BELUM lama ini, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo merilis data 2.357 aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam kasus korupsi. Kaltim membukukan 60 orang pegawai negara yang terlibat dalam “perampokan” uang yang merugikan negara tersebut.
Pengamat hukum dan politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah menyebut, kasus tersebut cermin dari keroposnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari tindak pidana korupsi selama Awang Faroek memimpin Kaltim.
“Ini belum termasuk kasus-kasus korupsi yang begitu banyak di Kaltim yang erat kaitannya dengan kebocoran APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah, Red.). Mulai dari kasus hibah dan bansos (bantuan sosial), hingga kasus suap,” ucapnya, Kamis (27/9) kemarin.
Kasus korupsi dana hibah dan bansos 2013 yang menyeret Yayasan Pendidikan Sendawar Sejahtera, Yayasan Pendidikan Sekar Alamanda, dan Yayasan Permata Bui Sendawar di Kutai Barat adalah salah satu kasus korupsi yang mewarnai pengelolaan hibah semasa Awang Faroek.
Korupsi dana hibah itu diduga melibatkan anggota DPRD Kaltim periode 2008-2013. Juga staf di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dan pengelola tiga yayasan tersebut. Sehingga merugikan negara senilai Rp 19 miliar.
“Artinya, kepemimpinan Pak Awang gagal men-trigger jajarannya untuk menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Suka tidak suka, tanggung jawab ini mesti diambil oleh seorang kepala daerah,” katanya.
Pria yang karib disapa Castro itu berpendapat, korupsi di Kaltim terjadi karena pemerintah tidak menerapkan sistem pengelolaan keuangan yang transparan. Informasi tentang APBD, nyaris sulit diakses publik.
Meski Pemprov Kaltim mendapatkan penghargaan keterbukaan informasi publik, tetapi itu hanya menjadi formalitas belaka. Sebab tidak berbanding lurus dengan pola pengelolaan informasi yang cenderung tertutup.
“Dokumen APBD saja terlampau sulit untuk diakses oleh publik. Termasuk belum dibangunnya sistem e-budgeting secara serius, sebagai sarana kontrol publik terhadap lalu lintas pembahasan anggaran,” tegasnya.
Castro menyarankan, ke depan akses informasi bagi publik mesti dipermudah. Hal itu menjadi syarat pokok supaya pengawasan dari masyarakat berjalan. “Pengelolaan APBD harus dibuat online melalui e-budgeting. Agar mudah diawasi publik. Itu juga sekaligus jalan untuk membangun partisipasi publik,” sarannya.
Selain itu, dia mencatat, selama Awang Faroek memimpin Kaltim, dugaan korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam juga tidak sepenuhnya mampu dibendung pemerintah.
Evaluasi izin usaha pertambangan (IUP) yang dicanangkan pemerintah, seolah setengah hati. Hal ini dikuatkan dengan keragu-raguan pemprov dalam penetapan status clear and clean (CNC) dan non-CNC IUP pertambangan di Kaltim.
“Seharusnya itu dijadikan dasar dalam pencabutan izin. Padahal kita tahu, betapa besar daya rusak sektor tambang batu bara ini bagi Kaltim,” ucapnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post