INDONESIA darurat hoax. Inilah yang menjadi “musibah” baru di negeri ini. Berita-berita yang diragukan asal usulnya, tak jelas isinya, memprovokasi, dan menimbulkan perpecahan antar bangsa, menjadi menu santapan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Tak hanya di dunia maya, terkadang berita-berita hoax ini bocor ke media-media mainstream, bahkan sampai dijadikan rujukan utama.
Berita hoax ini tidak muncul baru-baru ini saja. Sejarahnya sangat panjang, sekitar 300-400 tahun yang lalu. Dari berbagai sumber, kala itu berita atau informasi yang beredar disebar tanpa komentar yang membuat berita itu bisa valid. Validitas berita diserahkan kepada pembaca sesuai pemahaman, kepercayaan, ataupun penemuan ilmiah.
Anda pun pasti mengenal pula namanya April Fool setiap 1 April. “Tradisi” membohongi publik dengan membuat berita atau informasi yang berlawanan dengan aslinya ini muncul pada 1708 saat penulis Jonathan Swift menyebarkan berita prediksi astrologi pada 1 April tersebut. Strategi menyebarkan berita hoax juga diikuti penulis Edgar Allan Poe pada 1835 dengan menerbitkan cerita hoax terkenalnya; The Unparalleled Adventure of One Hans Pfaall. Tentang pria yang pergi ke bulan dengan balon udara dan tinggal di sana selama 5 tahun.
Berita hoax terbukti pula dapat membuat kacau situasi politik dan stabilitas keamanan daerah ataupun negara. James Gordon Bennet jr, pada 1874 membuat cerita hoax di harian New York Herald tentang binatang buas yang kabur dari kebun binatang dan membunuh setidaknya 49 orang. Akibatnya, publik panik dan terjadi kekacauan yang luar biasa saat itu.
Media yang mengutip berita-berita hoax juga harus waspada. Sebab, sejarah pun mencatat media yang ikut menyebarkan berita hoax, dapat dituntut oleh masyarakat. Seperti yang dialami oleh media The Sun di New York. Pada 1835, reporter The Sun menduga peneliti John Herschel menemukan manusia bersayap setinggi 4 kaki di bulan. John, merupakan putra dari penemu planet Uranus, William Herschel.
Celakanya, publik saat itu mempercayai dugaan John tersebut benar adanya. Namun, saat hoax itu akhirnya terbongkar, masyarakat pun menuntut Benjamin Day, pemilik dari The Sun untuk bertanggungjawab. Berita hoax tersebut pun terkenal dengan sebutan The Great Moon Hoax.
Bagaimana dengan Indonesia? Dari serangkaian berita-berita hoax yang pernah beredar, kemunculannya yang masif terjadi saat pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012 silam. Seketika, media sosial diramaikan dengan macam-macam berita hoax yang beredar terkait pasangan calon (paslon) masing-masing. Meskipun rata-rata diniatkan iseng belaka, namun ternyata menjadi besar dan bermasalah dikemudian hari, bahkan hingga kini semakin masif dan seolah tak terkendali.
Beberapa media besar di Indonesia pun pernah menggunakan rujukan informasi hoax yang beredar saat itu. Meskipun akhirnya, media tersebut mengklarifikasi berita tersebut, namun hal tersebut berdampak pada tercorengnya nama media yang mempublikasikan berita hoax.
Media memang punya fungsi untuk menginformasikan atau to inform kepada masyarakat. Media juga berfungsi sebagai kontrol sosial dan kontrol pemerintahan atau watch dog. Namun, media pun juga berfungsi untuk mengedukasi atau memberikan pelajaran, atau istilahnya adalah to educate.
Pemberitaan haruslah mendidik masyarakat, agar pengetahuan masyarakat juga meningkat dan manfaat media benar-benar dirasakan serta terlihat di mata publik.
Berita hoax, biasanya muncul dengan memanfaatkan fungsi watch dog. Seolah-olah mengkritisi pemerintah, namun ternyata tak ada data yang valid, atau sekedar hanya mengadu domba.
Ingin mengedukasi masyarakat, namun ternyata bukanlah fakta yang disebar, namun pemahaman atau perspektif yang belum teruji kebenarannya. Inilah yang menjadi tantangan media saat ini, bagaimana mengeliminasi hoax yang bertebaran di sekitar kita.
Di era penuh berita hoax seperti ini, media mungkin perlu menambah satu lagi fungsinya, sebagai penangkal dan pembasmi hoax. Sebab, hanya media mainstream-lah yang dipercaya masih bisa mengkonfirmasi kebenaran berita hoax yang beredar. Hanya media mainstream yang punya kekuatan menggapai berbagai narasumber untuk memastikan informasi yang beredar di masyarakat.
Bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) 2017 kali ini, diharapkan menjadi tonggak awal kebangkitan pers di Indonesia dalam menyatukan kebhinnekaan. Isu-isu pemecah belah bangsa yang muncul belakangan ini sudah saatnya diminimalisir. Semangat Bhinneka Tunggal Ika sudah sepatutnya kembali di dengungkan oleh media saat ini. Dengan demikian, selain ada penambahan fungsi penangkal dan pembasmi hoax, mungkin perlu juga ditambahkan satu fungsi tambahan: Fungsi pemersatu dan perekat bangsa. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: