Sebagai tahun politik, momentum 2018-2019 bakal menjadi pertaruhan bagi para wanita Kaltim untuk menunjukan eksistensi. Mengingat saat ini partisipasi dan keterlibatan langsung perempuan di ruang-ruang publik masih sangat minim, terutama di Samarinda sebagai ibu kota Kaltim.
ASPIN ANWAR, Samarinda
Hal ini disampaikan Ketua Umum Naluri Perempuan Setara (Napas) Kaltim, Fransiska Wung Lawing, Minggu (22/4) kemarin. Siska menilai keterwakilan pemimpin perempuan di Samarinda masih cukup rendah.
Pasalnya, jika dilihat dari tahun ke tahun, kebanyakan dari mereka yang menjabat di bidang publik, adalah kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan. Begitupun para figur di bidang eksekutif maupun legislatif lebih didominasi kaum Adam.
“Kita bisa lihat, yang duduk di dinas-dinas maupun di legislatif Samarinda, hanya 4 persen kaum Hawa yang berperan. Artinya masih kurang kesetaraan gender. Padahal pusat menargetkan 30 persen kaum Hawa duduk di kursi parleman maupun di ruang publik,” kata Fransiska usai menghadiri salah satu acara pada perayaan Hari Kartini, kemarin.
Setidaknya, lanjut Fransiska, jika demokrasi yang dianut dewasa ini dimaknai sebagai wider people participation, maka perempuan juga menjadi bagian tak terpisahkan. Sebab hal tersebut juga harus dipikirkan dan diupayakan porsinya dalam konteks politik di Indonesia.
Selain itu, status perempuan sebagai bagian dari bangsa yang harus diberikan hak-hak dasarnya. Termasuk hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara juga sudah cukup jelas. Sehingga pemerintah dinilai perlu mendorong lagi secara masif peran perempuan di berbagai sektor kehidupan.
“Kalau kami membingkai secara garansi kesetaraan status perempuan dengan laki-laki, khususnya di bidang politik dan hukum, ditegaskan dalam UUD 1945, Pasal 27 Ayat 1, yang berbunyi, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” jelasnya.
Dia berharap kepada Pemerintah Kaltim, terutama Pemkot Samarinda, untuk melihat persoalan yang perlu dicermati yaitu bagaimana pemerintah memaknai prinsip kesetaraan gender tersebut. Dalam ranah politik, konsep kesetaraan atau equal opportunity, berarti pemberian kesempatan yang setara seluas-luasnya bagi setiap warga negara secara nondiskriminatif untuk mendapatkan hak-hak hidupnya.
Di antara hak-hak tersebut yang terpenting adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik. “Kami melihat di Samarinda, masih minim peran perempuan. Kami sebagai kaum perempuan mempunyai hak untuk berperan di dunia publik. Kita bisa menilai, di Samarinda aja, pembangunan kesetaraan gender masih minim,” katanya.
“Kami sangat berharap pemerintah mulai membuka ruang dan kesempatan yang luas bagi peran kaum Hawa ke depan. Apa yang diperjuangkan oleh RA Kartini dulu, itu juga yang sekarang sedang kami perjuangkan. Kami ingin hak-hak perempuan bisa diberikan,” tegas Fransiska. (*/aj)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post