File Foto Masih Dikirim lewat Sopir Bus

Nursalam saat berada di daerah Sekambing (sekarang Bontang Lestari)(dok /pribadi)

SELALU ada kisah menarik di balik berita-berita yang besar. Seperti halnya yang dialami Nursalam kala masih menjadi wartawan Manuntung, cikal bakal dari Kaltim Post saat ini. Salam – sapaan akrabnya- bercerita, teknologi menjadi satu-satunya hambatan yang harus dilewati di zaman dia bertugas, pada 1990-an. Masih terbatasnya akses internet, jadulnya komputer, dan mahalnya akses komunikasi harus dilalui Salam semasa menjadi kuli tinta.

Di masa itu, Salam harus mengirim beritanya melalui jaringan internet yang terpasang di kantor Manuntung. Namun, penggunaannya tidak mudah. Salam terlebih dulu harus menelpon kantor Manuntung Samarinda atau Balikpapan untuk mengirim file berita yang sudah diketiknya.

Setelah itu, barulah file bisa dikirim dari Bontang. Deadline pengiriman berita saat itu pada pukul 17.00 Wita. “Tapi, kalau saat proses transfer ada yang menelpon, maka gagal prosesnya. Harus mengulang dari awal lagi,” katanya.

Begitu pula dengan pengiriman foto. Setiap harinya, Salam menitipkan hasil cetakan foto kepada sopir langganannya. Hal tersebut terus terjadi hingga akhirnya kantor Manuntung mendapatkan mesin scanner pada 1995. Proses mengirim filenya pun sama dengan mengirim berita. Salam pun harus mewaspadai disket yang menjadi media penyimpanan beritanya. Pasalnya, komputer yang digunakan pun masih bersistem DOS. “Kalau sudah kena virus, ya wassalam sudah,” jelas Salam.

Hal yang sama juga dirasakan Ubaya Bengawan. Anggota DPRD Bontang yang dulunya juga merupakan wartawan Kaltim Post ini pernah merasakan bagaimana mengirim foto dari Bontang ke Samarinda dengan menitipkannya pada sopir bus. “Dulu untuk cuci foto juga harganya tidak murah. Pokoknya sebelum era digital, masih susah untuk mengirim foto-foto,” papar dia.

Adi Darma, mantan wali kota Bontang di era 2011-2016 ternyata sempat merasakan getir kehidupan menjadi seorang wartawan semasa dirinya mahasiswa. Di banding saat ini, teknologi di masa Adi menjadi wartawan pada awal 1990-an sangatlah terbatas. Dulu, wartawan merekam wawancara dengan recorder sederhana dan mengetik dengan mesin tik. “Sekarang, wartawan bisa merekam wawancara, menulis dan mengirimkan berita hanya dengan sebuah ponsel pintar,” ujar Adi.

Bukan hanya itu, kecepatan penyampaian berita pun berbanding jauh. Adi menyebut pada masanya, berita-berita yang didapatkan dari daerah tidak serta merta sampai ke pemerintah pusat. Bahkan butuh waktu hingga dua bulan hingga berita diketahui pusat. Hal ini dikarenakan keterbatasan teknologi.

“Saat itu hanya media-media milik pemerintah seperti Antara dan RRI yang memiliki kemampuan pengiriman berita dengan cepat melalui satelit. Kalau sekarang kan misalnya ada suatu kejadian di Bontang, dalam waktu hitungan menit saja sudah bisa diketahui di daerah-daerah lain,” jelasnya.

Adi mengatakan, kemajuan teknologi saat ini memunculkan apa yang kemudian dikenal sebagai citizen journalism atau jurnalisme warga. Dalam hal ini, warga masyarakat biasa pun bisa mengabarkan suatu informasi melalui teknologi yang dimilikinya. Salah satunya melalui jejaring sosial seperti facebook dan juga aplikasi whatsapp. “Teknologi saat ini lebih mengarah pada keterbukaan, dengan kecepatan informasi. Masyarakat itu sendiri kini bisa menjadi pers lewat media sosial,” ujar Adi. (bbg/luk/zul)

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version