Setprov Kaltim itu belum menerima laporan dari Bagian Persidangan Sekretariat DPRD Kaltim. Disebut-sebut, saat sekarang Bagian Persidangan sedang merekap daftar absensi 55 anggota dewan.
Dalam Pasal 355 ayat 2 (d) UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan, tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD provinsi yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, diberhentikan antarwaktu.
“Absen itu biasanya saat paripurna. Wewenang BK (Badan Kehormatan DPRD) memproses,” ucapnya.
Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah mengatakan, gaji pokok memang melekat sepanjang yang bersangkutan menjadi anggota dewan. Sekalipun dinonaktifkan sementara. Beda kasusnya, jika telah diberhentikan tetap atau menjalani pemberhentian antarwaktu.
“Bicara hukum, hitam putih. Faktanya negara dirugikan. Tidak bekerja tapi tetap digaji,” kata dia. Maka itu, bila terus-menerus tak ada kepastian hukum terhadap status Dody, negara akan terus-menerus dirugikan karena membayar orang yang tidak bekerja.
TUNTUT KEADILAN
Kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang selalu diucapkan di awal putusan sebuah perkara pidana, kembali disuarakan mantan kolega Dody Rondonuwu. Aparat penegak hukum diminta bersikap adil dalam kasus korupsi di DPRD Bontang periode 2000-2004.
“Apa bedanya saya dengan Dody. Dulu, saya ditahan sampai proses kasasi. Tapi, Dody hanya dicari-cari saat banding. Sekarang dia bebas berkeliaran,” kata mantan wakil ketua DPRD Bontang Totok Meinarko.
Pria ini juga merupakan mantan atasan Dody di DPC PDI Perjuangan Bontang. Totok tak hanya membandingkan proses hukum yang dia jalani, dengan Dody. Ia juga membeber nasib mantan kolega lainnya yang terlibat kasus tersebut. Dicontohkan, Asriansyah dari Partai Golkar yang jalan bareng perkaranya dengan Dody, kini mendekam di Rutan Bontang.
“Jadi intinya, saya minta keadilan. Meskipun ada kasasi, eksekusi penahanan tetap harus dilakukan seperti kami dulu. Tangkap Dody,” kata Totok.
Menurut dia, selain Dody, ada satu lagi mantan anggota DPRD Bontang mesti segera ditangkap. Yakni, Kamran Haya. Politikus Partai Golkar ini diketahui pernah menjadi ketua Persatuan Guru Swasta (PGS) Bontang. Dia sudah bertahun-tahun buron. Kejaksaan harus serius mencarinya.
Kelihaian Dody dan Kamran menghindari jeratan hukum, kata Totok, semestinya menjadi pertimbangan bagi penegak hukum untuk melakukan penindakan lebih tegas. “Tangkap mereka, supaya adil,” tandasnya.
Diwartakan sebelumnya, Dody menghilang sejak dipanggil jaksa untuk menjalani penahanan dalam kasus korupsi di DPRD. Penahanan itu merupakan perintah Pengadilan Tinggi (PT) Tipikor Kaltim, seiring masuknya perkara Dody ke tahap banding.
Ia “muncul diam-diam” setelah putusan banding keluar dan mengajukan upaya hukum kasasi. Sehingga dengan sendirinya, perintah penahanan dengan penetapan Nomor 90/Pen.Pid.Tpk/2016/PT.SMR itu gugur. Jadi, sekarang Dody tidak buron lagi karena perkara kasus sudah menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA).
“Itu (perintah penahanan dari PT Tipikor) tidak bisa diterapkan lagi, karena kasus sudah masuk kasasi,” kata Kasi Pidsus Kejari Bontang Novita Elisabet dua hari lalu. Kejaksaan sudah berupaya maksimal mengurung Dody di Rutan Bontang, namun gagal. Sesuai prosedur, tiga kali dipanggil tidak datang. Sampai akhirnya, politikus PDI Perjuangan yang beralamat di Jalan MH Thamrin Bontang Baru itu dinyatakan buron. (ril/kri/riz/kpg/gun)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post