SAMARINDA – Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim yang terpilih dalam pemilu 2018 memiliki segudang tugas di bidang ekonomi dan sosial. Pasalnya, saat ini kesenjangan ekonomi di Benua Etam terbilang cukup tinggi. Selain itu, terjun bebasnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akibat anjloknya harga batu bara, serta minyak dan gas (migas) menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dicarikan solusinya.
Catatan tersebut disampaikan Guru Besar Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), Mudrajad Kuncoro. Dia menjelaskan, jika dilihat dari sisi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, maka Kaltim tergolong salah satu daerah yang pendapatan per kapitanya sangat tinggi.
PDRB per kapita pada 2010 hanya berkisar di angka Rp 125,7 juta. Kemudian pada 2014 meningkat jadi Rp 157,2 juta. Namun akibat menurunnya PDRB Kaltim di 2015, maka PDRB per kapita juga turun menjadi Rp 146,5 juta.
“Mestinya semakin tinggi pendapatan per kapita, maka ketimpangan itu akan semakin menurun. Tapi di Kaltim, semakin tinggi pendapatan per kapita, ketimpangan semakin meningkat,” kata Mudrajad, Kamis (15/2) lalu.
Ketimpangan tersebut terjadi karena ‘berkah tersembunyi’ atau blessing in disguise dari pertumbuhan ekonomi Kaltim yang negatif. Misalnya 2015 angka pertumbuhan ekonomi Kaltim berada di angka minus 4,89 persen.
Pada 2016 trennya masih negatif di angka minus 0,38 persen. Kemudian meningkat di 2017 di angka 3,68 persen. “Pengangguran dan kemiskinan trennya memang menurun,” ungkapnya.
Tercatat penduduk pra sejahtera di Kaltim pada 2012 sebesar 29.229 orang. Kemudian meningkat tajam di angka 54.159 orang. Jika dibandingkan tingkat kemiskinan nasional, Kaltim memang jauh di bawah angka kemiskinan nasional yang mencapai 10,86 persen pada 2016.
Sedangkan angka kemiskinan di Kaltim berkisar di 6,11 persen. Kaltim masuk tiga besar daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Kalimantan. Di awali Kalimantan Barat yang mencapai 7,87 persen, Kalimantan Utara sebanyak 6,23 persen, Kalimantan Tengah sebanyak 5,66 persen, dan Kalimantan Selatan di angka 4,85 persen.
Dari sisi pengangguran, pada 2014 lalu Kaltim memiliki pengangguran sebanyak 7,38 persen. Tahun 2015 meningkat di angka 7,5 persen. Kemudian bertambah lagi 2017 di angka 7,95 persen.
“Apalagi jika dilihat Kaltim sebelumnya memiliki APBD di atas Rp 14 triliun, kemudian terjun bebas di bawah Rp 8 triliun. Ini semakin memperberat tugas gubernur terpilih nanti,” ungkapnya.
Karena itu, kata dia, siapa pun yang akan menjadi gubernur kelak harus kreatif, baik dari sisi pendapatan maupun pengalokasian anggaran. Caranya, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mendorong peningkatan pajak kendaraan bermotor.
“Ke depan Kaltim juga harus melihat sumber-sumber keuangan yang lain, misalnya revitalisasi perusahaan daerah (Perusda). Saya sudah masuk dalam tim untuk merancang reformasi Perusda di Kaltim,” bebernya.
Selain itu, ia mengingatkan, peningkatan pembangunan infrastruktur juga sangat diperlukan untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya jalan dan jembatan, tetapi juga infrastruktur ekonomi yang bisa menunjang peningkatan pendapatan per kapita dan regional.
“Jika infrastruktur merata, maka perekonomian Kaltim tidak terpusat di sebagian kabupaten atau kota tertentu, tetapi harus merata di seluruh wilayah Kaltim. Misalnya Mahakam Ulu yang masih tinggi kemiskinannya, gubernur berikutnya harus punya grand strategy mendorong percepatan pengentasan kemiskinan di sana,” tandasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: