bontangpost.id – Koalisi Pendukung Kebebasan Pers Kalimantan Timur (AJI Samarinda, LBH Samarinda, Pokja 30, Forum Jurnalis Bontang, AJI Balikpapan), mengecam praktik pembungkaman kebebasan pers dan pembunuhan karakter terhadap Ibrahim, jurnalis yang juga anggota AJI Samarinda.
Kasus ini terjadi pada 4 Juni 2022, ketika sejumlah pemberitaan media siber mulai menyerang Ibrahim. Pemberitaan tersebut dibuat berdasarkan potongan kolom komentar di media sosial.
Salah satu akun memberi komentar di kolom itu, menyebut redaktur media siber tempat kerja Ibrahim, pernah meminta fee dalam sebuah acara. Selain potongan gambar berisi komentar, di berita itu juga diunggah tangkapan layar nama Ibrahim yang tertera sebagai editor di medianya. Sehingga, berita tersebut membingkai bahwa Ibrahim adalah orang yang dimaksud dalam komentar itu.
Sayangnya, tulisan dalam produk media itu, tak ada konfirmasi ke penulis di kolom komentar. Selain itu, akun penulis komentar di media sosial itu, ketika dicari juga tak ditemukan. Lalu, berita di satu media tersebut dikutip media-media siber lain. Kemudian, ada pula foto pribadi Ibrahim yang diunggah di berita tanpa izinnya.
Hampir sehari, berita-berita yang menyerang Ibrahim dan tempatnya bekerja, terus bermunculan. Serangan ini sendiri, terjadi sehari setelah Ibrahim membuat berita soal rencana pembangunan fasilitas sauna dan kolam renang di Rumjab Wali Kota Samarinda.
Entah apa alasannya, berita-berita yang berkaitan dengan polemik tersebut, saat rilis ini ditulis, sudah di-takedown. Peristiwa takedown berita yang berakar pada polemik rencana pembangunan fasilitas mewah rumah jabatan walikota itu, diawali dari Kaltimtoday, lalu disusul media lain yang menyerang Ibrahim. Yakni, Politikal.id, Klausa.co, Vonis.id, A – News.com, dan lainnya.
Ibrahim juga menegaskan, bahwa dirinya dan medianya tak berafiliasi dengan partai politik manapun atau pejabat tertentu, seperti yang dituduhkan oleh wali kota Samarinda. Ibrahim tak punya alasan lain, selain melakukan kerja-kerja jurnalistik yang salah satunya mengawal tata kelola pemerintahan khususnya di Samarinda. Di sisi lain, tudingan mengenai fee yang dimaksud adalah fee iklan yang memang merupakan haknya dan patut dia tanyakan.
Sementara, Juru Bicara Koalisi, Fathul HW menilai, kasus yang mendera Ibrahim dan pembungkaman yang berakhir pada di-takedown-nya sejumlah pemberitaan yang berkaitan dengan rencana pembangunan fasilitas mewah di rumah jabatan wali kota Samarinda, hanyalah satu dari sekian kasus pembungkaman terhadap pers yang terjadi di Samarinda maupun Kalimantan Timur pada umumnya. Sebab, praktik-praktik pembungkaman kerja jurnalistik sebenarnya banyak terjadi, namun dilakukan lebih halus ataupun lewat mekanisme pemilik media.
“Maka capaian Indeks kemerdekaan pers (IKP) Kaltim 2021, yang mencatat skor 82,27 dan menjadikan provinsi ini peringkat ketiga di seluruh Indonesia, patut dipertanyakan. Selain itu praktik-praktik pembungkaman ini merupakan sikap arogan yang ditunjukkan secara terbuka oleh penguasa. Yakni melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaaan) dengan cara mengintimidasi pers, ini mengkhianati reformasi,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, seharusnya praktik takedown dalam pedoman media siber tak diperkenankan. Karena ketentuan tersebut dikeluarkan oleh Dewan Pers. Persisnya, poin lima tentang pencabutan berita. Jika sudah diterbitkan maka berita tak bisa dicabut dari pihak luar redaksi kecuali bertalian dengan urusan SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik hingga pertimbangan khusus dari Dewan Pers.
“Ingat, pencabutan berita wajib disertai dengan alasan dan diumumkan kepada publik sebagai pembaca, sementara ini tidak ada, apa yang sebenarnya terjadi harus dijelaskan kepada publik, pihak media dan juga walikota Samarinda harus menjelaskannya kepada publik,” tegasnya.
Di sisi lain, anggota Majelis Etik AJI Samarinda Edwin A menambahkan, kemudahan membangun media online saat ini juga harus dibarengi dengan pemahaman kode etik dan komitmen media. Prinsip media dan watak kritis media tak boleh hilang. Termasuk, kepada pemasang iklan atau pemakai jasa publikasi mereka.
“Sebab, sah saja media mendapat pemasukan yang bersumber dari APBD dengan memberikan jasa publikasi,” kata Edwin.
Dia menuturkan, publik memang perlu tahu apa yang telah dikerjakan pemerintah. Juga, pemerintah mesti menyiarkan program apa saja yang telah dikerjakan. Keberadaan kerja sama pemberitaan antara kedua belah pihak tak serta merta membuat pemerintah atau si pemasang iklan berhak melakukan intervensi terhadap ruang redaksi media. Perlu diingat, undang-undang telah menjamin kemerdekaan masyarakat untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya serta hak untuk mendapatkan informasi yang dijamin dalam konstitusi.
“Sedangkan, fungsi pers selain untuk memberikan informasi, juga sebagai bagian dari pilar demokrasi. Maka, keberlangsungan pers yang kritis idealnya baik untuk iklim demokrasi,” tuturnya.
Terakhir, Ketua AJI Samarinda, Noffiatul C mengimbau agar pelaku pers di Samarinda maupun Kalimantan Timur bisa menjalankan kerja-kerja jurnalistik sesuai dengan kode etik. Selain itu, narasumber baik pejabat ataupun masyarakat, bisa menempuh cara-cara sesuai yang diatur dalam mekanisme penyelesaian sengketa pers, ketika merasa pemberitaan tidak berimbang.
“Dewan Pers juga sudah menyediakan layanan pelaporan jika terjadi sengketa berita. Ada pula MoU Dewan Pers dengan Polri terkait sengketa berita,” pungkasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: