Tiga puluhan pelukis dan penyair melihat dari dekat aktivitas pabrik di PKT Bontang. Lalu bertemu 200-an nelayan di perkampungan atas laut Malahing hingga masuk hutan bakau di Bontang Mangrove Park, 4 sampai 8 Juni lalu. Berikut satu dari dua serial catatan Syafril Teha Noer dan Sunaryo Broto, peserta kegiatan itu.
SYAFRIL TEHA NOER, Samarinda
BUTET Kartaredjasa, Anda tentu tahu, adalah seniman “multidisiplin”. Selain aktor monolog, teater, dan film, juga perupa dan penulis. Tapi, meski dibidik kamera, kali ini dia bukan sedang berakting. Mengenakan jaket oranye yang diandaikannya sebagai rompi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dia benar-benar tengah menyimak proses produksi pupuk di bilik kendali operasi Pabrik 5 PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Bontang, Senin (6/6/2022).
“Bahan urea itu gas CO2 dan liquid NH3 dari pabrik amonia. Proses produksinya berlangsung di unit-unit sintesa, purifikasi, kritaliser, prilling, recovery, dan kondensat treatment,” jelas petugas di depannya.
Di unit sintesa NH3 dan gas CO2 direaksikan dalam reaktor urea, di mana disertakan larutan recycle karbamat dari unit recovery. Tekanan operasi di unit itu adalah 175 kg/cm2 G. Dari sini urea lantas dialirkan ke unit purifikasi, untuk menjalani pemisahan amonium karbonat dan kelebihan amonia lewat stripping CO2.
Amonium karbamat yang tidak terkonversi dan kelebihan amonia, beber petugas tadi, diurai dan pisahkan melalui tekanan dan pemanasan dua langkah. Yaitu 17 kg/cm2 G dan 22,2 kg/cm2 G. Hasil berupa gas CO2 dan NH3 dikirim ke unit recovery.
Turut menyimak penjelasan itu sejumlah nama beken, yang sebagaimana Butet, juga mengenakan jaket oranye –seragam bagi tamu PKT. Ada para pelukis; Nasirun, Jumaldi Alfi, Ong Hari Wahyu, Bambang Heras, Putu Sutawijaya, Erica Hesti Wahyuni, Lucia Hartini, F Sigit Santosa, Hari Budiono, Iqi Qoror, Iwan Yusuf, serta kurator Suwarno Wisetrotomo. Ada pula para penyair dan penulis; Joko Pinurbo, Hasan Aspahani, Putu Fajar Arcana, Triyanto Triwikromo, Ni Made Purnamasari, dan Inggit Putra Marga.
Para penyair dan pelukis itu datang dari Jakarta, Jogjakarta, Bandar Lampung, Semarang, Bali, Gorontalo, dan Surabaya. Untuk ke Bontang, pelukis Erica bahkan lebih dulu terbang dari Budapest, Hungaria. Bergabung bersama mereka para sejawat dari Kaltim; Andria Septy (Samarinda), Cadio Tarompo, Makian’y Wahid, Sophie Razak (Balikpapan), dan Sunaryo Broto (Bontang).
“Pupuk yang saya tahu berupa kristal-kristal. Mirip plastik atau kaca bening. Gimana bisa jadi begitu ya, Mas?” tanya salah seorang mereka. “Oh, itu dihasilkan lewat pemrosesan larutan urea di unit kristaliser,” jawab si petugas.
Pengkristalan yang dilakukan secara vacuum, dikeringkan sampai 99,8 persen berat dengan udara panas. Berikutnya dikirim ke prilling tower untuk dilelehkan dan didistribusikan ke distributor. Dari distributor dijatuhkan sambil didinginkan dengan udara. “Hasilnya adalah produk urea butiran (prill), yang dikirim ke bulk storage dengan belt conveyor,” tambahnya.
Bergerak dengan dua bus dari bilik kendali rombongan itu lantas melintas ke bagian demi bagian instalasi pabrik, sampai gudang urea curah, gudang bagging, dan dermaga yang sedang disandari kapal besar. Di situ mereka berpencar dan membuat sketsa-sketsa. Yang pelukis dengan goresan dan sapuan di kertas. Yang penyair dengan serenteng kata di layar gadget.
Lekuk-liku pabrik, dinamika interaktif manusia di sekitarnya, obrolan, senda gurau, yang hampir selalu berkesudahan dengan sketsa-sketsa gambar dan kata-kata di hampir semua objek yang dikunjungi.
Begitulah para pelukis-penyair melewati tiga hari riset dan observasi rangkaian PKT Menyapa Budaya (PMB), sampai Rabu (8/6/2022) malam. Dari perkara pupuk di bilik kendali tadi, hingga suguhan ikan bakar, udang, dan palumara di Bontang Kuala, malam sebelum kembali ke kota masing-masing.
Dari pabrik, mereka ke perkampungan atas laut Malahing sekitar 20 menitan “pelayaran” dengan speedboat dari dermaga PKT. Bersua dengan para nelayan asal Mamuju, Sulawesi Barat, menyaksikan anak-anak mereka menari, bermain di laut, dan memperagakan ketangkasan pencak silat, serta mencicipi suguhan dari olahan khas tangkapan nelayan.
Di sana berkah industri pupuk hadir dalam kehidupan 217 warga. Antara lain melalui bantuan unit-unit rumah, pasok air bersih, energi listrik tenaga surya, fasilitas pendidikan, kesehatan, modal kerja bagi pengolahan hasil laut, serta pendampingan budi daya rumput laut menjadi amplang, ceker, stick, sirup, snack kertas, kembang goyang, dan sabun.
Dari Malahing kembali ke darat. Berikutnya mereka ke Mangrove Telok Bangko, Makrifah Herbal, perkampungan adat Kutai di Guntung, Masjid Baiturrahman, Pura Buana Agung, dan Bontang Mangrove Park. Seperti di dermaga pupuk curah dan Malahing, di titik-titik kunjung itu pun lahir sketsa-sketsa gambar dan kata atau bahkan puisi jadi.
Diinisiasi Butet dan disambut direksi PKT program PMB dihasratkan sebagai reaksi kreatif atas anggapan dunia industri dan kebudayaan yang berjarak, saling memunggungi, bertolak belakang. Sementara manusia di dan sekitar jagat industri senantiasa perlu asupan pemikiran, ekspresi budaya, dan seni.
Direktur Utama PKT Rahmad Pribadi mengakui, pentingnya industri yang “ramah budaya” mengingat keperluan dasar manusia-manusia yang menggerakkannya. Itulah di antara sebab mengapa PKT mengundang para pelukis dan penyair ke Bontang. Ialah agar mereka dapat menghasilkan karya-karya hasil interaksi dengan dinamika di kota ini dalam karya-karya lukis dan puisi kelak.
Persinggungan PKT dengan seni-budaya sesungguhnya bukan baru kali ini terjadi. Di antara tonggak penting yang membuatnya beda dari umumnya industri di Tanah Air adalah sejumlah pertunjukan karya seniman ternama. Semisal Bagong Kussudiardja, Rendra, Amri Yahya, dan Sardono W Kusumo – (Ikuti tulisan kedua serial ini besok).
Sebagai model interaksi seniman dan industri PMB pun sebenarnya bukan yang pertama. Tahun 1970-an Pertamina mengundang sejumlah pelukis untuk melihat dan menghayati dari dekat kegiatan kilang-kilang minyak di berbagai sudut Indonesia. Mendengarkan apa yang terjadi, memperoleh informasi seputar peran industri bagi manusia Indonesia.
“Lalu lahirlah lukisan-lukisan yang secara tematik memberi nuansa baru pada konstelasi seni rupa Indonesia,” kata Butet. Industri jadi ambil peran. Tidak melulu berorientasi keuntungan finansial, melainkan juga terwarnai sentuhan budaya dan kemanusiaan. “Terbukti di kemudian hari karya-karya itu menjadi koleksi Pertamina yang sangat bernilai,” simpulnya.
Namun, rada berbeda dari yang dilakukan Pertamina dulu, Butet dan PKT melibatkan pula sastrawan. Karena itu, kegiatan ini kelak menghasilkan pula antologi. Review-nya dikerjakan oleh sastrawan Agus Noor.
Diperkirakan seratusan sketsa lahir dari keseluruhan rangkaian riset dan observasi PMB. Sebagian besar menjadi koleksi PKT, sebagian kecil menjelma menjadi tanda kasih sayang dan persahabatan, beredar di antara sesama peserta dan peninjau.
Hari-hari ini, di studio dan rumah masing-masing, para pelukis dan penyair menjalani kesibukan baru; menyiapkan lukisan dan puisi untuk pameran dan peluncuran antologi, Desember nanti. Melukis dan menulis semerdeka-merdekanya, sejujur-jujurnya, buah pertemuan dengan dinamika pabrik, alam, dan manusia-manusia di sekitarnya. (rom/k16)
*) Syafril Teha Noer adalah ketua Dewan Kesenian Daerah Kaltim
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: