RATUSAN penyandang disabilitas bakal ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bontang, ada sebanyak 314 penyandang disabilitas yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgub Kaltim 2018. Dari total pemilih di DPT sebanyak 114.111 warga. Artinya, persentasenya hanya 0,27 persen.
Berita Terkait, Memilih dalam Senyap
Meski kecil, namun para penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan para pemilih umumnya. Hal ini telah menjadi perhatian KPU Bontang, di antaranya dengan melakukan sosialisasi kepada komunitas penyandang disabilitas. Agar dapat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menggunakan haknya.
“Kami sudah kerja sama dengan Badan Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik, Red.) untuk sosialisasi di Inkubator Bisnis. Dan antusiasnya luar biasa, mereka (penyandang disabilitas, Red.) sangat menyambut baik,” tutur Komisioner KPU Bontang, Iffa Rosita.
Berita Terkait, Harus Diulang-ulang
Malahan, dari sosialisasi itu KPU turut melibatkan penyandang disabilitas secara aktif dalam pemilu. Yaitu melalui program Relawan Demokrasi yang mengiikutsertakan tiga orang dari komunitas penyandang disabilitas sebagai relawannya. Relawan ini yang lantas membantu KPU untuk menyosialisasikan pemilu khususnya pilgub kepada para penyandang disabilitas.
“Tujuannya (Relawan Demokrasi, Red.) menjadi perpanjangan tangan kami, khususnya untuk kawan-kawan mereka. Jadi yang tadinya tidak percaya diri untuk datang ke TPS, dengan adanya teman-teman mereka yang menjadi relawan demokrasi, akhirnya mau datang memberikan suara,” urai satu-satunya komisioner perempuan di KPU Bontang ini.
Iffa mengakui bila sebelumnya KPU kurang efektif dalam melakukan sosialisasi. Sebelumnya dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Bontang 2015 silam, sosialisasi kepada penyandang disabilitas dilakukan dengan datang ke sekolah-sekolah luar biasa (SLB). Namun rupanya sosialisasi ini kurang menyentuh.
“Karena kemarin (Pilwali 2015, Red.) kami sosialisasinya di sekolahnya, di SLB. Kami mengakui juga kurang efektif karena yang disasar lebih banyak anak-anak di bawah usia 17 tahun. Kalau sosialisasi yang sekarang ini (Pilgub 2018, Red.) betul-betul (menyentuh) di atas 17 tahun,” ungkap Iffa.
Selain sosialisasi, KPU turut memperhatikan akses penyandang disabilitas di TPS. Jangan sampai kondisi TPS menyulitkan penyandang disabilitas untuk memberikan suaranya. Untuk memastikannya, KPU sudah mewanti-wanti Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara (KPPS). Terutama para petugas di TPS, agar akses dipermudah bagi penyandang disabilitas.
”Misalnya untuk yang memakai kursi roda, jalannya (ke bilik suara) harus rata dan tidak bertangga-tangga. Kemudian untuk meja bilik suaranya, kami persiapkan yang berlubang agar aksesnya lebih mudah,” terang dia.
KPU dalam hal ini disebut sudah sudah mulai mencermati TPS-TPS yang akan digunakan oleh penyandang difabel. Pembekalan kepada KPPS telah diberikan agar penyandang disabilitas menjadi prioritas. Termasuk apakah nantinya para penyandang disabilitas ini perlu mendapatkan pendampingan ke bilik suara atau tidak.
Apabila merasa perlu pendamping, boleh menggunakan pendamping keluarga atau petugas KPPS. “Tapi pendamping menandatangani surat pernyataan bahwa pendamping tidak akan membocorkan kerahasiaan siapa yang dipilih,” imbuh Iffa.
Formulir pendampingan ini bukan menjadi satu-satunya logistik yang khusus diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Iffa menyebut, bagi penyandang tunanetra, sudah disiapkan surat suara khusus yang menggunakan huruf Braille. Kebutuhannya nanti disesuaikan dengan jumlah penyandang tunanetra yang memberikan suara.
Menurut Iffa, para penyandang disabilitas harus mendapat perlakuan khusus. Dalam hal ini, mereka mesti didahulukan dalam memberikan suaranya di TPS. Sehingga tidak perlu mengikuti antrean. Pasalnya bila terlalu lama menunggu, dikhawatirkan dapat membuat penyandang disabilitas merasa tidak nyaman.
“Jadi kalau mereka (penyandang disabilitas, Red.) datang, kami minta izin kepada yang antrean berikutnya untuk mendahulukan mereka. Kami akan memberikan pengertian kepada warga bahwa mereka itu prioritas,” urai Iffa.
Diakui, dalam penyelenggaraan pemilu sebelum-sebelumnya, KPU belum menemukan adanya praktik diskriminasi kepada penyandang disabilitas dalam memberikan hak suaranya. Namun bila itu terjadi, KPU sangat menyayangkannya. Karena penyandang disabilitas memiliki hak pilih yang sama.
“Tidak ada alasan untuk tidak memfasilitasi hak mereka. Ketika mereka sudah 17 tahun, maka mereka punya hak untuk itu. Apapun keadaan mereka, fisiknya seperti apa, wajib kita berikan,” sambungnya. “Bila ada yang menghalang-halangi penggunaan hak pilih, bisa dijerat pidana oleh undang-undang,” tambah Iffa.
Menariknya, dalam pendataan yang dilakukkan petugas KPU, ditemukan keluarga penyandang disabilitas yang menolak didata. Dalam hal ini, pihak orang tua tidak berkenan putranya yang merupakan penyandang disabilitas dimasukkan ke dalam DPT. Namun begitu, KPU tetap memasukkannya ke dalam DPT.
“Kendala justru dari keluarganya sendiri, sehingga perlu kami lakukan pendekatan. Karena kalau kami delete, kami jadi yang salah. Terkait apakah nanti dia menggunakan hak pilih atau tidak, yang penting kami lakukan pendataan,” tuturnya.
Ditanya partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu, Iffa menjawab selama ini belum diketahui apakah aktif atau pasif. Karena KPU belum pernah melakukan pengukuran secara spesifik. Akan tetapi dari dialog yang dilakukan dengan komunitas penyandang disabilitas, diketahui bila masih banyak yang malu untuk datang ke TPS.
“Kami berharap adanya sosialisasi dan Relawan Demokrasi ini bisa menghilangkan rasa malu, sehingga partisipasi bisa meningkat. Apalagi dengan adanya relawan perwakilan penyandang disabilitas, semoga partisipasinya bisa 100 persen,” sebutnya.
KPU dalam hal ini menyambut baik keinginan penyandang disabilitas untuk disertakan sebagai bagian penyelenggara pemilu. Hal ini rupanya sempat ditawarkan KPU kepada komunitas penyandang disabilitas. “Kami sempat menawarkan kalau ada yang mau jadi KPPS, tapi yang ditanggapi program Relawan Demokrasi,” tandas Iffa.
Perhatian yang sama diungkapkan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Bontang. Sebagaimana KPU, Panwaslu menginginkan semua penyandang disabilitas dapat terakomodasi dalam pilgub nanti. Pengawasan dilakukan mulai dari melihat data pemilih disabilitas yang diberikan KPU. Data itu menjadi rujukan saat hari-H pemungutan suara.
“Kami akan lihat apakah hak mereka tersalurkan dengan baik saat pemilihan nanti. Bagaimana KPU memobilisasi mereka untuk bisa menyalurkan hak pilih,” kata Ketua Panwaslu Bontang Agus Susanto yang mengaku akan melakukan koordinasi terlebih dulu dengan KPU dalam hal teknis di lapangan.
Berdasarkan pengalaman pemilu terdahulu, Panwaslu belum pernah menemukan adanya pelanggaran terkait penyandang disabilitas. Namun potensi pelanggaran tetap ada. Potensi itu, sebut Agus, bisa dalam bentuk hak pilih yang digunakan orang lain melalui penyalahgunaan formulir undangan datang ke TPS.
“Tapi rasanya dengan pengawasan yang ada, saya yakini pelanggaran dan kecurangan oleh pihak-pihak tertentu sulit untuk dilakukan,” terang Agus.
Apalagi, sambung dia, jumlah pemilih dari penyandang disabilitas tidak cukup besar. Sehingga Panwaslu bisa memonitor dan bisa mengamankan melalui para pengawas TPS yang dimiliki. Dalam hal ini, Panwaslu bakal membekali para pengawas TPS salah satunya pengawasan untuk pemilih dari penyandang disabilitas. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post