BERSTATUS kota industri, sektor pertanian khususnya tanaman pangan bukan menjadi primadona di Bontang. Lahan yang terbatas diikuti minat pertanian masyarakat yang rendah, membuat sektor ini kurang diperhitungkan. Sehingga Pemerintah Kota (Pemkot) Bontang melalui Dinas Ketahanan Pangan, Perikanan, dan Pertanian (DKP3) sebatas memberdayakan lahan-lahan dan kelompok-kelompok pertanian yang ada saja.
Debora Kristiani selaku Kepala Seksi (Kasie) Pertanian Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (DKP3) Bontang menuturkan, pertanian pangan dengan komoditas padi membutuhkan lahan yang luas untuk bisa menghasilkan produksi yang tinggi. Sementara lahan yang bisa dimanfaatkan begitu terbatas. “Apalagi sebagian besar lahan di Bontang masuk kawasan hutan lindung,” jelasnya.
Namun begitu, pemkot tetap mengupayakan terciptanya lahan-lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Di antaranya dengan mengusulkan pencetakan sawah ke Kementerian Pertanian (Kementan) RI pada daerah-daerah yang dianggap berpotensi. Pada 2011 silam, pencetakan ini mulai dilakukan di kawasan Nyerakat Kiri dan Segendis, Bontang Lestari, masing-masing 25 hektare.
“Tapi kemudian kendalanya ada pada sumber daya manusia (SDM). Karena tidak semua orang mau bertani. Seperti lahan di Segendis itu yang kini tidak lagi aktif. Setelah sawah dicetak, hanya tiga tahun saja menanam. Setelah itu tidak ada lagi yang menanam,” ungkap Debora.
Dia menjelaskan, lahan pertanian padi di Bontang yang aktif saat ini ada sekira 42 hektare. Luas tersebut terdiri dari sawah hamparan dan juga sawah ladang atau yang memanfaatkan lahan tidur dan rawa-rawa. Lahan-lahan aktif ini di antaranya tersebar di Kelurahan Bontang Lestari dan Kanaan.
“Ada lahan di rawa-rawa yang dimanfaatkan masyarakat. Seperti di Kanaan, ada sekira 4 hektare yang terus-terusan ditanami,” ujarnya.
Pemanfaatan lahan-lahan tidur dengan cara sistem pinjam pakai menurut Debora memunculkan potensi sawah padi. Namun karena kepemilikannya secara pribadi, tidak bisa dijadikan sawah secara permanen. Mengingat suatu saat empunya lahan bisa saja akan memanfaatkannya untuk keperluan di luar pertanian.
Karena itulah, Debora menyebut bila sektor pertanian yang lebih berpotensi di Bontang yaitu tanaman hortikultura, bukan tanaman pangan. Hortikultura terdiri dari tanaman jenis sayur-sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias. Pasalnya, tanaman jenis hortikultura tidak membutuhkan lahan yang luas.
“Cukup memanfaatkan pekarangan atau lahan di sekitar rumah sudah bisa menanam. Lahan-lahan tidur bisa dimanfaatkan dengan sistem pinjam pakai,” terang Debora.
Makanya dia menyebut, potensi pertanian di Bontang ini sebenarnya bergantung pada kreativitas masyarakat. Dalam hal ini, lahan-lahan yang menganggur bila dikerjakan juga bisa menghasilkan. Pengolahannya pun tidak mesti fokus karena bisa dilakukan di waktu senggang. Untuk tanaman hias misalnya, bisa dilakukan oleh ibu rumah tangga
“Kalau bicara pasca migas, yang lebih berpotensi untuk di Bontang itu hortikultura. Harganya sekarang juga sudah bersaing dengan produksi dari luar. Nilai jualnya lumayan bila dibandingkan daerah-daerah lain,” bebernya.
Pun begitu, waktu panennya juga lebih cepat dibandingkan padi. “Kalau sayur dalam sebulan bisa dapat uang, kalau padi kan menunggu dua sampai tiga bulan baru bisa panen. Itu pun kalau hasilnya bisa bagus, tidak terganggu hama, cuaca, dan banjir,” tambah Debora.
Dalam hal tanaman pangan, dia menyatakan tanaman singkong atau ubi kayu lebih punya potensi ketimbang padi untuk pasca migas. Karena singkong dapat tumbuh di berbagai tempat dan tidak membutuhkan lahan yang luas. Komoditas ini juga dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung singkong atau mocaf yang bakal menaikkan nilai jualnya.
“Tapi sejauh ini di Bontang, singkong lebih dimanfaatkan untuk membuat camilan, bukan untuk kebutuhan pangan,” tuturnya.
Untuk lahan-lahan pertanian padi yang sudah ada, Debora menyebut dinas melakukan upaya intensifikasi hasil produksi. Yaitu mengusahakan agar panen bisa dilakukan dua kali dalam setahun. Kata dia, rata-rata sawah di Bontang menghasilkan panen dua kali dalam setahun, belum ada yang mencapai tiga kali.
“Kalau cuacanya mendukung, bisa dua kali tanam. Musimnya pada Oktober-Maret dan April-September. Kendalanya ya cuaca dan tenaga kerja. Karena yang bekerja di sawah banyak yang sudah berusia lanjut,” ujarnya.
Dengan jumlah produksi yang ada, diketahui bila pemenuhan kebutuhan lokal saat ini masih jauh panggang dari api. Padi yang diproduksi sejauh ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan para petani itu sendiri. Bontang diprediksikan masih akan terus bergantung pada impor dari daerah lain.
“Untuk kebutuhan beras di Bontang memang masih didatangkan dari luar. Dari Sulawesi dan Surabaya. Daerah lain di Kaltim yang memiliki lahan pertanian seperti Samarinda saja masih mendatangkan dari luar. Apalagi kita yang benar-benar terbatas lahan pertaniannya,” jelasnya.
Debora menyebut, rata-rata produksi panen padi di Bontang mencapai 3,5 ton per hektare. Angka ini terbilang bagus untuk ukuran Bontang. Pasalnya, lahan di Bontang bukan lahan yang ideal untuk hasil pertanian maksimal. Ini dikarenakan kadar asam di tanah Bontang lebih tinggi dan berpengaruh pada kesuburan tanah.
“Kalau untuk ukuran Pulau Jawa, 3,5 ton itu relatif kecil. Di Jawa bisa mencapai 5 sampai 8 ton,” ungkap Debora. “Sedangkan untuk lahannya, dalam skala Kaltim jumlah 42 hektare itu terbilang kecil,” sambung dia.
Selain di kawasan Bontang Lestari, kelompok tani pertanian pangan di Bontang juga terdapat di Kelurahan Guntung. Namun begitu lahan yang digarap secara administrasi masuk wilayah Kutai Timur (Kutim). Sehingga tidak bisa dihitung sebagai lahan pertanian Bontang. Meski begitu, dinas tetap memberikan bantuan kepada kelompok tani yang ada di sana.
“Pemilik lahannya memang orang Bontang, tapi menurut statistik tidak masuk hitungan. Karena statistik pertanian hanya menghitung lahan yang masuk ke Bontang saja. Tapi kalau hasilnya tetap juga masuk ke Bontang,” sebut Debora. Hal sama terjadi pada kelompok tani di Kanaan yang memiliki lahan di Kutai Kartanegara (Kukar).
Walaupun hanya memenuhi kebutuhan petani itu sendiri, produksi padi di Bontang cukup berperan dalam hal kesejahteraan. Minimal para petani tidak lagi membeli beras dari luar, sehingga mengurangi pengeluaran konsumsi. Namun ada juga sebagian hasilnya yang dijual ke dinas. “Kemarin itu dijual Rp 10 ribu per kilogram,” kata dia.
Dari data Sensus Pertanian 2013, diketahui bila jumlah petani yang bergelut di subsektor tanaman pangan sebanyak 1.067 orang. Data ini meliputi petani padi dan tanaman pangan lain seperti jagung dan singkong. Para petani ini kebanyakan tidak hanya bergerak di sektor pertanian pangan. Melainkan juga pada sektor-sektor lainnya seperti peternakan.
Menurut Debora, pertanian lintas sektor tersebut merupakan konsep ideal yang bisa diterapkan para petani di Bontang. Jangan hanya berkutat dalam tanaman pangan, melainkan juga mengusahakan tanaman-tanaman lainnya seperti kelapa sawit atau karet sesuai potensi dan kemampuan yang ada. Juga bisa dikombinasikan dengan beternak misalnya sapi atau ayam.
“Di Bontang ini lebih ke pertanian terpadu, karena untuk bergantung pada satu komoditas saja itu akan berat. Mesti mengusahakan yang lainnya. Seperti di Kanaan, ada kelompok tani yang menanam sayur-sayuran sekaligus juga beternak,” Debora memberikan contoh.
Dalam hal dukungan, dia mengatakan pemerintah selama ini selalu memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan para petani. Mulai dari tingkat kota, provinsi, hingga pemerintah pusat, ada porsi bantuan yang rutin diberikan setiap tahunnya. Para petani bisa mengusulkan permintaan bantuan sesuai keperluan. Sistemnya kini bahkan telah menggunakan e-proposal.
“Sekarang bantuan apa saja tersedia. Karena sistemnya tidak seperti dulu yang harus memberikan proposal fisik. Tidak mungkin lagi adanya sogok-menyogok. Bantuan yang diberikan murni karena usulan. Misalnya tahun ini usulkan hand tractor, akan dimasukkan ke dalam perencanaan,” paparnya.
Diakui, kondisi defisit yang tengah melanda Bontang turut berpengaruh terhadap anggaran yang diperuntukkan bagi pertanian. Namun begitu bantuan tidak praktis terhenti, karena dinas masih bisa mengusulkan ke kementerian. Meskipun skala pertanian di Bontang terbilang kecil, tetap mendapat perhatian dari pemerintah.
“Biar kita kecil, tetap diperhatikan. Tapi ya porsinya tidak seperti daerah lain. Misalnya bantuan cabai, kita selama tiga tahun terakhir sudah dapat bantuan sepaket. Nah itu juga yang kemarin bikin harga cabai stabil. Bantuan seperti ini tentu sangat terasa, karena di APBD tidak ada,” ungkap Debora.
Dengan bantuan seperti itu, dia menyebut kelompok-kelompok petani di Bontang sebenarnya sangat dimudahkan. Bila membutuhkan bantuan alat pertanian misalnya, tinggal membuat proposal saja. Apalagi sebelum Bontang mengalami defisit, Debora mengklaim segala keperluan petani yang diusulkan pasti dipenuhi.
“Sejauh ini keluhan petani ya modal usaha dan tenaga kerja. Sebenarnya ada potensi, misalnya lahan-lahan tidur, itu bisa dimanfaatkan untuk menanam tanaman seperti karet. Selain menghasilkan, juga bisa untuk kelestarian lingkungan. Tinggal kreativitasnya saja seperti apa,” tegasnya. (luk)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini: