JAKARTA – Kasus AU, pelajar SMP di Pontianak yang dianiaya oleh belasan siswi SMA, membuat semua orang terluka. Respon warga net yang dominan marah kepada pelaku dan menginginkan untuk dihukum seperti yang dialami Audrey terlihat di jagat maya. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise meminta kasus tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan undang-undang.
Kemarin (10/4) tim dari Kementerian PPPA berangkat ke Pontianak untuk menindaklanjuti upaya yang sudah dilakukan Dinas PPPA Kota Pontianak dan KPPAD. Selain itu juga membesuk korban dan akan berkunjung ke sekolah para pelaku. Untuk menindaklanjuti kasus ini, Kementrian PPPA rencananya akan melakukan rapat koordinasi untuk penanganan lintas sektor pada Sabtu ini (13/4). Langkah tersebut diharapkan dapat menemukan solusi untuk anak dan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan bagi keduabelah pihak.
Yohana juga menekankan bahwa semua pihak tidak boleh gegabah dalam menangani kasus ini. Semua pihak harus benar-benar memahami penyebab anak pelaku melakukan tindak penganiayaan. Hal ini dilakukan agar anak pelaku bisa mendapatkan penanganan yang tepat mengacu pada Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
”Boleh jadi kasus ini terjadi karena luputnya pengawasan orang dewasa. Ada yang keliru pada sikap anak-anak kita, berarti juga ada yang keliru pada kita sebagai orang dewasa yang merupakan contoh bagi anak-anak,” ujar Yohana kemarin. Dia menilai tindakan para pelaku tidak pernah bisa dibenarkan. Prinsip Zero Tolerance bagi seluruh pelaku kekerasan pada anak harus ditegakkan.
”Saya berharap kasus ini tetap dikawal sampai selesai dan menemukan jalan terbaik bagi semua pihak,” ujarnya. Korban dan pelaku yang masih berusia anak anak menurutnya harus didampingi oleh ahli. Korban didampingi proses trauma healingnya, sedangkan pelaku didampingi untuk pemulihan pola pikir atas tindakan yang telah dilakukan.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo percaya pihak kepolisian akan mengusut tuntas dugaan pengeroyokan itu. Hari ini, LPSK akan menurunkan tim ke Pontianak untuk melihat kondisi korban. ”Ini upaya jemput bola meski keluarga korban tidak meminta. Di khawatirkan ada ancaman dari pelaku maupun keluarganya,” ujarnya kemarin saat dihubungi Jawa Pos.
Hasto juga menjelaskan bahwa kedatangan LPSK bermaksud melakukan perlindungan maupun bantuan yang disediakan oleh negara. Misalnya saja bantuan medis dan rehabilitasi psikologis bagi korban tindak pidana.
Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian yang menangani kasus tersebut dan melihat posisi kasusnya. “Kita akan koordinasi dengan penyidik untuk mengetahui posisi kasusnya. Jika dugaan tindak pidana benar terjadi, kita berharap pihak kepolisian dapat memprosesnya dan LPSK siap membantu korban,” ujarnya. Dia juga akan mengupayakan tindakan diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana untuk pelaku. Namun tindakan ini harus disetujui oleh pihak keluarga.
Koordinator Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan bahwa ada kemungkinan diversi jika pelaku tindakan kriminal adalah anak. Pelaku tetap menjalani hukumannya. Namun berbeda dengan orang dewasa. ”Masalah lainnya adalah tidak semua wilayah di Indonesia memiliki penjara untuk anak. Saya tidak tahu apakah di Pontianak ada penjara khusus anak. Ini akan menjadi masalah lagi jika ternyata Pontianak tidak memilikinya,” ujarnya kemarin.
Dia heran kenapa kasus ini bisa berlangsung. Apakah tidak ada orang lain yang melarang terjadinya kekerasan jika kekerasan itu dilakukan di tempat terbuka, seperti taman. ”Lalu 12 orang yang disebut sebagai pelaku itu apakah semuanya berniat yang sama. Kenapa tidak ada yang mencegah? Hal itu justru menunjukkan bahwa budaya zero tolerance terhadap kekerasan tidak tertanam pada anak-anak itu,” ucapnya.
Di sisi lain Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengingatkan agar proses hukum dihormati oleh seluruh masyarakat. Tujuannya agar tidak menimbulkan informasi yang simpang siur sehingga berpotensi merugikan anak. Selain itu adanya opini yang berkembang rentan menjadi secondary victim.
”Semua pihak agar tidak menyebarkan identitas korban dan pelaku, agar yang bersangkutan tidak mendapatkan stigma negatif dan berdampak kompleks,” kata Susanto. Penyebaran identitas korban dan pelaku menurutnya merupakan pelanggaran hukum sesuai dengan UU 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Kementerian Agama (Kemenag) Nurudin mengatakan perlu ada regulasi untuk mengantisipasi dampak negatif penggunaan gadget bagi siswa di madrasah atau sekolah pada umumnya. Anjuran tersebut sesuai dengan hasil penelitian dampak gawai terhadap perilaku siswa di madrasah.
Menurut dia penggunaan gadget pada anak sekolah cukup luar biasa. Di luar perkiraan. ’’Begitu massif,’’ katanya. Nurudin menuturkan sebagian madrasah yang menjadi tempat penelitiannya, yakni di Banten dan Jawa Barat, sudah menerapkan regulasi dilarang membawa gadget di sekolah atau di kelas. Tetapi masih ada yang menyiasati membawa handphone kemudian ditaruh di jok motor.
Temuan menarik dalam penelitiannya adalah hampir sebagian siswa yang bermasal di layanan bimbingan konseling (BK) dipicu dari penggunaan handphone yang berlebihan. Misalnya ada siswa yang terlibat bullying atau tidur di kelas saat jam pelajaran berlangsung. Kedua kasus ini ternyata dipicu dari penggunaan gadget.
’’Contohnya siswa tertindur di kelas, karena semalaman main game online di HP-nya. HP itu sangat membuat kecandugan,’’ tuturnya.
Nurudin menuturkan pengawasan penggunan HP oleh siswa tidak hanya dilakukan oleh guru di sekolah. Tetapi juga oleh orangtua di rumah. Perlu ada instrument khusus yang menjembatani komunikasi antara guru dengan orangtua dalam pengawasan gadget.
Selain itu siswa perlu diberikan dorongan supaya memanfaatkan gadget sebagai sumber belajar. Misalnya diberikan sejumlah tugas yang dikerjakan secara online berbasis gadget mereka. Sebab selama ini cukup sedikit fungsi gadget di tangan siswa untuk bahan materi pelajaran.
’’Gadget atau teknologi itu sebuah keniscayaan. Tidak bisa ditolak. Tinggal bagaimana kita sebagai orangtua mengarahkan anak-anak,’’ tuturnya. Dia sangat mengharap Kemenag membuat regulasi untuk pemanfaatan gadget sebagai bahan ajar. Regulasi ini tidak hanya untuk pembelajaran di madrasah. Tetapi juga bisa diadopsi di sekolah.
Sementara Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengungkapkan bahwa kasus penganiayaan terhadap Audrey itu telah naik status, dari penyelidikan ke penyidikan. Dengan begitu tidak menutup kemungkinan bila tiga terlapor beserta yang lainnya menjadi tersangka. ”Tapi, kalau pelakunya anak tentu berbeda perlakuannya,” ujarnya.
Memang ada tuntutan untuk menerapkan hukuman yang membuat jera, tapi juga edukatif. Namun begitu, Polri tentu menjalankan proses hukum dengan sistem peradilan anak. Dalam pemeriksaan terhadap terlapor perlu untuk didampingi KPAI. ”Semua itu sudah diatur negara, kita jalankan,” jelasnya.
Untuk perkembangan pemeriksaan, saat ini Polresta Pontianak sedang memeriksa ibu korban. Serta, memeriksa sejumlah saksi lain yang melihat dan mengetahui kejadian penganiayaan. ”Namun, korban belum bisa diperiksa karena masih trauma dan sakit,” ujarnya.
Penyidik juga masih menunggu hasil visum dari rumah sakit. Hasil visum itu penting sebagai landasan bahwa benar terjadi penganiayaan. ”Terlapor juga nanti akan diperiksa,” jelas mantan Wakapolda Kalimantan Tengah tersebut.
Menurutnya, kasus tersebut tentunya sangat memprihatinkan. Pendidikan dalam keluarga sebenarnya yang paling mewarnai karakter anak. ”Kita tidak bisa salahkan orang tua, tapi ini harus menjadi instrospeksi orang tua,” paparnya.(lyn/wan/idr/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post