Bak pedang bermata dua, candu gim itu membawa faedah. Namun, tak sedikit mendatangkan kerugian.
MENJENTIKKAN jarinya, Dede Sumarna bergegas mendekati layar komputer jinjingnya. Sepuluh menit lalu, polisi berpangkat brigadir itu sedang mengatur strategi menghadapi lawan dalam gim Grand Theft Auto V. Permainan tersebut menantang karena dirinya bisa menjadi polisi, namun di lain waktu boleh jadi mafia.
Kedua matanya nyaris tak berkedip menatap monitor, jemari tangan kirinya pun lihai menari di atas papan tik, sementara tangan kanan berkali-kali mengetuk tetikus. Bagi dia, gim bisa membawa keuntungan. Bahkan dari situ jaringan pertemanannya bertambah. “Gim itu enggak selamanya membawa dampak negatif,” ucap Dede kepada Kaltim Post di Mapolsek Samarinda Kota, Kamis pekan lalu.
Dari gim, Dede iseng membuat konten di situs web berbagi video, YouTube, lewat channel-nya yang dinamai Omsenanggamer27. Aktivitasnya memainkan Dota, Grand Theft Auto 5, hingga PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), tak jarang disiarkan secara live streaming di platform tersebut. Keisengan pun mendatangkan berkah. Tiap videonya ditonton rata-rata lebih 20 ribu orang.
Dari gim, Dede melebarkan sayap ke konten video blog (vlog). Tayangan tersebut berisi kesehariannya sebagai polisi. Misi khusus Dede adalah mengubah citra polisi yang angker dan disegani, menjadi lebih menghibur dan atraktif. “Alhamdulillah dapat reaksi positif,” akunya. Namanya pun semakin melejit saat dirinya iseng bermain aplikasi chat video secara acak, Ome TV.
Tiap video yang menurutnya bisa mengocok perut, kemudian diunggah ke YouTube. Maklum saja, penampilannya lengkap dengan seragam polisi, membuatnya mencolok dan unik. Reaksi warganet yang dijumpainya di Ome TV pun kerap mengundang gelak tawa. Sebagian besar ketakutan dan kaget melihat Dede dengan seragam polisi lengkap dengan atributnya. “Enggak sangka bisa trending,” akunya kemudian tertawa.
Bahkan, aksinya sempat disiarkan salah satu stasiun televisi swasta nasional. Keberhasilan tersebut mendapat apresiasi dari kanal YouTube, penghargaan Silver Play Button pun dalam genggaman.
Sesuai namanya, piagam dengan bentuk icon play YouTube, terbuat dari perak murni, diberikan kepada siapa pun pemilik channel dengan pencapaian 100 ribu subscriber. “Jadi gim tidak selalu membawa dampak negatif, ada yang baik juga bisa dipetik. Bahkan bisa belajar hal lain,” sebutnya kemudian menambahkan, “Dari gim juga saya bisa dapat uang jajan tambahan.”
Menurutnya, dari gim dirinya bisa belajar banyak. Baik itu soal komputer, editing video hingga belajar bahasa baru, Inggris misalnya. Sebab, rekan sepermainan terkadang ada yang berasal dari negara lain. “Dari gim juga kreativitas diasah. Jadi stigma negatif, mereka yang bermain gim itu bodoh adalah kurang tepat. Justru sebaliknya,” paparnya.
Senada dengan pendapat tersebut, Dr Jo Bryce dari Manchester University dalam Tridhonanto, Optimalkan Potensi Anak dengan Game (2011, hal 33) menyebut, telah membuktikan gim bisa membuat orang lebih pintar. Mereka yang bermain game 18 jam per minggu memiliki koordinasi baik antara tangan dan mata. Selain itu, daya konsentrasinya akan semakin meningkat.
Selain itu, berdasar data dari 12 ribu siswa sekolah menengah atas, Royal Melbourne Institute of Technology menemukan bahwa pelajar yang gemar bermain game online setiap hari memperoleh nilai 15 poin di atas rata-rata dalam mata pelajaran matematika serta membaca, dan 17 poin di bidang ilmu pengetahuan. Data tersebut merupakan hasil dari Program for International Student Assessment (PISA) 2012, dikelola oleh Organization for Economic Cooperation and Development.
Selain nilai, ada sejumlah aspek yang juga jadi pertimbangan peneliti. Contohnya hobi para siswa, aktivitas di luar rumah, hingga durasi pemakaian internet. “Karena itu wacana haram gim PUBG menurut saya terlalu berlebihan,” tegasnya.
Nah, menurut survei Tim Riset Kaltim Post kepada 103 responden di Kaltim, 65,05 persen responden menjawab tidak setuju dengan wacana mengharamkan gim PUBG dan sisanya mengaku sepakat. Sementara itu 37,93 persen responden yang bermain gim karena hobi dan permainan yang paling banyak dimainkan adalah jenis action (lihat grafis).
Sejak kecil, dia sudah karib dengan dunia gim konsol, mulai Nintendo dengan permainan Mario Bros atau generasi PlayStation seperti Harvest Moon. Namun, kegemarannya tersebut mendapat pengawasan ayah-ibunya. “Orangtua cukup cerewet soal gim. Saya dilarang bermain pas sekolah. Dibatasin hanya Sabtu-Minggu,” akunya.
Hal serupa diterapkan dalam kehidupan keluarganya. Dirinya tak pernah melarang anak-anaknya bermain gim. Namun, perlu diingat, pengawasan memang perlu dilakukan. Kebijakan serupa pun diterapkan, Senin–Jumat anak-anaknya belajar tanpa gawai, selebihnya Sabtu–Minggu, Satria Nata Prawira (10) dan Anindita Putri Anaya (5) dibolehkan memegang gawai dengan pendampingan orangtua. “Durasinya juga wajar, tak boleh lebih dari tiga jam. Mereka juga harus istirahat,” tuturnya.
Nia, sang istri yang dipersunting satu dekade lalu juga menjadi alarm bagi Dede ketika dirinya kelewat waktu karib dengan layar komputer. Nia selalu menjadi pengingat Dede ketika bermain kelewat larut. Dede pun membiasakan berhenti ketika jam menunjukkan pukul 11.00–12.00 malam. “Sebenarnya negatif atau tidak itu lebih kepada keluarga. Pengawasan dan saling mengingatkan menjadi peran yang krusial,” imbuhnya.
Dia menambahkan, gim bagi anak memang harus mendapat pengawasan ketat. Tapi bagi dewasa yang tahu baik dan benar tentu wacana tersebut harus mendapat pertimbangan matang.
Walaupun demikian, dirinya tak menampik pernah mendapat pengalaman buruk dengan adiksi gim. Ya, 2004 lalu setelah menempuh empat semester di Politeknik Samarinda, masa pendidikan sebagai mahasiswa harus berakhir lantaran mendapat status drop out (DO). Kala itu gim sudah mengambil alih hidupnya dan pengawasan dari orangtua juga berkurang. “Saya menyesal dan sejak saat itu saya benar-benar belajar menjadi lebih bijak dengan dunia gim. Untuk berhenti sedikit sukar karena itu hobi,” akunya kemudian terkekeh.
Bulan berbilang tahun, kesempatan menjadi polisi pun terbuka pada 2005. Ikut pendaftaran sekolah polisi di Balikpapan, lolos tes babak baru kehidupan Dede pun dimulai. Pria kelahiran 31 Januari 1987 itu merangkai kembali kehidupan dalam tanggung jawab baru di pekerjaan tanpa meninggalkan kegemaran. Kedisiplinan sebagai polisi, melatihnya teratur membagi waktu. “Hingga sekarang saya masih bermain gim, namun lebih bijak dalam atur waktu,” terangnya.
PICU RAGAM KONFLIK
Candu online gaming dan gawai pada kalangan anak menjadi tren yang tak bisa dipandang sebelah mata. Meski rasanya wajar anak menyukai hal berbau gim, mengingat pada usia anak memiliki waktu bermain lebih banyak. Namun, apapun hal yang berlebihan, termasuk online gaming, dapat membawa dampak negatif.
Dari sudut pandang ilmu psikologi, ada banyak faktor yang mendukung anak kecanduan online gaming. Pertama, dukungan lingkungan. Sejatinya, anak merupakan peniru ulung. Dia akan meniru orang-orang di sekitarnya yang sebagian besar sibuk dengan gadget. Apalagi penggunaan gadget seperti tak mengenal waktu.
“Ketika dalam masa perkembangan, anak seharusnya bermain bola dan segala jenis permainan anak atau pegang alat tulis, anak malah pegang handphone,” kata psikolog klinis Ayunda Ramadhani.
Alasannya apalagi kalau bukan karena lingkungan yang memberikan dan memperbolehkan anak menggunakan handphone. Sebab, anak tidak mungkin bisa menggunakan handphone tanpa ada yang mengarahkan sebelumnya.
Kedua, orangtua memiliki asumsi yang salah tentang manfaat gadget. Mereka menganggap gadget adalah solusi yang tepat untuk mengatasi rewelnya sang buah hati. Jadi, akses anak untuk bermain gim di gadget semakin mudah karena tak ada batasan dari orangtua. Belum lagi faktor mudahnya anak mendapatkan jaringan wifi, ketersediaan kuota internet, hingga keberadaan warung internet (warnet) yang mudah ditemukan di berbagai penjuru kota.
Berbagai akses itu semakin membuat anak mudah terbuai keinginan menyentuh online gaming. “Akses gim mudah, pemikiran orangtua yang salah, serta lingkungan yang mendukung. Semua itu menjadi cikal bakal anak untuk candu. Tren candu gim terus meningkat untuk anak-anak usia SD, bahkan anak usia di bawah 5 tahun malah sudah diajari menggunakan handphone,” bebernya.
Saat anak sudah berhasil mengakses ponsel, dia pasti akan mencoba berbagai aplikasi yang ada dalam gadget itu. Mulai online gaming sampai YouTube. Akibatnya, semenjak usia dini, anak sudah tahu manfaat gadget, yaitu rasa senang dan bahagia.
Ayunda menjelaskan, saat bermain gim, otak mendeteksi dan mengeluarkan hormon endorfin atau bahagia. Sehingga, paparan gadget mampu menimbulkan kebahagiaan dan mengurangi kejenuhan anak. Akhirnya, anak terus ketagihan atas sensasi kesenangan tersebut.
“Pola nagihnya ini sama saja dengan narkoba dan pornografi. Sebenarnya anak yang bermain gim cenderung merasa kesepian, tidak ada kegiatan dan mencari perhatian. Lalu mengalihkannya dengan gim dan kebablasan,” tuturnya.
Walhasil, kebiasaan buruk ini mampu mendatangkan beragam dampak bagi anak. Gejalanya dapat terlihat dari penurunan prestasi akademik hingga kurang rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Anak yang candu dengan gim lebih individualistis, sibuk dengan dunia sendiri dan kurang bersosialisasi.
Kemudian, mudah marah ketika diganggu. “Kalau kalah bermain, emosi tidak stabil karena otaknya sudah penuh dengan gim. Cenderung egois. Bahkan kalau kepepet, butuh uang untuk bermain online gaming, mereka bisa nekat mencuri,” ucapnya.
Senada dengan itu, Weinstein dalam jurnal Computer and Video Game Addiction: A Comparison Between Game Users and Non-Game Users (2010, hal 268–276) menyebut, kecanduan gim daring ditandai dengan sejauh mana seorang bermain gim berlebihan sehingga mengganggu kehidupannya sehari-hari.
Seturut dengan hal tersebut, Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization mengkategorikan kecanduan gim dalam Klasifikasi Penyakit Internasional ke-11 atau 11th International Classification of Diseases pada 2 Januari 2018.
Dalam lansiran resminya, WHO mencantumkan panduan yang berisi kode, tanda, dan gejala yang digunakan dokter dan peneliti untuk melacak dan mendiagnosis penyakit tersebut. Panduan itu menunjukkan bahwa perilaku permainan yang abnormal harus dibuktikan selama periode minimal 12 bulan sebelum menjatuhkan diagnosis.
Namun, periode tersebut dapat dipersingkat jika gejalanya parah. Setidaknya, tiga gejala yang mengiringi kecanduan gim daring menurut WHO. Pertama, gangguan kontrol atau tidak mampu mengendalikan frekuensi, intensitas, dan durasi bermain. Kedua, gim semakin menjadi prioritas hidup. Gejala ketiga adalah terus melanjutkan gim meski sudah menerima konsekuensi negatif. “Jadi orangtua harus melakukan pengawasan. Jangan sampai dianggap sepele,” terangnya.
Dia menambahkan, wacana mengharamkan PUBG pun dirinya ikut aturan pemerintah, namun harus bijak karena permainan tersebut juga dimainkan orang dewasa. “Ada baiknya mereka yang di bawah 13 tahun tak memainkan,” sarannya.
Lebih lanjut, pemilik biro psikologi Mata Hati tersebut memberikan beberapa solusi kepada orangtua yang karib dengan gawai. Pertama, baiknya tak memberikan gawai kepada anak di bawah 10 tahun. Sebelum 17 tahun baiknya ponsel pakai kata sandi. Orangtua juga harus dituntut beradaptasi dengan perkembangan zaman.
“Beri aturan yang jelas, saat berada di rumah usahakan gawai lepas dari tangan sehingga anak bisa mengikuti,” jelasnya kemudian menambahkan, “Yang paling penting, saat memberikan saran kepada anak jadilah sahabatnya.”
Dia berpendapat mereka yang berpenghasilan lewat gim juga baiknya memerhatikan waktu. Sebab tubuh juga perlu istirahat, makan yang sehat serta olahraga. “Setahu saya atlet e-sport juga melakukan olahraga dan belajar mengenai strategi dalam pertandingan. Ya, mereka profesional. Jika boleh, pemerintah juga melakukan hal sama bila hendak serius,” pungkasnya. (tim kp/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post