bontangpost.id – Indeks kerawanan isu politik uang pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 untuk Kaltim masuk tingkat kerawanan sedang. Kaltim masuk 29 provinsi dengan tingkat kerawanan sedang, yakni dengan skor 22,22 di urutan keempat.
Skor yang sama juga diraih Gorontalo yang menduduki posisi kelima. Sementara urutan teratas, diisi DKI Jakarta dengan skor 33,33, lalu Sulawesi Barat, dan Papua Barat mendapat skor masing-masing 27,78.
Tak hanya itu, Kaltim juga masuk lima besar dari 28 provinsi rawan berdasarkan agregasi kabupaten/kota mengenai politik uang. Di mana, Kaltim berada di posisi kedua dengan skor 2,25. Posisi pertama diisi Sumatra Selatan dengan nilai 2,42. Lalu posisi ketiga adalah Jawa Tengah dengan nilai 2,23. Sumatra Barat dan Papua Tengah masing-masing skornya 1,96.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Lolly Suhenty pada kegiatan Peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 Isu Strategis Politik Uang di Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/8), mengingatkan untuk tidak lengah. Meski Kaltim berada pada indeks kerawanan sedang untuk isu politik uang ini.
“Itu yang perlu diperhatikan skoring-nya. Rawan sedang bukan berarti kita lemah melakukan pencegahan. Karena rawan sedang ini harus membuat kita sama-sama aware. Ada potensi politik uang yang harus diwaspadai,” pesan dia.
Penyampaian hal tersebut menjadi bagian dari Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan (IKP) tematik mengenai isu politik uang. Pemetaan kerawanan itu untuk mengedepankan upaya pencegahan.
“Bawaslu harus bikin soal indeks kerawanan pemilu dengan isu spesifik soal politik uang (itu) karena memang Bawaslu bertugas untuk mencegah terjadinya politik uang. Lewat modus operandi yang semakin beragam, kita memerlukan fleksibilitas adaptasi secara cepat dan strategi yang tepat dalam membuat proyeksi maupun deteksi dini dalam upaya untuk pencegahan,” ujarnya.
Lolly merinci, ada politik uang sebelum masa kampanye. Ada pula sebelum hari pemungutan suara. Ada pula politik uang yang dilakukan secara digital. Termasuk juga kegiatan sosial yang diwarnai politik luar dan program pemerintah.
Berkaca pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, menurut dia, modus politik uang terbagi dalam beberapa bentuk. Yakni memberikan langsung, memberikan barang, dan memberikan janji.
“Modus memberi langsung itu salah satunya berupa pembagian uang, voucher atau uang digital dengan imbalan memilih (kepada salah satu peserta pemilu),” ungkapnya.
Hal lainnya yang disebutkan Lolly adalah pelaku yang biasa melakukan politik uang mulai kandidat, tim sukses/kampanye, aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara ad hoc, dan simpatisan atau pendukung (peserta pemilu).
“Pemetaan kerawanan politik uang ini berupaya mengelompokkan kerawanan dalam kategori, modusnya apa, pelakunya siapa, dan wilayah mana,” tutupnya.
Berdasarkan pemetaan kerawanan berdasarkan politik uang itu, terdapat lima provinsi paling rawan. Pertama adalah Maluku Utara dengan skor 100. Kemudian diikuti empat provinsi di bawahnya, yakni Lampung skor 55,56, Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44, dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89.
Jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.
Sementara untuk tingkat kabupaten/kota, daerah paling rawan adalah Kabupaten Jayawijaya, Papua, menduduki urutan pertama. Lalu Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat berkunjung ke Balikpapan, Juni lalu sempat menyampaikan contoh pelanggaran pemilu yang terjadi seperti politik uang dan pemalsuan dokumen.
Khusus untuk pemalsuan dokumen, walaupun tidak terjadi di Kaltim, berkaca dari pengalamannya saat menyidangkan perkara pelanggaran pemilu di MK, modus yang dilakukan adalah dengan memperbanyak surat undangan memilih yang dikirimkan ke masing-masing pemilih.
Kemudian dihimpun oleh orang-orang tertentu, agar nantinya mewakili dalam kegiatan pencoblosan. “Atau ada lagi yang memalsukan dokumen. (Surat suara) sudah jadi, lalu dibuat yang mirip, kemudian dicoblos dan dimasukkan sebagai kertas suara,” kata dia. (rom/k16)







