Oleh: Satwika
Hamparan mangrove terbentang luas di sepanjang pesisir Teluk Balikpapan yang merupakan rumah bagi satwa endemic kalimantan yaitu, bekantan (Nasalis larvatus). Primata yang tergolong hewan arboreal dan herbivora (Monkey leave) ini sangat bergantung terhadap ekosistem mangrove. Mangrove menjadi sumber makanan bagi bekantan. Namun, bentang alam itu kini telah berubah.
Gunung material konstruksi telah menggantikan pohon mangrove yang sebelumnya menaungi mereka. Pipa-pipa beton bekas tiang pancang tertancap di tanah, mengisyaratkan masifnya ekspansi industri. Mangrove yang dahulu memberi kehidupan, perlahan sirna.
Ketika sebagian besar sumber makanan bekantan semakin sulit didapatkan, insting bertahan hidup mendorong mereka mencari alternatif. Di tepi sungai yang semakin keruh oleh sedimen dan limbah, seekor bekantan harus mengais sisa makanan manusia yang terapung dibawa arus. Terbungkus plastik, bekantan menggigit dan mengoyak sesuatu yang asing baginya, bukan dedaunan, bukan buah mangrove, tapi makanan yang seharusnya tidak ia konsumsi. Bola daging bercampur bumbu kacang menjadi santapannya.
Bagi sebagian bekantan, tubuh mereka mungkin mampu beradaptasi. Namun sistem metabolisme bekantan tidak dirancang untuk mengolah makanan manusia. Dan bagi yang tidak mampu beradaptasi, kematian adalah kepastian.
Fenomena ini adalah bagian kecil dari cerminan krisis ekologis yang terjadi di Teluk Balikpapan. Jika hutan mangrove terus terdegradasi, tidak hanya bekantan yang akan punah tetapi manusia juga akan kehilangan penyangga kehidupan. Pertanyaanya bukan hanya “apakah mereka bisa bertahan? tetapi “sampai kapan kita mampu bertahan?



