Kekecewaan rakyat belum kembali pulih sejak terungkapnya kasus skandal mega korupsi century (2009) dan hambalang (2010) yang melibatkan beberapa pejabat publik (eksekutif dan legislatif). Rakyat Indonesia kembali dikejutkan dengan tontonan kasus skandal mega korupsi pengadaan E-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik).
Sepintas, rentetan skandal kasus korupsi ini menunjukan betapa rendahnya integritas dan sikap kenegarawanan pejabat publik di negara ini. Seolah-olah penegakan hukum terhadap skandal mega korupsi sebelumnya belum berhasil menjadi pembelajaran yang menimbulkan efek jera (preventif umum) kepada pejabat publik untuk tidak melakukan tindakan korupsi.
Kehebohan ini bermula ketika terungkapnya nama-nama mantan ataupun pejabat publik yang masih aktif, baik eksekutif maupun legislatif yang diduga menerima aliran dana skandal mega korupsi E- KTP. Nama-nama tersebut terungkap dalam Pembacaan surat dakwaan terhadap 2 terdakwa kasus E-KTP sebelumnyayaitu, Irman dan Sugiharto. Keduanya merupakan mantan pejabat di Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
Dalam dakwaan dijelaskan bahwa kerugian keuangan negara diperkirakan sebesar 2,3 triliun dari total angaran proyek sebesar Rp 5,9 Triliun. Uang Rp 2,3 Triliun ini diduga mengalir deras ke rekening oknum Anggota DPR RI Komisi 2 bidang pemerintahan, Ketua Fraksi Partai, dan Badan Anggaran periode 2009-2014.
Seolah tak mau kalah dengan oknum anggota dewan, para oknum pejabat publik di Kementrian dan BUMN juga diduga ikut menikmati dana haram dari mega skandal korupsi E-KTP tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang diduga menerima aliran dana yang dijabarkan dalam dakwaan oleh Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terlihat dengan jelas bahwa skandal korupsi E-KTP ini direncanakan dan dilakukan secara terstruktur, masif dan sistematis oleh pelakunya.
Terhadap kejahatan yang demikan ini tentu penegak hukum harus berkerja ekstra keras untuk membongkarnya. Setidaknya ada bebrapa upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga antirasuah –sebutan KPK– untuk membongkar kasus skandal mega korupsi E-KTP ini sampai ke akar akarnya.
Pertama, mengabulkan permintaan kedua terdakwa Irman dan Sugiarto untuk menjadi justice collaborator(saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum) dalam perkara E-KTP. Bila menjadikan keduanya sebagai justice collaborator, artinya keduanya mau bekerjasama dengan KPK untuk membuka perkara ini dengan terang benderang. Jika sudah demikian, maka KPK dapat dengan mudah untuk menelusuri semua pihak yang terlibat dalam skandal ini. Hal ini sejalan sebagaimana dijelaskan dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No 4 Tahun 2011.
Kedua, menetapkan saksi-saksi yang terkait dengan skandal mega korupsi E-KTP ini dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Hal ini penting mengingat seorang penjahat, terlebih para koruptor akan selalu menghalalkan segala cara agar terlepas dari jeratan hukum termasuk mengintimidasi saksi. Selain itu juga untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan para saksi, agar keterangan yang diberikan benar-benar apa yang mereka lihat, dengar dan alami sendiri tanpa intervensi atau dibawah ancaman pihak lain. Peran LPSK ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang 12 Tahun 2006 jo Undang-undang 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Ketiga, menggunakan instrumen Undang-Undang 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini memiliki perspektif Follow The Money dalam proses penegakan hukumnya. Jika menggunakan perspektif tersebut, maka KPK bisa saja memeriksa bahkan menetapkan setiap orang yang terbukti menerima aliran dana mega skandal korupsi ini sebagai tersangka.
Pemberantasan kasus korupsi dengan rezim Undang-undang tindak pidana pencucian uang ini tidak saja menjerat mereka yang secara aktif melakukan tindak pidana, tapi meraka yang pasif (menerima atau menguasai penempatan, transferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran) harta atau uang yang merupakan hasil tindak pidana apapun dapat dijerat dengan Undang-undang ini.
Melalui ketiga upaya di atas diharapkan KPK dapat melakukan penegakan hukum atas kasus korupsi E-KTP ini dengan maksimal dan tidak tebang pilih. Bagaimanapun dan siapapu pelaku kasus korupsi pasti selalu menempatkan rakyat sebagai korban. Sekali lagi rakyat sangat berharap skandal mega korupsi E-KTP ini dapat diungkap secara tuntas. (*)
Profil Penulis
Nama : Akhmad Bangun Sujiwo S.H M.H
Pendidikan S1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Pendidikan S2 : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Organisasi : Komisi Hukum dan HAM PB HMI MPO
Pekerjaan : Divisi Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
*ket: Isi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post