SAMARINDA – Kematian Nurul Huda Aulia (11) di kolam yang berlokasi di Jalan Harun Nafsi, Loa Janan Ilir, Samarinda, masih menyimpan tanya. Pasalnya, kepolisian dan warga setempat menyebut, kolam itu bukan eks tambang batu bara. Namun Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim memiliki temuan yang berbeda dengan keterangan tersebut.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang mengaku bersama timnya telah melakukan investigasi dan memeriksa kadar potensial hidrogen (pH) air di kolam nahas itu.
“Kami memeriksa pH air 2,76. Artinya kandungan air sangat asam. Ini menandakan sebelumnya ada aktivitas pembongkaran tanah yang mengandung konsentrasi batu bara,” ungkapnya, Rabu (21/11) kemarin.
Selain itu, Jatam memeriksa kadar total disolved solid (TDS). Hasilnya, ditemukan kadar itu nilainya 1.960 TDS. Angka tersebut menunjukkan banyak logam berat. Macam-macam logam tersebut dapat berupa besi, mangan, merkuri, zeng, aluminium, timbal, dan arsen.
Bukti lain yang menguatkan dugaan itu adalah keterangan warga setempat. Sejumlah saksi yang dimintai keterangan oleh aktivis Jatam menyebut, dulu di lokasi itu ada tambang batu bara.
“Ini bukan kolam alami. Jika buatan untuk pengairan pertanian, itu bukan embung hasil hibah/pembangunan dari pemerintah,” tegasnya.
Pernyataan Jatam itu berbeda dengan keterangan yang disampaikan Yani (41) salah seorang paman korban pada Metro Samarinda, Selasa (20) lalu. Dia berpendapat, kolam yang digunakan keponakannya bukan eks tambang batu bara.
Yani mengklaim, terdapat sejumlah lubang di lokasi tersebut. Sebelumnya, kolam itu bekas jurang yang tak berair dengan kedalaman delapan meter. Di dekatnya, ada urukan tanah proyek pembangunan jalan tol. Akibatnya, air berkumpul di jurang tersebut.
Keterangan yang sama diterangkan Kanit Restrim Polsekta Samarinda Seberang, Iptu Dedi Setiawan. “Bukan lubang tambang itu,” ucapnya singkat.
Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengatakan, terlepas dari beragam perbedaan pendapat atas konsesi tambang batu bara di lokasi tersebut, kematian itu memperpanjang daftar kematian di kolam yang diduga bekas tambang.
“Selama ini, hingga korban ke-31, pemerintah dan aparat penegak hukum tak bergeming. Seperti buta dan tuli terhadap tragedi hilangnya nyawa manusia di lubang tambang ini. Negara seperti hilang dan enggan menampakkan wajahnya untuk menjawab masalah publik. Terutama para korban yang menuntut keadilan,” sesalnya.
Dia menyebut, kematian di lubang tambang acap diakhiri dengan sikap tidak tegas pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal itu ditunjukkan dengan belum adanya langkah serius yang diambil pemerintah.
“Itu menunjukkan wajah dan watak rezim yang sesungguhnya. Yang sama sekali tidak punya empati terhadap warganya. Dan salah satu sebab kejadian ini terus berulang. Karena tidak adanya sanksi yang memberikan efek jera,” ucapnya.
Pria yang karib disapa Castro itu menyarankan pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) pemilik lubang tambang. Sanksi administratif itu diharapkan dapat memberikan efek jera bagi perusahaan yang mengabaikan kewajiban reklamasi dan pasca tambang.
“Sementara pada aspek sanksi pidana, pemerintah bisa segera berkoordinasi dengan aparat kepolisian untuk mendorong proses hukumnya,” imbuh Castro. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post