Mereka mungkin hidup dalam keterbatasan. Namun mereka masih punya harapan. Baik harapan untuk hidup, maupun harapan untuk memilih pemimpin yang lebih baik. Dalam senyap, hak politik mereka tak disia-siakan.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Paku kecil di tangan Rizky menembus lembaran kertas di depannya. Gambar seorang perempuan berjilbab yang tadi utuh, kini berlubang berkat tusukan paku. Dalam diam Rizky tersenyum. Dilipatnya perlahan lembaran kertas hingga menjadi lipatan kecil, lantas dimasukkannya ke dalam kotak aluminium melalui lubang kecil yang ada di atasnya.
Sejenak Rizky terdiam. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, tak ada pula yang masuk ke dalam telinganya. Namun, dia menyadari beberapa pasang mata memandang ke arahnya. Beberapa orang tampak berbincang seraya melirik ke padanya.
Senyum senang Rizky mendadak pudar. Berganti senyum tanpa ekspresi. Getir. Dia tahu, mungkin dirinyalah objek pembicaraan tersebut. Tidak peduli, dia pun melangkahkan kaki. Tak ada suara langkah yang dia dengar, sebagaimana dia tak mampu mendengar suara orang-orang.
Begitulah sekelumit pengalaman kurang menyenangkan yang dialami Rizky Erfanda, penyandang tunarungu yang tinggal di Jalan Awang Long. Melalui gerakan lincah jemarinya, pemuda 22 tahun itu menceritakan pengalamannya kala Pemilihan Wali Kota (Pilwali) 2015 silam itu kepada Jessie Agrippina, fasilitator penyandang disabilitas.
“Itu pengalaman kurang menyenangkan yang dialami Rizky. Harapannya kejadian seperti itu tidak terulang kembali,” jelas Jessie yang bekerja sebagai relawan di Inkubator Bisnis (Inbis) Permata Bunda Bontang, lembaga pelatihan bagi para penyandang disabilitas.
Dalam pembicaraan dengan Bontang Post, Jessie menerjemahkan perkataan Rizky yang menggunakan bahasa isyarat. Dia mengungkap, Rizky dan rekan-rekannya sesama tunarungu rupanya tak menyukai sebutan tunarungu itu sendiri. Malahan, mereka lebih suka disebut tuli.
“Kata mereka, penyebutan tunarungu itu seperti orang sakit. Kalau tuli, itu adalah kehidupan mereka dan mereka bangga,” ungkapnya.
Melalui Jessie, Rizky menyatakan bila pengalaman dalam pilwali itu membuat dia memutuskan bergabung dalam barisan Relawan Demokrasi bentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bersama dua rekan lainnya dari komunitas penyandang disabilitas, sulung dari dua bersaudara itu mengampanyekan pemilu khususnya Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018.
Walau dirinya tidak bisa mendengar, bukan lantas tidak peduli terhadap masalah politik. Bagi Rizky, tidak bisa mendengar suara bukan menjadi alasan untuk tidak menggunakan hak suara dalam pemilu. Malahan, Rizky giat mengampanyekan tentang Pilgub Kaltim 2018 kepada rekan-rekannya di komunitas tuli Genap, kepanjangan dari “Bergerak dalam Senyap”.
Menariknya, dari pemaparan Rizky, diketahui bila di komunitas Genap sudah banyak yang mengetahui siapa saja kandidat calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang bisa dipilih dalam pilgub nanti. Tapi mereka belum menentukan pilihan, kandidat mana yang lebih baik.
“Karena kata dia (Rizky, Red.), semua visi-misinya bagus. Dia belum tahu yang mana sih yang bagus. Cuma memang teman-teman di komunitas tuli sudah mulai mengobrol kira-kira (calon) yang ini bagus apa tidak, yang itu bagus apa tidak,” beber Jessie menerjemahkan bahasa isyarat Rizky.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, Rizky berharap, ketika hari-H pemungutan suara digelar, ada teman tuli yang mendampingi sesama penyandang tunarungu. Termasuk dia sendiri nantinya juga akan mendampingi rekannya untuk bisa memberikan suara di bilik suara. Supaya mereka tahu harus melakukan apa dan ke mana saat pilgub.
Pendampingan ini menurutnya penting. Pasalnya, rekan-rekan penyandang disabilitas masih banyak yang bingung dan belum tahu apa yang mesti dilakukan dalam momen lima tahun sekali tersebut. “Kata Rizky, ini (Pilgub, Red.) merupakan hal baru bagi mereka. Jadi mereka kurang paham,” jelas Jessie.
Ya, belum banyak yang diketahui Rizky mengenai perhelatan pilgub ini. Untuk sosialisasinya saja, baru digelar di tahun ini. Dalam pemilu sebelumnya yaitu Pilwali Bontang, Rizky mengaku belum pernah mendapat sosialisasi dari KPU. Hanya dari keluarganya dia mengetahui bagaimana mekanisme pemilihan ini dilakukan.
Tak banyak harapan digantungkan Rizky untuk bakal pemimpin mendatang. Memang sebagaimana rakyat Bumi Etam lainnya, lajang yang bekerja membuat sablon kaus dan gelas ini menginginkan pembangunan Kaltim yang lebih baik. Namun sebagaimana penyandang disabilitas yang kerap termarjinalkan, Rizky memiliki harapan khusus.
“Yang pasti gubernur nanti yang bisa mengangkat derajat teman-teman ABK (anak berkebutuhan khusus, Red.). Rizky berharap kalau bisa gubernurnya jangan menganggap remeh ABK,” ungkap Jessi mengartikan gerakan tangan Rizky.
GUBERNUR HARUS JUJUR DAN PEDULI
Lain Rizky, lain juga Fiki Wicahyono, penyandang tunagrahita yang juga belajar di Inbis. Pemuda ini menceritakan pengalamannya mengikuti pemilu dengan suara yang begitu jelas. Namun keterbatasan intelektual yang dimiliki Fiki membuatnya tak bisa menjawab cepat. Beberapa kali anak semata wayang ini terdiam sebelum akhirnya bersuara lantang.
“Di Berbas…. datang sama Mama…” seru Fiki mengisahkan pengalamannya saat memberikan suaranya di Pilwali Bontang 2015 silam. “Pertama Mama yang datang, baru Fiki. Datang pakai motor gantian,” tambahnya.
Meski berperawakan besar dan usia kepala dua, perilaku Fiki masih layaknya anak-anak. Tak heran bila dia tampak antusias manakala menceritakan keikutsertaannya di pilwali. Kala itu usianya 18 tahun, sudah memiliki hak pilih untuk ikut menentukan pemimpin daerah.
Bahkan, dengan polosnya Fiki meneriakkan nama kandidat wali kota yang dipilihnya. Alasan memilih pun sederhana, karena hanya kandidat itu yang dia kenal. “Cuma (kenal) itu saja. Yang lain tidak kenal,” jelas Fiki yang dengan fasih menyebutkan proses pencoblosan menggunakan paku.
Sementara untuk pilgub mendatang, Fiki menyebut belum paham. Dia juga belum tahu siapa saja kandidat yang bisa dipilih. Yang diketahuinya hanya pada 27 Juni mendatang, akan kembali ada pemilu layaknya pilwali tiga tahun silam. “Ya nanti nyoblos lagi,” imbuhnya.
Akan tetapi, Fiki menyebut belum tahu siapa saja kandidat yang bisa dipilih dalam pilgub. Makanya belum tahu juga dia siapa yang akan dipilih kelak. Biar pun begitu, Fiki rupanya sudah memiliki kriteria gubernur idaman. Dengan polos Fiki menyebut, gubernur terpilih mesti jujur dan memiliki kepedulian kepada masyarakat.
“Harus peduli sama orang lain… bantu masyarakat miskin… bagi-bagi rezeki… peduli warga,” ucap anak tunggal ini.
Sayangnya keterbatasan kemampuan juga membuat penyandang disabilitas kurang memedulikan pentingnya momen yang kerap disebut pesta demokrasi ini. Supri contohnya, penyandang tunadaksa ini mengaku asal memilih saat menggunakan hak suaranya di pilwali kemarin. Dengan suara yang kurang jelas, Supri menyebut dirinya diantar hingga ke bilik suara untuk melakukan pencoblosan.
“Tapi memilihnya sendiri. Yang dipilih bapak-bapak,” ujar Supri disampaikan kembali oleh Jessie.
Pria berumur 34 tahun ini mengaku tidak mengenal para kandidat dalam pilwali kemarin. Pun dengan pilgub nanti, Supri menyebut sama sekali belum tahu kandidatnya. Malahan nantinya dia bakal asal memilih tanpa melihat latar belakang masing-masing calon. “Supri baru kenal (orang) kalau sudah sering bertemu,” sebut Jessie. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post