Catatan
Oleh: Dirhan
Kepala Biro Metro Samarinda
SEJAK dimekarkan sebagai sebuah provinsi pada tahun 1956 silam, Kaltim kini telah beranjak diusia ke-61 tahun. Sebuah usia yang terbilang sudah cukup matang bagi sebuah daerah dengan gelimangan sumber daya alam. Provinsi Kaltim berdiri kokoh di atas lahan seluas 129.066,64 kilometer persegi dengan populasi mencapai 3,6 juta. Dari sisi populasi, Kaltim menempati wilayah dengan kepadatan penduduk terendah keempat di nusantara.
Di tanah Borneo ini, 10 kabupaten/kota berdiri dengan berbagai keberagaman masyarakat, dengan pusat kota utama yakni Samarinda sebagai ibu kota provinsi dan Balikpapan sebagai kota madya. Secara siklus ekonomi, Kaltim dikenal sebagai lumbungnya SDA, dengan sektor andalan pertambangan batu bara dan migas. Di atas kedua sektor itulah, Kaltim hidup dan menjalankan roda pembangunan daerah. Selain itu, belakangan sektor perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet juga menjadi komoditi yang didorong pemerintah bagi ekonomi masyarakat.
Bila melakukan review atas perjalanan ekonomi Kaltim dalam beberapa dekade terakhir, maka dapat dilihat, ekonomi Kaltim sangat bergantung pada sektor ekonomi berbasis sumber daya tak terbarukan. Bahkan selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 1970 hingga 1990, sektor kehutanan menjadi tulang punggung ekonomi wilayah Kaltim dan bahkan laju pertumbuhan ekonomi Kaltim saat itu mampu mencapai 7,42 persen tahun. Namun memasuki era tahun 1990, paradigma pembangunan ekonomi pemerintahan mengarah pada sektor pertambangan. Pelan tapi pasti, eksploitasi besar-besaran terhadap hasil hutan berganti wajah menjadi eksploitasi pertambangan.
Periode 1990-2000, sektor pertambangan, migas dan industri pengilangan minyak bumi dan gas alam cair mulai mengambil alih dominasi ekonomi wilayah Kaltim. Tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lebih rendah yakni maksimal sebesar 5,71 persen per tahun. Memasuki tahun 2000, sektor tambang non migas yakni batu bara menggeser posisi sektor tambang migas. Kedua sektor ini menjadi ladang seksi bagi sumber pendapatan daerah, pengerak ekonomi masyarakat, hingga menjadi barometer bagi akselerasi pembangunan.
Ibarat kata bijak, “Roda kehidupan selalu berputar”. Demikian juga yang kini terjadi pada Kaltim, tanah surga sumber daya alam, di mana masa kejayaan Kaltim sebagai lumbung SDA nasional secara perlahan mulai meredup seiring dengan fluktuatifnya ekonomi dunia. Sebagai dampak yang paling terasa, akibat ketergantungan ekonomi dan pembangunan daerah pada sektor pertambangan, membuat laju ekonomi masyarakat ikut melambat.
Didasari atau tidak, saat ini, sektor pertambangan batu bara tak lagi dapat diandalkan untuk menopang perekonomian Kaltim. Hal itu bisa dilihat, hingga akhir 2015, pertumbuhan ekonomi Kaltim mengalami kontraksi yang cukup dalam yakni minus 0,85 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Pada 2014, pertumbuhan perekonomian Kaltim dapat mencapai sebesar 2,02 persen.
Tidak hanya itu, salah satu dampak yang paling terasa sebagai anjloknya harga pasar dunia terhadap hasil pertambangan batu bara, yakni pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kaltim. Dari tahun ke tahun angka APBD turun bebas dan hampir sulit dikendalikan. Jika di tahun 2013 APBD Kaltim mampu mencapai Rp 15,14 triliun. Maka di tahun 2017 ini APBD hanya bisa menyentuh di angka Rp 8,820 triliun. Tren penurunan ini sudah terjadi sejak tahun 2012. Saat itu APBD berada di angka Rp 13,93 triliun. Namun tahun 2017 menjadi puncak anjloknya APBD Kaltim.
Belakangan menyeruak kepermukaan, anjloknya APBD Kaltim tidak bisa dilepaskan dari lemahnya managemen sistem ekonomi pemerintah daerah, dimana hanya mengandalkan pertambangan sebagai pondasi ekonomi. Sebab penyumbang terbesar bagi batang tubuh APBD Kaltim berasal dari alokasi dana bagi hasil (DBH) pertambangan batu bara dan migas. Sehingga wajar, saat APBN mengalami defisit, maka Kaltim ikut terkena imbasnya. Salah satunya yakni dipangkasnya jatah DBH Kaltim oleh pemerintah pusat di tahun 2016. Sebaliknya, sektor potensial seperti kantong-kantong pendapatan asli daerah (PAD) belum digali secara maksimal oleh pemerintah.
Tidak hanya sampai di situ, mengacu pada Data Pusat Statistik (BPS) Kaltim, pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2014 tumbuh sebesar 3,83 persen. Lebih tinggi dibandingkan triwulan III tahun 2014 sebesar 2,76 persen. Pada triwulan IV di tahun yang sama tumbuh sebesar 1,48 persen. Sementara pada triwulan II tahun 2015 tumbuh positif 0,62 persen. Namun bila dibandingkan triwulan yang sama tahun 2014 mengalami kontraksi negatif sebesar 0,25 persen. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Kaltim di semester I tahun 2015 dibandingkan semester I tahun 2014 juga mengalami kontraksi negatif sebesar 0,28 persen.
Kemudian di tahun 2016, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Kaltim dari triwulan I hingga triwulan IV tahun 2016, dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015 kembali mengalami kontraksi negatif sebesar 0,38 persen. Sementara untuk kinerja ekonomi pada triwulan I tahun 2017 hanya tumbuh sebesar 3,85 persen.
Mengutip dari portal kalimantan.bisnis.com, saat batu bara digelorakan oleh pemerintah, pertumbuhan ekonomi Kaltim dari tahun 2013 ke belakang yakni 2012, 2011, dan 2010 sempat mengalami pertumbuhan yang tinggi. Bahkan, kala itu Kaltim menjadi salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi se-Indonesia. Dimana, Indonesia sempat menyentuh pertumbuhan ekonomi 7 persen hingga 9 persen karena sumbangan dari ekonomi Kaltim.
Saat itu, kondisi batu bara pun sangat bagus dengan harga US$110 per meter kubik. Semua perusahaan mengajukan izin pembukaan lahan baik ke pemerintah pusat maupun ke pemerintah lokal untuk membuka usaha tambang hingga usaha turunannya. Usaha turunannya seperti sewa tongkang, ponton, bus karyawan, penjualan mobil double cabin dan sebagainya bermunculan di Kaltim. Banyak orang berbondong-bondong datang ke Kaltim untuk mencari kerja di sektor tambang batu bara. Bahkan saat booming batu bara, sepanjang sungai Mahakam terdengar suara seperti orang main angklung dengan bunyi ting tong tang, ting tong tang. Suara itu berasal dari para pekerja yang membuat kapal tongkang. Banyak permintaan kapal tongkang untuk mengangkut batu bara. Namun sekarang, suara para perakit besi itu kini tak terdengar lagi.
Sebagai data pembanding lainnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nasional mencatat ada 131,55 juta orang angkatan kerja, terdiri dari 124,54 juta orang bekerja, dan sisanya 7,01 juta orang menganggur. Sebanyak 7,01 juta ini orang inilah yang disebut pengangguran terbuka, yaitu mereka yang masuk kategori angkatan kerja, namun belum punya pekerjaan. Dari data itu, BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2017 turun menjadi 5,33 persen dari Februari 2016 yang sebesar 5,50 persen. Dari 7,01 juta orang pengangguran, BPS mencatat tingkat pengangguran terbesar ada di Provinsi Kaltim. Dimana tingkat pengangguran terbuka di Kalimantan mencapai 8,55 persen dari total pengangguran yakni 7,01 juta orang yang bekerja.
Ada apa dengan Kaltim?, demikian mungkin pertanyaan yang sama-sama ingin kita utarakan. Daerah dengan segudang sumber daya alam, namun pelan tapi pasti justru mengarah pada keterpurukan ekonomi dan pembangunan. Oke, boleh saja pemerintah berdalih, ketidakstabilan APBD, ekonomi, dan pembangunan karena dampak goyahnya ekonomi dunia. Atau pemerintah boleh berdalih, kondisi yang demikian tidak hanya terjadi di Kaltim, tetapi juga di daerah lain misalnya. Namun satu hal yang patut dicatat, anjloknya ekonomi Kaltim pada dasarnya bisa ditekan kalau pemerintah sejak dini bila sejak awal pemerintah telah menumbuh kembangkan ekonomi kerakyaratan. Misalnya dengan mendorong peran koperasi dan UKM. Termasuk mengarap secara serius ekonomi masyarakat di sektor pariwisata dan pertanian.
Di bidang infrastruktur, jalan penghubung antar kabupaten/kota di Kaltim juga tidak kalah memprihatinkan. Jangan ditanyakan jalan antar kecamatan dan desa, kondisinya jauh dari kata layak. Sebagai daerah penghasil batu bara, seyogyanya Kaltim tidak akan pernah kesulitan kalau sekedar menjadikan jalan antar kabupaten/kota teraspal semua. Tapi kenyataan justru berkata lain, Kaltim seakan krisis jalan beraspal. Karena banyak jalan di Kaltim yang tidak tersentuh aspal. Sehingga jangan heran bila musim hujan, jalan-jalan antar daerah di Kaltim menjadi kubangan lumpur. Begitupun bila musim kemarau, jalan menjadi berdebu.
Saat musim hujan, dapat dipastikan aktifitas masyarakat di daerah pelosok Kaltim akan lumpuh total. Akibatnya banyak desa dan kecamatan di daerah pedalaman yang terisolir. Hal itu disebabkan akses jalan yang mereka miliki sulit dilalui karena menjadi kubangan lumpur. Tidak jarang, seperti masyarakat di ujung Kutai Timur, Kutai Barat, atau Kutai Kartanegara misalnya, bisa menempuh perjalanan hingga berhari-hari hanya mengakses ke pusat perekonomian, Samarinda dan Balikpapan.
Sehingga tidak heran bila harga sandang dan pangan di daerah pedalaman dapat meningkat hingga 10 kali lipat dari harga dasar barang. Itu hanya jadi contoh kecil betapa masyarakat Kaltim belum merasakan arti kemederkaan dan kesejahteraan yang sejati di tanah yang menjadi ladang emas, terutama pasca pemerintah melakukan eksploitasi secara besar-besaran pertambangan batu bara dan migas. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: