Rencana penghentian sekolah gratis untuk SMA dan SMK mendapat respons beragam di daerah. Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf mengatakan, peralihan kewenangan SMA/SMK dari kabupaten/kota kepada provinsi merupakan amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Amanat UU itulah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. ”Kami inginnya bisa gratis semua, tapi tidak memungkinkan anggarannya,” tuturnya.
Atas kewenangan baru mengelola SMA/SMK, Pemprov Jatim menerapkan standar sumbangan pendanaan pendidikan (SPP) baru yang berlaku untuk SMA/SMK. Besaran SPP sudah ditentukan. SPP tertinggi berlaku di Kota Surabaya. SPP terendah berlaku di Kabupaten Sampang.
Baca: Provinsi Kedodoran, Selamat Tinggal SMA Gratis
Dengan diterapkannya lagi SPP di tingkat SMA sederajat, Dewan Pendidikan Kota Pasuruan khawatir angka putus sekolah di wilayahnya kembali naik. ”Kami mendesak ada langkah tegas pemkot untuk mengupayakan SPP gratis tingkat SMA,” ujar Ketua Dewan Pendidikan Kota Pasuruan Samsul Islam saat ditemui Radar Bromo (Jawa Pos Group) di kantornya kemarin.
Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, mengambil langkah tegas untuk tetap menggratiskan SMA/SMK di wilayahnya. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu Mistin menegaskan kepada Malang Post (Jawa Pos Group), Pemkot Batu tetap memberikan bantuan kepada tiap-tiap sekolah melalui bosda. ”Setiap siswa SMA di Batu mendapatkan bosda Rp 120 ribu dan SMK Rp 220 ribu,” tutur dia. Angka itu lebih tinggi bila dibandingkan dengan patokan SPP yang ditetapkan Pemprov Jatim. Yaitu, SPP SMA Rp 110 ribu dan SPP SMK nonteknik Rp 145 ribu.
Mistin memastikan, pengalokasian bosda untuk siswa SMA/SMK itu tidak menyalahi aturan. ”Saya sudah melakukan konsultasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur,” ungkapnya kemarin. Hasilnya, pemerintah daerah diperbolehkan untuk memberikan subsidi atau bantuan operasional.
Berbeda dengan Pemkot Batu, Wali Kota Malang Mochamad Anton menyatakan belum berani menganggarkan bosda untuk SMA/SMK. ”Kami tunggu petunjuk teknisnya dulu. Kalau kami anggarkan, nanti kami yang salah. Bisa ada temuan, sudah diambil alih provinsi kok Pemkot Malang masih anggarkan, kan itu salah,” kata Abah Anton –sapaannya– kepada Malang Post.
Beda lagi dengan Jawa Barat. Pemprov Jabar mengklaim paling siap dalam peralihan status kelola SMA/SMK. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan, kesiapan untuk alih kelola tersebut dipersiapkan sejak 2016. Salah satunya dilakukan dengan menyusun berbagai sistem penunjang kelancaran kebijakan UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut. ”Di awal itu kami sudah melakukan pendataan dengan menata sejumlah aset sekolah yang ada di 27 kabupaten dan kota,” jelas Aher –sapaannya– ketika ditemui di Gedung Sate kemarin (9/1). Selain itu, penataan kepegawaian Pemprov Jabar, baik struktural maupun nonstruktural, sudah dilakukan. Dengan begitu, secara teknis tinggal pelaksanaannya.
Aher tidak menampik bahwa alih kelola tersebut cukup berat. Sebab, peralihan itu juga berdampak pada status kepegawaian guru. Terlebih lagi, jumlah guru di Jabar saat ini terbilang besar. Dia memerinci, setelah didata, ada 27.277 pegawai. Jumlah itu terdiri atas 24.292 guru, 473 pengawas sekolah, dan 2.512 tenaga administrasi sekolah.
Kesiapan menerima pengelolaan SMA/SMK juga diungkapkan Pemprov Sulawesi Utara (Sulut). Kepala Dinas Pendidikan Sulut Gamy Kawatu mengungkapkan, biaya untuk keperluan operasional sekolah dianggarkan dalam BOS. Namun, lanjut dia, bila ada tambahan kebutuhan yang tidak terdata sebelumnya, dapat dicari jalan keluar atas kesepakatan semua pihak melalui komite sekolah. ”Selama tak memberatkan orang tua maupun para murid, kami membolehkan ada tambahan biaya,” ujarnya. (wan/tim JPG/c11/kim)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: