SAMARINDA – Malang benar nasib 1.400 nelayan di Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Sejak kehadiran kapal pengangkut batu bara di laut Muara Badak Ilir 2012 lalu, cahaya kapal nelayan harus beradu dengan cahaya raksasa yang dimiliki kapal pengangkut emas hitam. Akibatnya, para pemburu ikan laut mengalami kerugian, karena tangkapan ikan berkurang drastis.
Wakil Kelompok Nelayan Muara Badak, Amiruddin menuturkan, sebelum kehadiran kapal pengangkut batu bara, biasanya setiap hari nelayan mendapat uang Rp 500 ribu. Setelah batu bara jadi primadona di daerah setempat, setiap hari nelayan hanya pulang membawa uang Rp 150 ribu.
“Bahkan pendapatan nelayan bisa lebih kecil dari itu. Itupun belum dihitung biaya operasional. Ada juga yang kadang-kadang pulang dengan tangan kosong,” ungkap Amiruddin, Jumat (9/3) kemarin.
Biasanya, nelayan menangkap ikan menggunakan bagan tancap. Secara keseluruhan jumlanya 254 unit. Selain itu, ada jaring trammel net, petani tambak, blade, dan zero zero. Semua jenis jaring tersebut seolah tak berkutik saat menghadapi massifnya cahaya kapal pengangkut batu bara di Muara Badak.
“Selain cahaya kapal pengangkut batu bara yang lebih besar dari cahaya kapal nelayan, kebisingan juga membuat nelayan kesulitan menangkap ikan,” ujarnya.
Akibatnya, setiap tahun nelayan mengalami kerugian sekira Rp 50 juta. Minimal selama enam tahun nelayan sudah merugi Rp 30 miliar. “Tapi jika dihitung seluruhnya, nelayan merugi Rp 500 miliar,” ucapnya.
Sadar akan merosotnya pendapatan setiap hari, tiga kelompok nelayan mengadu pada anggota Komisi II DPRD Kukar. Berturut-turut tiga kali pertemuan dilakukan, namun hasilnya nihil.
Seolah tak menyerah, atas dukungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar, nelayan mengadu asa pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim. Sebanyak 17 kali pertemuan dilakukan, namun hasilnya tak sesuai harapan.
“Kami sangat kecewa, bagaimana mungkin dengan sekian banyak pertemuan itu, pemerintah tidak bisa menekan perusahaan agar segera menunaikan tuntutan nelayan,” katanya.
Sejak 2015, terungkap ada banyak perusahaan yang memanfaatkan perairan setempat untuk pengangkutan batu bara. Teranyar, ada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara dan Felindo Empat. Setiap hari terdapat 900 unit kapal pengangkut emas hitam hilir mudik di Muara Badak Ilir.
Atas kerugian tersebut, nelayan menuntut ganti rugi dari perusahaan. Karena pemerintah dinilai tak punya taring, jika tuntutan nelayan tidak kunjung dipenuhi, nelayan akan menutup jalur pengangkutan batu bara di Muara Badak Ilir.
“Kami sudah jenuh rapat terus mencari keadilan dari pemerintah. Jika tidak ada kepastian, kami akan menutup laut Muara Badak Ilir, agar tidak digunakan untuk kapal batu bara,” tegasnya. (*/um)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini: