bontangpost.id – Presiden Joko Widodo melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah mengumumkan akan melakukan vaksinasi pertama pada 13 Januari nanti. Meski demikian, emergency use authorization (EUA) hingga kemarin sore belum dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah juga melakukan survei bahwa sebagian orang di Indonesia mau divaksin Covid-19.
Kepala BPOM Penny K Lukito (8/1) menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu laporan uji klinis vaksin Covid-19 dari Sinovac yang diuji coba di Bandung. Sesuai dengan syarat badan kesehatan dunia (WHO), data pengamatan subjek penelitian pada bulan ketiga setelah penyuntikan vaksin kedua sudah cukup untuk memberikan masukan dalam menerbitkan EUA.
“Kendala kami masih menunggu hasil uji klinik yang di Bandung untuk pengamatan intrim tiga bulan yang diberikan hari ini (kemarin). Dan dalam waktu dekat akan diumumkan,” tutur Penny.
Dia menyatakan bahwa pemberian EUA tak bisa sembarangan. Saat ini BPOM sudah memiliki data uji klinis 1 dan 2 vaksin Covid-19 dari Sinovac. Lalu yang masih ditunggu adalah data uji klinis tahap 3. Vaksin ini tidak hanya diujikliniskan di Indonesia. Namun, juga Brazil dan Turki. BPOM pun akan mengambil data dari dua negara tersebut.
Pengamatan uji klinis tahap 3 seharusnya dilakukan selama enam bulan setelah penyuntikan kedua yang dilakukan kepada subjek penelitian. Namun, untuk mempercepat EUA dan sesuai dengan instruksi WHO, data pengamatan pada bulan ketiga pun diperkenankan. Sejauh ini, untuk mempercepat EUA, data juga dikumpulkan secara bertahap.
“Kami menerapkan rolling submission, di mana data yang dimiliki industri disampaikan secara bertahap. Sudah dilakukan sejak Oktober dan dilakukan evaluasi secara bertahap juga sejak Oktober,” kata Penny.
Dia menjamin BPOM akan independen, hati-hati, dan transparan. Nantinya industri farmasi yang sudah memegang EUA harus melaporkan secara berkala kepada BPOM. Termasuk ketika sudah dilakukan penyuntikan kepada masyarakat. BPOM juga melakukan pendampingan dan pemantauan hingga setelah vaksinasi. BPOM yang berada di seluruh Indonesia akan terus melakukan pendampingan kepada Dinas Kesehatan.
Lalu apa tanggapan BPOM terkait distribusi vaksin dari Sinovac padahal belum ada EUA? Penny menyatakan hal itu tidak apa-apa asal vaksinasi tetap dilakukan setelah ada EUA. Dia bisa memahami alasan pendistribusian dilakukan lebih cepat. Pemerintah membutuhkan waktu untuk mendistribusikan dengan cara yang baik dan benar.
Untuk kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), BPOM berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan komisi penanganan KIPI. Dalam hal ini, tenaga kesehatan diharapkan aktif melaporkan ketika ada kejadian pasca-imunisasi. ”Masyarakat bisa melapor ke nakes yang berada di lokasi vaksinasi, nakes laporkan secara berjenjang,” katanya.
Ke depan, vaksin lain yang akan diberikan di Indonesia juga harus melalui proses yang sama. BPOM harus menilai keamanan vaksin tersebut. Namun, penilaian tidak selalu dengan dilakukan uji klinik di Tanah Air. Vaksin yang sudah punya EUA dari negara lain bisa diberikan EUA lebih cepat dari BPOM. Caranya dengan memberikan data yang sudah dipunyai untuk mengajukan EUA.
Selain memastikan keamanan dan efektivitas vaksin, pemerintah juga telah mempersiapkan mekanisme untuk mengantisipasi KIPI. Juru Bicara Vaksin Covid-19 dari Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi mengatakan, Kemenkes dengan Komnas KIPI telah menyiapkan langkah antisipatif bila terjadi efek samping pada penerima vaksin.
”Saya juga pastikan bahwa pemerintah tidak akan melakukan vaksinasi sebelum ada persetujuan penggunaan darurat dari BPOM,” ungkapnya.
Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menuntaskan kajian kandungan vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac. Hasilnya vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac dinyatakan halal dan suci. Ada tiga vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang dikaji; Coronavac, Vaccine Covid-19, dan Vac2 Bio.
Keputusan itu diambil dalam sidang pleno Komisi Fatwa MUI yang digelar di Jakarta kemarin (8/1). Meski hasil kajian sudah keluar, fatwa komplet dari MUI masih menunggu izin keamanan dari BPOM.
Ketua MUI bidang Fatwa dan Urusan Halal Asrorun Niam Sholeh menjelaskan bahwa vaksin Covid-19 buatan Sinovac secara syar’i dinyatakan halal dan suci digunakan. Keputusan itu ditetapkan setelah dilakukan diskusi panjang serta mendengarkan penjelasan para auditor.
Asrorun menegaskan, meski sudah dinyatakan halal dan suci, fatwa MUI belum final. “Ini sangat terkait dengan keputusan mengenai aspek keamanan, kualitas, dan efficacy (kemanjuran) dari BPOM,” tuturnya. Dia menjelaskan, fatwa MUI secara utuh tentang vaksin Covid-19 buatan Sinovac akan disampaikan setelah keluar pengumuman dari BPOM.
Asrorun mengatakan bahwa fatwa final dari MUI nanti di antaranya melihat kembali apakah vaksin Covid-19 buatan Sinovac itu aman atau tidak disuntikkan ke manusia. Selain itu, dia menegaskan bahwa saat ini MUI baru menyelesaikan kajian kehalalan hanya untuk vaksin Covid-19 buatan Sinovac.
Sebagaimana diketahui, Komisi Fatwa MUI menetapkan kehalalan setelah sebelumnya mengkaji mendalam laporan hasil audit dari tim MUI. Tim tersebut terdiri dari Komisi Fatwa MUI Pusat dan LPPOM MUI. Tim tersebut sebelumnya telah berpengalaman dalam proses audit Vaksin MR.
Tim itu sebelumnya tergabung dalam tim Kementerian Kesehatan, Biofarma, dan BPOM sejak Oktober 2020. Mereka bersama tim lain mengunjungi pabrik Sinovac dan mengaudit kehalalan vaksin di Tiongkok. Sepulang dari Tiongkok, tim masih menunggu beberapa dokumen yang kurang.
Setelah itu, kekurangan dokumen diterima secara lengkap oleh tim MUI pada Selasa (5/1) melalui surat elektronik. Pada hari yang sama, tim juga merampungkan audit lapangan di Biofarma yang nantinya memproduksi vaksin ini secara massal. Tim kemudian melaporkan hasil audit tersebut kepada Komisi Fatwa MUI Pusat untuk dilakukan kajian keagamaan menentukan kehalalan vaksin.
Sementara itu, pemerintah juga menyampaikan wacana adanya sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin. Menurut anggota DPR Komisi IX Netty Prasetyani, sanksi itu sebenarnya tidak perlu diberlakukan. Sebab, dia menilai, penerapan sanksi malah akan membenturkan hak masyarakat dengan kekuatan pemerintah.
Penerapan sanksi, menurut dia, baru ideal dilaksanakan ketika tahapan edukasi sudah tuntas. “Kalau itu belum, ya, jangan harap masyarakat memiliki kepercayaan atau keberanian untuk divaksin,” tegas Netty, Jumat (7/1).
Daripada menerapkan sanksi mulai awal, Netty menyarankan pemerintah memperbaiki pola komunikasi publik kepada masyarakat. Supaya informasi yang tersampaikan tentang vaksin tidak simpang siur dan mengarah ke hoaks. Apalagi tercatat masih ada sekitar 34 persen masyarakat yang belum bersedia divaksin.
“Masyarakat yang tidak mau divaksin inilah yang harus dikelola pemerintah, bagaimana melakukan policy marketing,” lanjutnya.
Pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mau divaksinasi. Hal ini merujuk pada survei yang dilakukan WHO bersama UNICEF dan Kementerian Kesehatan. Dari 115 ribu orang responden di 34 provinsi, diperoleh data bila 65 persen responden mau menerima vaksin.
”Bahkan 35 persennya bersedia untuk membayar vaksin,” ujar Dirjen Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Widodo Muktiyo, kemarin (8/1).
Widodo tidak merinci hasil keseluruhan. Namun, dari data yang ditampilkan, turut disampaikan mengenai persentase responden yang tahu tentang vaksin dan telah mendengar lebih banyak informasi terkait vaksin. Masing-masing sebesar 74 persen dan 79 persen.
Namun, menurut dia, kata kunci dari vaksin ini ialah masyarakat harus diyakinkan terkait kualitas vaksin. Dalam hal ini, keamanan yang menjadi kuasa BPOM dan kehalalan vaksin dari MUI. ”Kita menunggu sehingga vaksinasi bisa dijalankan,” ungkapnya. (lyn/wan/deb/mia/jpg/dwi/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post