“Pak Gubernur, termasuk Pak Wagub, pada 26 November ini, akan memanggil direktur PT BBE. Dia harus hadir. Tidak bisa diwakilkan”. Wahyu Widhi Heranata (Kepala Dinas ESDM Kaltim)
SAMARINDA – Gubernur Kaltim Isran Noor bakal memanggil pimpinan PT Bukit Baiduri Energi (BBE). Pemanggilan itu sebagai tindak lanjut atas hasil investigasi kematian Ari Wahyu (12), di lubang tambang yang berlokasi di Desa Bukit Raya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Kaltim, Wahyu Widhi Heranata mengatakan, pertemuan dengan pimpinan perusahaan itu akan diadakan di kantor gubernuran 26 November mendatang.
“Pak Gubernur, termasuk Pak Wagub, pada 26 November ini, akan memanggil direktur PT BBE. Dia harus hadir. Tidak bisa diwakilkan (pada bawahannya),” tegas Wahyu, Senin (19/11) lalu.
Disebutkannya, temuan ESDM Kaltim membuktikan bahwa lubang tambang yang digunakan sejumlah pelajar pada 4 November lalu, masih berada di wilayah operasional PT BBE. Meski lubang itu tidak digunakan perusahaan tersebut, karena diduga dikelola perusahaan tambang ilegal, namun pemerintah berpegang pada wilayah operasional PT BBE.
“Senang tidak senang, suka tidak suka, itu terjadi di wilayah kerja PT BBE. Walaupun bukan di pit-nya. Tetapi itu merupakan tanggung jawab PT BBE. Investigasinya sudah selesai. Dan kami sudah laporkan ke Pak Gubernur,” ucapnya.
Wahyu membenarkan adanya tambang ilegal yang beroperasi di Desa Bukit Raya. Karena berada di areal konsesi PT BBE, gubernur akan menggali masalah tersebut. Pihaknya juga akan menyinggung proses pengamanan yang tergolong ketat di perusahaan itu. Bahkan pemerintah diperiksa dengan teliti. Padahal perusahaan tersebut beroperasi atas izin negara.
“Saya saja masuk di sana harus lewat sekuritinya dulu. Padahal itu yang dicuri aset negara loh. Negara hanya memberikan izin pada PT BBE untuk mengelola kekayaan dan dijual. Tetapi tolong dijaga wilayah kerjanya. Masa ada orang nambang, enggak tahu,” katanya.
Diketahui, kematian pelajar di lubang tambang itu telah menimbulkan beragam protes dari aktivis tambang, mahasiswa kehutanan, hingga akademisi. Pasalnya, dari catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, korban jiwa itu menambah daftar kematian di lubang eks tambang.
Sejak 2011 hingga akhir November 2018, sudah 31 orang meninggal di lubang tambang. Secara umum, kematian anak-anak dan pelajar itu terjadi di Kukar, Samarinda, dan Penajam Paser Utara.
Salah satu sebab merebaknya korban itu karena lubang tambang tak kunjung ditutup, tidak diawasi, dan tidak ada pengamanan ekstra. Sehingga warga setempat dengan mudah mengakses lubang tersebut.
Terkait hal ini, terdapat perbedaan pemahaman dalam penafsiran peraturan dan undang-undang. Sejumlah anggota dewan menyebut, perusahaan memiliki kewajiban menutup lubang tambang.
Pandangan berbeda dari Kepala Dinas ESDM Kaltim Wahyu Widhi Heranata. Dia berpendapat, perusahaan tidak berkewajiban menutup lubang tambang. Alasannya, tidak ada aturan yang mendasarinya. Hanya saja, korporasi diwajibkan melakukan reklamasi dan revegasi.
Pendapat pimpinan organisasi perangkat daerah tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dari aktivis tambang. Salah satunya, setelah ditambang, siapa yang bertanggung jawab atas keberadaan lubang tersebut?
Pada titik tersebut, berdasarkan beragam komentar yang diterima Metro Samarinda, Dinas ESDM memiliki jawaban. Ribuan lubang tambang itu dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah. Dengan begitu, warga, perusahaan, dan pemerintah dapat membangun kerja sama untuk memfungsikan lubang tambang. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post