BONTABGPOST.ID, Samarinda – Empat permohonan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dari Kalimantan Timur (Kaltim) telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tiga di antaranya berasal dari pemilihan bupati (Pilbup), dan satu dari pemilihan gubernur (Pilgub).
Hal ini memicu perhatian publik, terutama terkait dalil yang diajukan oleh pasangan calon yang merasa dirugikan.
Menurut Saipul Bahtiar, pengamat sosial dan politik dari Universitas Mulawarman, dugaan pelanggaran dalam tahapan Pilkada menjadi alasan utama diajukannya gugatan ini.
Pelanggaran tersebut bisa mencakup kecurangan dalam pendaftaran calon, pemungutan suara, hingga rekapitulasi hasil penghitungan.
“Dalilnya sering kali terkait pelanggaran norma atau aturan dalam tahapan Pilkada. Misalnya, politik uang atau keberpihakan birokrasi,” ujarnya.
Salah satu pelanggaran yang kerap menjadi sorotan adalah pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Hal ini mencakup politik uang yang diduga dilakukan secara terencana dan melibatkan banyak pihak.
Meski laporan seperti ini sering kali diajukan ke Bawaslu, keputusan yang dikeluarkan tidak selalu memuaskan pihak pelapor.
Dalam sengketa hasil Pilkada, salah satu hal penting yang diperiksa oleh MK adalah ambang batas selisih suara, sesuai Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Misalnya, untuk Pilgub Kaltim dengan jumlah penduduk sekitar 4 juta, gugatan hanya dapat diajukan jika selisih suara tidak lebih dari 1,5 persen dari total suara sah.
Hasil rekapitulasi KPU menunjukkan pasangan Rudy Mas’ud-Seno Aji meraih 55,7 persen suara, sementara Isran Noor-Hadi Mulyadi memperoleh 44,3 persen.
Selisih 11,4 persen ini jauh di atas ambang batas. Hal serupa terjadi pada Pilbup Mahulu dan Kukar, yang selisih suaranya juga melampaui ambang batas.
Namun, kasus berbeda terjadi pada Pilbup Berau. Pasangan Madri Pani-Agus Wahyudi mengajukan gugatan setelah hanya terpaut 0,52 persen suara dari pasangan Sri Juniarsih-Gamalis.
Meski syarat ambang batas menjadi acuan utama, MK kini juga mempertimbangkan alat bukti yang diajukan oleh pemohon.
Bukti adanya pelanggaran dalam tahapan Pilkada, terutama yang tidak ditangani maksimal oleh Bawaslu, bisa menjadi dasar untuk melanjutkan pemeriksaan.
“MK tidak hanya berhenti pada pemeriksaan ambang batas, tapi juga melihat bukti-bukti yang diajukan. Jika ditemukan kecurangan TSM, maka pemeriksaan bisa dilanjutkan,” jelas Saipul Bahtiar.
Empat Gugatan dari Kaltim
Empat gugatan Pilkada dari Kaltim ini diajukan oleh berbagai pasangan calon dengan dalil dan situasi berbeda:
- Pilbup Berau
Pasangan Madri Pani-Agus Wahyudi mengajukan gugatan karena selisih suara hanya 0,52 persen. Kuasa hukum mereka, Abdul Hamid, mengajukan permohonan pada 6 Desember 2024.
- Pilbup Kukar
Dua pasangan calon, Awang Yacoub Luthman-Akhmad Zais dan Dendi Suryadi-Alif Turiadi, mengajukan gugatan pada 9 Desember 2024. Namun, selisih suara mereka dengan pasangan Edi Damansyah-Rendi Solihin masing-masing mencapai 59,64 persen dan 46,58 persen, sehingga melampaui ambang batas.
- Pilbup Mahulu
Pasangan Novita Bulan-Artya Fathra Marthin mengajukan gugatan pada 10 Desember 2024. Namun, selisih suara sebesar 6,43 persen membuat peluang mereka untuk lolos ke pemeriksaan lanjutan sangat kecil.
- Pilgub Kaltim
Gugatan pasangan Isran Noor-Hadi Mulyadi diajukan pada 11 Desember 2024, dengan dalil adanya dugaan pelanggaran selama proses Pilkada.
Keputusan MK akan bergantung pada dua hal utama: apakah ambang batas selisih suara terpenuhi, dan apakah alat bukti yang diajukan cukup kuat untuk membuktikan adanya pelanggaran. Jika tidak, perkara akan dihentikan pada putusan sela.
Namun, jika alat bukti menunjukkan adanya pelanggaran yang signifikan, pemeriksaan akan berlanjut.
Ini yang membuat sengketa Pilkada selalu menarik perhatian, terutama bagi masyarakat yang berharap pada keadilan pemilu. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: