JAKARTA– Wacana pilkada serentak nasional tahun 2024 dinilai tidak logis. Juga tidak adil bagi penyelenggara pemilu. Sebab saat yang bersamaan 2024 juga digelar pemilihan umum untuk pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pilkada serentak nasional 2024 harus dikaji ulang. Sebab penyelenggara akan mendapat beban yang berlipat ganda. Kondisi tersebut juga dikhawatirkan bisa berdampak pada kualitas pemilu.
“Kami mendesak agar ini ditata ulang,” kata Titi Anggraini dalam diskusi di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan.
Diketahui, pilkada serentak nasional 2024 diatur dalam pasal 201 UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Dalam pasal 201 ayat (8) disebutkan bahwa pilkada serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
“Kondisi ini jelas tidak ideal,” ujar Titi.
Salah satu yang memicu kekhawatiran adalah daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2022. Sehingga mengalami kekosongan pemimpin cukup lama sampai dua tahun. Salah satunya Provinsi DKI Jakarta. Sambil menunggu gubernur definitif, kementerian dalam negeri (Kemendagri) menunjuk penjabat gubernur. Selain DKI Jakarta, kondisi serupa juga terjadi di Provinsi Banten dan Aceh.
“Kami khawatir pejabat Plt (pelaksana tugas, Red) tidak mampu mendukung tata kelola pemerintahan dengan maksimal,” imbuhnya.
Kondisi serupa juga menimpa kepala daerah yang masa jabatannya habis 2023. Pilkada tetap digelar serentak 2024. Itu meliputi Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua.
Nah agar efektif, lanjut Titi, pihaknya berharap pilkada di wilayah setempat tetap digelar di tahun yang sama dengan berakhirnya masa jabatan. Sehingga tidak menumpuk di tahun 2024 bersamaan dengan pemilu. Dengan demikian, beban penyelenggara tidak menjadi besar.
“Kami akan desak DPR untuk merevisi UU Pilkada,” paparnya.
Langkah lainnya, Perludem juga telah melayangkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan, pihaknya mendesak MK untuk membatalkan pasal 201 ayat (8). Sidang dengan agenda mendengar saksi ahli akan digelar Senin besok (13/1/2020).
Sementara itu, DPR tidak bisa memastikan untuk mengabulkan permintaan tersebut. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan pihaknya memang punya agenda untuk merevisi UU Pilkada. Agenda tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).
“Apakah poin revisi pasal 201 akan dilakukan, nanti tergantung komunikasi dengan fraksi-fraksi,” kata Doli Kurnia.
Disampaikan, revisi UU Pilkada akan difokuskan untuk penataan sistem kepemiluan. Sehingga UU Pemilu dan UU Partai Politik juga termasuk dalam proyeksi revisi di DPR.
“Fokus kita adalah penyempurnaan sistem kepemiluan,” ujar politisi Golkar itu. (mar/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post