SAMARINDA – Di hadapan 400 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Senin (4/6), Wakil Ketua MPR, Mahyudin menceritakan, pada masa lalu ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dipaparkan dalam pelajaran itu, siswa diberikan pelajaran mengenai hormat-menghormati, tenggang rasa, dan toleransi.
Dalam masa reformasi, PMP dihilangkan dan sebagai gantinya ada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ketatanegaraan (PPKn). “Kata moral dihilangkan”, ujar Mahyudin. Mata pelajaran ini kemudian diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Melihat hal yang demikian, dia mengatakan bila satu persatu kata Pancasila dihilangkan dalam perubahan mata pelajaran ini.
Mahyudin menyebut, bahaya bila warga negara tak mengerti ideologinya. Melihat kekosongan pemasyarakatan Pancasila, maka MPR mengambil inisiatif untuk menyosialisasikan Pancasila. Dasar hukum dari MPR untuk melakukan hal yang demikian menurut Mahyudin sangat kuat. “Dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014,” paparnya.
Pria asal Kaltim ini menyebut, sosialisasi Pancasila sekarang ini itu tak boleh dilakukan seperti masa lalu. “Sosialisasi saat ini harus dilakukan dengan cara humanis bukan doktrin,” sebut Mahyudin.
Menurut dia, untuk melakukan sosialisasi bukanlah hal yang tak mudah. Pasalnya, tak semua mampu memasyarakatkan Pancasila. Disebut tak mudah, sebab menjadi aneh kalau membicarakan hal yang baik namun yang membicarakannya itu tak melakukannya.
“Orang berdakwah tapi tak melakukan apa yang didakwahkan kan lucu,” tuturnya mengibaratkan. Demikian pula saat membicarakan Pancasila, menjadi aneh kalau tidak melaksanakan Pancasila. “Orang yang tertangkap KPK itu bukti tak mampu melakukan sosialisasi,” tegasnya.
Mahyudin mengurai, ketika sosialisasi dilakukan, ada saja yang mempermasalahkan Pancasila. Kata dia, Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan anggota BPUPKI menyampaikan gagasan tentang dasar negara. Dalam pidato itu lahir kata Pancasila.
Setelah berproses maka lahir Pancasila 22 Juni 1945 dan Pancasila 18 Agustus 1945. Menurut Mahyudin proses Pancasila dari 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, dan 18 Juni 1945, merupakan satu rangkaian.
Dalam proses lahirnya Pancasila, Mahyudin memuji langkah politik umat Islam. Ketika Pancasila 22 Juni 1945 ada keberatan dari orang non-Muslim, politisi dari kelompok Islam rela menghapus tujuh kata dalam Sila ke-1. “Dari sini saya mengatakan, Indonesia bisa berdiri merupakan hadiah dari umat Islam”, paparnya.
Sosialisasi Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, menurut Mahyudin merupakan tanggung jawab semua pihak. “Menjaga empat pilar, untuk menjaga keberlangsungan Indonesia”, tegasnya. Lebih lanjut dikatakan, empat pilar itulah yang membuat Indonesia ada. Sehingga disebut alat pemersatu. “Indonesia bubar tanpa empat pilar,” terangnya.
Lebih lanjut, Mahyudin menyatakan, Sosialisasi perlu dilakukan sebab ada tantangan kebangsaan. “Tantangan itu seperti lemahnya pemahaman keagamaan,” tambah dia. Lemahnya pemahamaan keagamaan membuat orang menjadi sempit dalam beragama. “Pemahaman yang salah terhadap agama membuat seseorang menjadi radikal,” sambung Mahyudin.
Tantangan kebangsaan lainnya yang perlu dijawab adalah kurangnya penghargaan terhadap keberagaman. “Dari sini muncul masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),” jelasnya. Masalah SARA memang terjadi di banyak tempat. Isu SARA ini, menurut Mahyudin, tak boleh muncul dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018.
“Setelah 200 tahun lebih, Amerika Serikat baru bisa memiliki presiden dari ras lain yakni Obama”, ungkapnya. Untuk menghilangkan primodialisme SARA, langkah yang perlu dilakukan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keberagaman sendiri menurutnya memang diciptakan oleh Tuhan untuk agar masyarakat saling mengenal. “Bila masyarakat sudah pintar maka isu SARA bisa dihilangkan,” tandasnya. (drh)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini:
Komentar Anda