bontangpost.id – Istilah “kotak kosong” pada dasarnya tidak dikenal dalam rezim pemilihan kepala daerah (pilkada). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU Pilkada, menggunakan terminologi “kolom kosong”.
Dalam ketentuan Pasal 54C ayat (2) UU Pilkada, menyebutkan sebagai berikut, “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar”.
Istilah kotak kosong adalah bahasa populer yang lazim digunakan oleh publik. Meski demikian, baik kotak kosong ataupun kolom kosong, memiliki esensi yang sama. Keduanya merujuk kepada pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja.
Kotak Kosong
Jika merujuk data, calon tunggal dalam pilkada mengalami grafik peningkatan yang sangat signifikan. Jika pada pilkada serentak tahun 2015 calon tunggal hanya berjumlah 3 pasangan calon, maka pada pilkada berikutnya mengalami peningkatan sebagai berikut; pilkada serentak tahun 2017 terdapat 9 pasangan calon, pilkada serentak tahun 2018 terdapat 16 pasangan calon, dan pilkada serentak tahun 2020 terdapat 25 pasangan calon.
Fenomena ini harus ditangkap sebagai persoalan krusial terhadap proses demokrasi elektoral kita. Mungkin bagi sebagian orang, kotak kosong tidaklah bermasalah secara norma (meski belum tentu aman secara etik), sebab hal tersebut diatur secara eksplisit dalam UU Pilkada.
Dimana dalam ketentuan Pasal 54C ayat (1) UU Pilkada juncto Pasal 136 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024, mengatur lima kondisi pelaksanaan pilkada dengan satu pasangan calon.
Pertama, hanya terdapat satu pasangan calon hingga masa penundaan dan perpanjangan pendaftaran berakhir. Kedua, berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat satu pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat.
Ketiga, sejak penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap.
Keempat, sejak dimulainya masa kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap. Dan kelima, terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat satu pasangan calon.
Jika pasangan calon tunggal ini ditetapkan sebagai peserta pilkada, maka ia akan berhadapan dengan kotak kosong.
Dan KPU hanya bisa menetapkan pasangan calon tunggal tersebut, jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah (lihat Pasal 54D ayat (1) UU Pilkada). Jika perolehan suara pasangan calon tunggal tersebut kurang dari 50 persen dari suara sah, maka pasangan calon tunggal yang kalah, boleh mencalonkan lagi dalam pilkada berikutnya, yang bisa diulang kembali pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) UU Pilkada).
Pesta Oligarki
Ada banyak kalangan yang seringkali memadankan makna pilkada dengan “pesta demokrasi”. Namun apakah layak disebut pesta jika pesertanya hanya satu pasangan calon saja? Pilkada dengan calon tunggal alias kotak kosong semacam ini, lebih pantas disebut sebagai pesta pora oligarki.
Kelompok oligarki ini menyandera proses demokrasi elektoral demi kepentingannya menjaga sumber daya materiil-nya. Kekuasaan menjadi sarana untuk memupuk kekayaannya. Dan pilkada pada akhirnya memang hanya akan menjadi “stempel” untuk mengamankan sekaligus menumpuk kekayaannya tersebut. Lantas siapa kelompok oligarki ini?
International encyclopedia of social sciences, mendefinisikan oligarki sebagai, “bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil”.
Secara etimologi, oligarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, oligarkhia yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, yang terdiri dari kata oligoi yang berarti sedikit dan arkhein yang berarti memerintah.
Menurut Jefrey Winters, aspek yang tak lazim dari oligarki adalah bahwa kekayaan yang besar selalu menghasilkan tantangan politik tertentu, kebutuhan untuk mempertahankan kekayaan, dan sumber daya kekuasaan khas untuk mengusahakan pertahanan itu.
Dalam pilkada, oligarki berkepentingan untuk membuat pertahanan kokoh terhadap kekayaannya, sekaligus berupaya sekuat mungkin melalui kekuasaan untuk mengakumulasi kapital sebesar-besarnya.
Jadi ketika melihat fenomena aksi borong partai yang membuka ruang kotak kosong, itu bukanlah hal yang mengherankan. Sebab pada dasarnya, partai-partai politik sebagai pengusung calon, telah terkooptasi dan tersandera oleh kelompok oligarki ini.
Proses kooptasi ini dipermudah oleh “keringnya ideologi” partai politik kita. Partai-partai dijalankan hanya bersandar kepada kepentingan pragmatis, bukan dibangun atas dasar cita-cita perjuangan (rechsidee).
Hal ini terkonfirmasi dengan ketiadaan dinamika ide dan gagasan dalam urusan calon mencalonkan dalam pilkada ini. Walhasil, kotak kosong ini hanya akan menjadi karpet merah kekuasaan bagi klan politik tertentu.
Pilkada pada akhirnya tidak akan memberikan apa-apa bagi kesadaran politik publik! Sebab pilkada dengan kotak kosong, hanyalah pesta pora para oligarki. (riz)