Baru saja kita saksikan perayaan tahun baru 2017, baik tingkat kota ataupun kelurahan. Sebuah perayaan yang menyisakan pertanyaan bagi sebagian masyarakat, “mengapa harus ada perayaan menyambut tahun baru, yang bukan saja mewah dengan mendatangkan artis ibu kota namun juga menyajikan budaya yang tidak mendidik, disaat minimnya anggaran pembangunan?”. Tentu saja perayaan tahun baru seperti ini bukan saja dibilang pemborosan akan tetapi kurang tepat dalam alokasi dana anggaran.
Bukankah sikap boros seringkali membawa pelakunya ke dalam kerugian dan kerusakan. Seorang pengusaha kaya bisa bangkrut, habis kekayaanya karena sikapnya yang boros; pun institusi pemerintahan, akan menjadi bangkrut jika berlaku boros terhadap anggaran. Lalu apakah penyebab boros? dan bagaimanakah pandangan terkait sikap boros?
Islam sebagai agama yang sempurna mengatur bagaimana mengembangkan harta, sekaligus juga mengatur bagaimana cara membelanjakannya. Islam telah menetapkan metode pembelanjaan harta sekaligus menentukan bagaimana tata caranya. Sistem islam sangat berbeda dengan sistem kapitalis yang mengagungkan kebebasan pemilikan dan berperilaku, menjadikan manfaat sebagai asasnya.
Dalam islam, seorang pemilik harta tidak dibiarkan bebas mengelola dan membelanjakan harta, sekalipun harta itu secara hukum, sah merupakan miliknya. Akan tetapi Islam mengaturnya dengan sangat rinci.
Islam telah melarang seseorang bertindak israf (boros) atau tabzir ketika membelanjakan harta, sekaligus melarang seseorang bersikap kikir atau taqtir. Allah berfirman, yang artinya:
“Mereka yang jika mengeluarkan harta, tidak bertindak israf (boros) ataupun kikir (taqtir); pengeluarannya ada di tengah-tengah yang demikian” (QS. Al-Furqan [25]:67).
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat israf (berlebih-lebihan)” (QS Al-A’raf : 31)
Israf (boros) dalam pengertian syara’ bermakna mengeluarkan harta dalam perkara yang haram atau kemaksiatan atau bukan di jalan yang haq, sekalipun yang dikeluarkan jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan kikir (taqtir) terhadap diri sendiri bermakna menahan diri dari kenikmatan yang dibolehkan syari’ah (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam).
Keduanya merupakan perkara yang dicela oleh Allah SWT. Selain israf dan kikir (taqtir), Islam juga melarang kaum muslimin untuk berfoya-foya atau menghambur-hamburkan harta. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Waqi’ah [56] :41-45, yang artinya:
“Golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angin yang amat panas. Dan air panas yang mendidih dalam naungan asap hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup berfoya-foya atau bermewah-mewah.
Selain itu Islam juga tidak menganjurkan kita untuk menyia-nyiakan harta (idha’atul maal), yaitu menafkahkan harta pada barang-barang yang sesungguhnya tidak kita butuhkan, sehingga akhirnya barang tersebut tidak terpakai bahkan akhirnya terbuang. Rasulullah SAW bersabda: “… dimakruhkan atas kamu banyak bicara dan bertanya (tentang hal-hal yang sifatnya khayalan) serta menyia-nyiakan harta.”
Dari penjelasan di atas makna tentang israf (boros), maka dapat kita simpulkan, jika membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang mubah atau untuk ketaatan dengan menjaga niat karena Allah, maka perilaku seperti ini tidak terkategori israf atau tabzir.
Akan tetapi, jika membelanjakan hartanya untuk membeli minuman keras atau untuk taruhan judi atau untuk berinfaq karena ingin dipuji misalnya, maka itu termasuk perilaku israf atau tabzir yang diharamkan, tanpa melihat besar kecilnya jumlah harta yang dibelanjakan. Umat Islam harus berhati-hati dari tindakan boros, yaitu membelanjakan harta demi kesombongan atau berbangga diri.
Jadi, bukan semata-mata membelanjakan harta untuk menikmati kekayaan. Karena pada dasarnya, Islam tidak melarang kita untuk menikmati dan merasakan nikmatnya rezeki yang telah Allah anugerahkan. Allah SWT berfirman,yang artinya:
“Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hambaNya, juga rezeki-Nya yang baik-baik?”
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amr ra. yang mengatakan, bahwa Nabi Saw pernah bersabda :”Sesungguhnya Allah suka untuk melihat tanda-tanda kenikmatan-Nya pada hambaNya”.
Bahwa Allah suka jika hambaNya menikmati nikmat dari Allah sekaligus merasakan rezekiNya yang baik-baik, yang telah Allah anugerahkan kepadanya oleh Sang Pencipta alam semesta ini. Akan tetapi Allah membenci banyaknya kenikmatan yang mengakibatkan lahirnya sikap arogan, sombong dan membangkang yaitu ketika terjadi tindakan berfoya-foya atau boros.
Biasanya, perilaku individu yang berfoya-foya dan boros muncul didorong oleh nafsu ingin diakui eksistensi dirinya, ingin dipuji, atau karena senang berbangga diri ataupun menjerumuskan diri pada perilaku menyia-nyiakan harta.
Sedikit berbeda dengan prilaku borosnya pejabat publik, yang mendorong mereka bersikap boros salah satunya adalah disebabkan biaya-biaya politik yang mahal. Seorang pejabat publik untuk meraih kekuasaan membutuhkan dukungan massa, sehingga setelah berkuasa harus memberikan imbal balik kepada para pendukungnya atau Tim suksesnya dengan berbagai proyek yang sebenarnya tidak pro rakyat.
Jika demikian halnya, maka seorang yang mengaku telah beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, tentu tidak layak terjebak dalam sikap seperti ini.
Sikap boros masyarakat saat ini memang tengah mengancam kehidupan umat, telah menjebak umat Islam pada aktivitas mengejar kesenangan jasadi semata yang akan mendorong seseorang pada perbuatan yang menyalahi hukum-hukum syariat bahkan lebih jauh, akan membuat umat Islam berpaling dari tujuan hidup sebenarnya yaitu menjaga Islam dan memperjuangkan kemuliaannya.
Penyakit ini akan terus berkembang dan meracuni umat, selama umat masih hidup di bawah sistem pemerintahan demokrasi dalam mengatur masyarakat. Karena itu, saatnya kaum muslimin mencampakkan sistem demokrasi, kemudian menggantinya dengan sistem kehidupan Islam yang menjamin kemuliaan hakiki bagi umat dan pejabatnya. Caranya adalah dengan terus berdakwah membangun kesadaran masyarakat dengan Islam kaffah dan berupaya menegakkannya dalam wadah Khilafah Islamiyyah. Dengan begitu umat islam bisa meninggalkan hidup berfoya-foya dan boros secara hakiki.
Wallaahu a’lam bisshawwab. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post