SEBAGAIMANA keterbatasan yang dimiliki, akses informasi terkait pemilu untuk para penyandang disabilitas pun diakui masih sangat terbatas. Dari penelusuran media ini, diketahui para pemilih potensial baru mendapatkan sosialisasi di tahun ini untuk gelaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018.
Berita Terkait, Memilih dalam Senyap
Jessie Agrippina, salah seorang fasilitator penyandang disabilitas mengungkapkan, akses informasi tentang kepemiluan untuk para penyandang disabilitas tergolong masih kurang. Sehingga, masih banyak dari mereka yang belum mengetahui pentingnya peran serta dalam pemilu.
“Harapan teman-teman (penyandang disabilitas) bisa memilih seperti masyarakat umum. Tapi mereka belum tahu tujuan memilih itu apa. Pentingnya suara mereka untuk pemilu itu juga belum tahu,” ungkap Jessie yang menjadi relawan di Inkubator Bisnis (Inbis) Permata Bunda Bontang, lembaga pelatihan bagi para penyandang disabilitas.
Berbeda dengan orang-orang umum, informasi mengenai kepemiluan tak bisa begitu saja diberikan kepada penyandang disabilitas. Untuk membaca saja, sebut Jessi, mereka sulit untuk memahami. Penjelasan yang diberikan pun kerap kali tidak dipahami dengan baik. “Akhirnya mereka merasa mungkin tanpa suara mereka juga tidak masalah,” tambahnya.
Karena itu Jessi mengapresiasi sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bontang di Inbis beberapa waktu yang lalu. Apalagi KPU merekrut tiga orang dari komunitas penyandang disabilitas menjadi Relawan Demokrasi. Menurut dia, sosialisasi yang disampaikan oleh sesama penyandang disabilitas akan lebih mudah dimengerti.
“Misalnya teman-teman tunarungu, biasanya lebih suka dan lebih paham dengan apa yang sesamanya sampaikan. Karena bahasanya kan beda sama orang umum,” terang Jessie.
Sehingga dengan adanya relawan ini, diharapkan bisa membantu para penyandang disabilitas untuk memahami tentang pemilu khususnya pilgub. Meski begitu, Jessi menyebut perlu adanya sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi pertama beberapa waktu lalu. Karena untuk menanamkan pengetahuan tentang pemilu kepada penyandang disabilitas, sosialisasinya harus diulang-ulang.
Jessie menjelaskan, ada masanya para penyandang disabilitas ini akan lupa dengan materi yang diajarkan. “Apalagi untuk tunagrahita golongan C, ada hal-hal yang mereka bisa lupa. Termasuk sosialisasi kemarin, bisa jadi mereka suatu saat akan lupa sebelum hari-H,” sebut perempuan berjilbab ini.
Untuk itu, pihaknya akan sangat terbuka ketika penyelenggara pemilu berniat melakukan sosialisasi lanjutan. Agar para penyandang disabilitas bisa kembali diingatkan dan materi sosialisasi bisa lebih luas cakupannya.
Dari pembicaraan yang dia lakukan, sebagian penyandang disabilitas kurang begitu memahami proses pemilu sebelum-sebelumnya. Sehingga, ada yang sekadar datang untuk mencoblos, tanpa pertimbangan-pertimbangan tertentu.
“Mereka tahu itu ada nomor dan gambar, tapi mereka juga tidak tahu, mereka pikir ini (pemilu) seperti voting biasa. Beberapa di antara mereka ada yang memilih dan paham, sisanya kebanyakan tidak paham,” urai Jessie.
Malahan, ada kecurigaan bila sebelumnya para penyandang disabilitas ini dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga menerima politik uang dan memilih kandidat yang dipesankan.
“Curiganya ada beberapa kasus di mana mereka dibayar oleh oknum-oknum tertentu yang akhirnya mereka harus memilih salah satu kandidat. Itu kan terjadi karena ketidaktahuan juga ya, karena mereka tidak tahu dampaknya bagaimana,” urai Jessie.
Kekurangtahuan dan minimnya sosialisasi bisa jadi penyebab masih banyak penyandang disabilitas yang belum melek politik. Ini dibuktikan dengan perubahan sikap para penyandang disabilitas usai sosialisasi digelar.
Kata Jessie, sebelum adanya sosialisasi, para murid di Inbis cenderung bersikap pasif terhadap pemilu. Tetapi setelah ada sosialisasi, mereka sudah mulai membicarakan soal pemilu dan sudah mulai paham kegunaan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat pemungutan suara.
“Misalnya gunanya memilih gubernur itu untuk apa sih? Nah mereka mulai bicarakan apa yang terjadi kalau calon gubernur terpilih nantinya. Jadi mereka sudah yakin banget kalau nanti bakal memilih ke depannya,” papar dia.
Akses para penyandang disabilitas di TPS sendiri menurut Jessie terus mendapat perbaikan dari waktu ke waktu. Seperti misalnya penyandang tunadaksa yang menggunakan kursi roda dan juga tunanetra, telah mendapat bantuan untuk bergerak hingga ke bilik suara. Namun diakui masih ada kendala yang perlu diperbaiki pihak penyelenggara pemilu.
“Ada beberapa yang perlu dikoreksi, seperti papan tanda yang kurang jelas, sehingga mereka (penyandang disabilitas, Red.) masih belum jelas harus pergi ke mana pertama kali dan harus melakukan apa. Masih butuh pengarahan,” beber Jessie.
Memang sejauh ini ada pendamping dari KPU maupun dari fasilitator penyandang disabilitas. Akan tetapi yang menjadi masalah ketika pendamping tidak terlalu paham dengan ketunaan yang dimiliki penyandang disabilitas. Sehingga terjadi penyampaian informasi yang salah.
Untuk itu, dengan adanya Relawan Demokrasi dari sesama penyandang disabilitas, menurut Jessie akan sangat membantu dalam pemberian hak suara ini. Termasuk ajakan untuk tidak golput dalam pemilu.
Salah satu Relawan Demokrasi dari komunitas penyandang disabilitas itu adalah Nur Alias. Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru SLB ini bergabung dengan dua relawan lainnya untuk membantu sosialisasi pemilu kepada para penyandang disabilitas. Kata dia, para penyandang disabilitas sebelumnya tak pernah dilibatkan dalam penyelenggaraan pemilu.
“Dari kami belum pernah jadi penyelenggara pemilu. Pertama kami ingin jadi relawan terlebih dulu untuk memudahkan ke depannya. Sehingga teman-teman ABK (anak berkebutuhan khusus, Red.) bisa lebih tahu dan lebih paham,” ungkap pria berumur 32 tahun ini.
Kata Alias, kondisi ketunaan masing-masing penyandang disabilitas mempengaruhi kebutuhan kala akan memberikan suara di TPS. Misalnya bagi penyandang tunarungu, walaupun di TPS menggunakan pengeras suara, namun tetap saja mereka tidak bisa mendengar. “Sehingga mereka tidak tahu apakah antreannya sudah lewat atau belum,” sebut Alias.
Untuk itulah menurutnya perlu adanya pendamping untuk para penyandang disabilitas saat memberikan hak suaranya. Relawan Demokrasi merupakan salah satu upaya dalam melakukan pendampingan tersebut melalui sosialisasi yang dilakukan.
“Termasuk sosialisasi menolak politik uang. Kemarin saat sosialisasi sudah dijelaskan oleh KPU bahwa politik uang itu dilarang. Teman-teman sudah memahaminya,” tandas Alias. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: