Peristiwa Merah Putih Sangasanga merupakan salah satu kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang paling lekat dengan masyarakat Bumi Etam. Kegigihan para pejuang yang terdiri dari para pemuda lintas etnis membuktikan persatuan Indonesia bukanlah keniscayaan.
—
Kamis 24 Januari 1947, Barisan Pembela Rakyat Indonesia (BPRI) memperoleh berita dari Sektor III Bantuas terkait keberadaan delapan orang pejuang yang yang dipimpin Herman Runturambi di daerah tersebut. Herman yang sebelumnya berstatus polisi melakukan desersi dan menggabungkan diri dengan kelompok pejuang.
“Atas kabar itu, pada Jumat 25 Januari 1947, markas BPRI memerintahkan untuk menjemput Herman Runturambi dan kawan-kawan dan membawanya ke rumah Habib Abdul Muthalib yang merupakan salah seorang penasehat perjuangan BPRI,” kisah Hamdani, penyusun buku ‘Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur’ yang memuat peristiwa Merah Putih Sangasanga ini.
Sabtu 26 Januari 1947 keesokan harinya, terjadi penggerebekan di Distrik VII oleh pasukan Polisi Belanda yang mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Seorang pejuang bernama Soetjipto gugur dan beberapa dokumen penting yang berisi daftar nama eks Heiho dan KNIL yang bergabung dalam BPRI Sangasanga disita.
Pada hari itu juga tanpa diketahui, dua pimpinan BPRI yaitu Sukiman dan Romodiwirjo ditangkap Polisi Militer Belanda. Setelah tahu, Budiono yang merupakan wakil Romodiwirjo memerintahkan dua pejuang yaitu Arak dan Akub menemui Toekiman Gondo yang merupakan anggota kelompok khusus II Inti Tenaga BPRI di Distrik V/Bangsal Eks Heiho.
“Arak dan Akub diperintahkan untuk mengabarkan bahwa dua orang pimpinan BPRI itu telah ditangkap,” tambah Hamdani.
Setelah bertemu, Toekiman Gondo bersama anggota kelompok khusus II lainnya, Kusbi berikut Arak dan Akub berangkat menuju Muara Sangasanga. Kepergian mereka untuk memberitahukan rencana Belanda yang akan melakukan penangkapan besar-besaran para pejuang BPRI pada Ahad, 27 Januari 1947.
Pukul 17.00 Wita, secara berantai berita itu disampaikan ke segenap sektor. Pimpinan umum BPRI mengadakan rapat kilat untuk menentukan langkah dan tindakan yang harus diambil secepatnya. Dalam rapat diputuskan bahwa pada keesokan harinya, 27 Januari 1947 sekira pukul 05.00 Wita, Sangasanga sudah harus dikuasai oleh rakyat di bawah komando BPRI.
“Secara kilat dan penuh kerahasiaan, pimpinan umum memerintahkan agar Samarinda, Balikpapan, dan Anggana diberitahu mengenai rencana serangan terhadap Belanda di Sangasanga pada tanggal 27 Januari 1947,” terang Hamdani.
Mantan jurnalis ini menceritakan, pukul 18.30 Wita perintah telah disampaikan oleh pimpinan markas ke seluruh pelosok, sektor dan sub-sub markas BPRI Sangasanga. Untuk bersiap-siap atau siaga penuh pada malam itu. Terutama bagi para anggota tenaga inti lengkap. Sektor I, II, III yang dikoordinasikan oleh Diman A Rachim melaporkan telah menerima senjata berbagai jenis dengan peluru dan granat.
Pukul 22.00 Wita, pejuang-pejuang dari Balikpapan mengirim beberapa pucuk owen dan pelempar granat selengkapnya. Pada waktu itu juga Rahmad, anggota Algamene Polisi yang pro perjuangan BPRI datang bergabung dengan para pejuang.
“Pukul 24.00 Wita, senjata-senjata itu dibagikan ke sektor-sektor yang telah ditentukan. Antara lain Sektor Saumil diterima oleh Toekiman Gondo. Rinciannya dua pucuk Bren MK I, satu mortir, empat owen dan beberapa pucuk senjata laras panjang,” beber Hamdani.
Memasuki hari H, 27 Januari sekira pukul 01.00 dini hari, senjata kembali dibagikan kepada para pejuang yang cukup terlatih dalam menggunakan berbagai senjata api. Para pejuang ini juga telah diberikan tanda pengenal merah putih yang harus dipasang di dada sebelah kanan. Senjata-senjata tersebut adalah dari KNIL yang diambil oleh Sumiran, Atak, Akub, Sapari, dan Paijo.
Detik-detik bersejarah itu pun perlahan mulai menunjukkan tabirnya. Pukul 02.00 Wita dini hari, para pejuang sudah bersiap pada pos atau sektornya masing-masing. “Sejak pukul 02.30 Wita hingga pukul 04.15 Wita, segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan matang dan penuh percaya diri serta sangat hati-hati,” urai Hamdani.
Pimpinan pertempuran ke tangsi KNIL dipegang oleh Budiono dan Herman Runturambi beserta pejuang-pejuang lainnya. Pengepungan rumah Letnan Kisberry yang menjadi salah satu misi penting dalam gerakan ini, ditugaskan oleh pimpinan BPRI kepada Bantjet, Darham, Nasir, Saleh, dan pejuang-pejuang lainnya.
Tepat pukul 05.00 Wita dini hari, markas atau tangsi KNIL di Sangasanga berhasil direbut pasukan BPRI tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun. Hal ini bisa terjadi karena sebelumnya telah diadakan kontak yang sangat hati-hati dan rahasia. Semua anggota KNIL yang tidak bersimpati dan anti BPRI ditawan dan diamankan.
“Dengan direbutnya tangsi KNIL, maka banyaklah tambahan senjata yang dapat diberikan kepada para pejuang yang memang sangat kekurangan senjata,” tutur Hamdani.
Setelah diadakan pembenahan dan pembersihan seluruhnya, maka pada hari itu tepat pukul 07.00 Wita, diadakan upacara penaikan bendera Merah Putih di tangsi KNIL yang seluruhnya telah dikuasai BPRI. Bertindak sebagai komandan upacara yaitu pimpinan umum Soekasmo. Dalam upacara tersebut hadir pula kepala penjawat Sangasanga, Awang Ishak.
Setelah upacara selesai, Awang Ishak menyerahkan pemerintahan Sangasanga kepada BPRI. Namun Soekasmo kembali menyerahkannya kepada Awang Ishak untuk mengendalikan pemerintahan di kota itu. Pada kesempatan itu juga Awang Ishak memerintahkan agar gaji para karyawan tambang minyak dan pegawai pemerintah dibayarkan segera.
“Hal ini lantaran para karyawan dan pegawai itu sekarang telah menjadi bagian perjuangan rakyat Sangasanga,” sebut Hamdani.
Pada sore hari bendera pusaka Merah Putih diturunkan kembali oleh para pejuang yang menerima tugas dari pimpinan. Keesokan paginya, pukul 09.00 Wita atas perintah langsung dari Budiono, Diman A Rachim yang merupakan sosok penting di kelompok khusus II Inti Tenaga Tempur BPRI diperintahkan menurunkan bendera Belanda yang masih berkibar di tangsi polisi belakang markas PMI.
Secara pasti saat itu Sangasanga telah dikuasai sepenuhnya oleh BPRI. Diman bersama empat kawannya yaitu Sani, Abdurrahman, Adul, dan Bakri menurunkan bendera tersebut. Setelah kain warna biru pada bendera Belanda itu dirobek, mereka menaikkan kembali bendara tersebut yang kini menjadi bendera sang saka dwi warna, Merah Putih.
Hal serupa juga terjadi di Muara Sangasanga. Di bawah pimpinan Toekiman Gondo yang tak lain adalah komandan kelompok khusus II Inti Tenaga Tempur BPRI, para pejuang merobek bendera Belanda. Salah satu pejuang yang merobek bendera tersebut adalah Hasan Soelaiman alias Hasan More.
“Setelah merobek birunya kemudian dinaikkan lagi menjadi bendera Merah Putih. Diperkirakan waktunya pukul 09.15 Wita,” ungkap Hamdani.
Di Anggana juga terjadi penaikan bendera Merah Putih atas perintah pimpinan BPRI melalui telepon kepada Marsudi sebagai Komandan Sektor Anggana. Anggana yang termasuk daerah rawan dan terpisah dari Sangasanga, bergerak secara diam-diam bertindak sebagai penghubung.
Di Sangasanga pada hari pertama kekuasaan BPRI dilakukan pemakaman almarhum Soetjipto yang gugur dalam pertempuran kecil dengan polisi Belanda. Kusuma bangsa itu dimakamkan di di pemakaman Muslimin sekira pukul 11.00 Wita. (luk/bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: