KALTIM begitu bergantung dengan sumber daya alam (SDA). Sayangnya, tata kelolanya belum ideal. Bahkan, SDA di Kaltim bisa menjadi sumber bancakan segelintir keluarga yang membangun dinasti politik.
Dalam diskusi daring ”Dinasti Politik dan Tata Kelola SDA” yang digelar Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Auriga Nusantara, dan Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Hania Rahma mengatakan, hampir setengah produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim dihasilkan dari sektor pertambangan.
Sedangkan sekitar 77 persen sektor pertambangan Kaltim adalah batu bara. “Nasional tambang cuma 7,8 persen. Jadi, Kaltim memang sangat ketergantungan dengan sumber daya alam,” ucapnya.
Namun disayangkan, kontribusi pertambangan ini tidak berdampak banyak pada pembangunan di Kaltim. Hania memaparkan, data dari indeks pembangunan berkelanjutan daerah, Kaltim ada di urutan 27 dari berbagai provinsi di Indonesia.
Bahkan, Kaltim tertinggi dalam Indeks Natural Resource Curse alias indeks kutukan sumber daya. Setelah Kaltim, ada Papua Barat, lalu Papua, kemudian Riau, dan selanjutnya Aceh. Indeks ini mengacu pada paradoks bahwa negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya non terbarukan, seperti mineral dan bahan bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.
Ketua Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Novianti menambahkan, salah satu dampak tata kelola SDA yang tak ideal adalah perusakan lingkungan, sengketa lahan, sehingga beberapa kepala daerah ditangkap. Sementara itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan, sedikitnya ada tujuh dinasti politik yang terjadi di Kaltim. Castro, sapaannya, membagi tujuh dinasti politik ini jadi tiga kategori.
Pertama, dinasti politik dalam satu jenis lembaga, namun dalam tingkatan yang berbeda. Beberapa keluarga menduduki jabatan di lembaga perwakilan tetapi berbeda tingkatan seperti DPRD provinsi, DPRD kota Kabupaten, ataupun DPR RI. Kedua, adalah dinasti politik yang dibangun di lembaga berbeda, dengan tingkat berbeda. Misalkan dalam satu keluarga anggota keluarganya ada yang menjadi kepala daerah, anggota DPRD, atau DPR RI.
Sedangkan yang ketiga, adalah dinasti politik yang mencengkeram satu wilayah. Misalnya, di satu provinsi atau kota kabupaten, kepala daerah dan anggota DPRD merupakan satu keluarga. “Seperti yang terjadi di Kutai Timur. Bupati adalah Ismunandar dan istrinya (Encek Firgasih) adalah ketua DPRD,” kata Castro. Dia melanjutkan, di Indonesia kebanyakan dinasti politik muncul dalam wujud patrimonial.
Yakni, regenerasi partai yang ditentukan berdasarkan garis keturunan. Bukan karena kemampuannya. Adanya politik dinasti ini disebabkan beberapa hal. Pertama adalah kesadaran masyarakat yang masih mengambang. Lalu, kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi dan rekrutmen. Juga, masih bermasalahnya kemandirian keuangan partai politik. Selain itu, dinamika politik bahwa hanya untuk kelompok tertentu saja.
Lemahnya kontrol sosial dan masih kuatnya kultur feodal, juga turut andil melanggengkan dinasti politik. Dinasti banyak mengandalkan reputasi, karena itu mereka membutuhkan sokongan dari sosial politik masyarakat. “Untuk mengukuhkannya, dinasti politik sangat membutuhkan sumber kapital yang besar. Maka yang jadi sasaran adalah bancakan dana APBD, serta pos bantuan sosial dan dana hibah. Dana bansos di Kaltim 3–4 tahun terakhir masih besar, sekitar 10 persen. Juga pos lain adalah bisnis perizinan,” kata Castro.
Masalah perizinan ini juga jadi sumber permasalahan tata kelola sumber daya alam. Dosen Fakultas Hukum Universitas Balikpapan M Nasir mengatakan, seharusnya perizinan bertujuan untuk mengontrol kegiatan dan memastikan alokasi ruangan atau lahan. Namun realitanya, tak sedikit perizinan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan memicu konflik lahan serta lingkungan hidup. Nasir mengambil contoh yang terjadi di Desa Mulawarman, Kukar.
Desa transmigrasi ini hampir seluruh lahannya sudah dikepung izin usaha pertambangan. Dari keseluruhan sebelumnya 560 hektare, area persawahan hanya 6 hektare. Lalu dari 2.000 hektare areal permukiman saat ini hanya tersisa 85 hektare. Akibat dari pertambangan ini tidak hanya mempersempit ruang hidup dan nafkah masyarakat desa, tetapi dampak lain seperti penyakit, sumber air tercemar, dan kerusakan infrastruktur.
“Masyarakat desa sudah melaporkan pencemaran ke DLH (Dinas Lingkungan Hidup) pada 2008,” kata Nasir. Tak hanya itu, mereka melapor ke Kantor Staf Presiden (KSP) dan Komnas HAM. Sejak 2010, mereka meminta relokasi. Tak mempan di Pemkab Kukar, mereka juga meminta Pemprov Kaltim memfasilitasi pada zaman Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Sedangkan, kasus lain juga terjadi di Dusun Sungai Nangka, Kelurahan Kutai Kartanegara.
Tetapi di dusun ini bukan hanya masalah pertambangan tetapi perkebunan sawit yang mengancam eksistensi warga. Dikatakan Nasir, kasus di dusun ini adalah ada sejumlah pihak yang mengklaim tanah dusun tersebut. Aneka penekanan dari berbagai pihak membuat dusun yang dihuni sejak 1970, pada 2014 hanya tersisa empat kepala keluarga. “Di sini terjadi konflik penguasaan lahan. Ada gugatan kelompok warga dan kelompok tani. Juga, terjadi pencemaran air sungai dan sumur warga,” kata Nasir.
Dia juga merangkum dari 2009–2019 tercatat di Pengadilan Tata Usaha Negara, ada 18 gugatan terkait konflik tambang dengan tambang. Juga, sepuluh gugatan tambang versus sawit. Hal ini terjadi karena pemerintah memberikan izin yang sembarangan. Walhasil, terjadi tumpang tindih lahan hingga berujung kasus sengketa.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Haris Retno mengungkapkan, ada lima kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi berhubungan dengan sumber daya alam. Pertama adalah mantan gubernur Kaltim Suwarna AF yang tersandung kasus terkait perkebunan, begitupun dengan mantan bupati Kukar Rita Widyasari yang diketahui telah menerima gratifikasi terkait perizinan perkebunan sawit. Sedangkan, ayahnya Rita, Syaukani, juga tertangkap KPK karena tersandung kasus lahan bandara dan dana bagi hasil migas.
Terakhir, Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya Ketua DPRD Kutai Timur Encik UR Firgasih.
Menurut dia, tata kelola sumber daya alam di Kaltim benar-benar jauh dari ideal. Dari luas 12,5 juta hektare, hampir separuhnya yaitu 5,2 juta hektare adalah bagian dari izin usaha pertambangan (IUP). Bahkan, ibu kota Kalimantan Timur yaitu Samarinda 71 persen disebut Retno adalah wilayah pertambangan.
“Yang cukup unik di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang baru, tidak menyebut langsung kawasan pertambangan. Tapi, pertambangan itu ada ditemukan di Samarinda,” kata Retno. Belum juga kelar masalah tambang legal, tambang ilegal juga makin marak. Tambang ini bisa dekat dengan permukiman, menggunakan jalan umum, hingga menambang di hutan konservasi. Ada juga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang disebut Retno sebagai legalisasi penghancuran hutan.
Menurut dia, hampir 100 ribu hektare hutan di Kaltim, disebut dalam IPPKH. Lebih luas dibandingkan DKI Jakarta. Tidak hanya pertambangan, perkebunan masalah serius. Retno memaparkan beragam persoalan seperti tumpang tindih perizinan, konflik klaim wilayah adat, alih fungsi kawasan hutan, hingga pencemaran lingkungan juga masih membayangi. (nyc/riz/k8/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post