Hauling batu bara di poros Samarinda-Bontang meresahkan. Selain merusak jalan, juga mengancam pengendara lain. Sayang, kepolisian dan pemerintah masih gamang menindak. Padahal, pelanggaran pidananya sudah jelas.
bontangpost.id – Hauling batu bara sebenarnya dilarang melintas di jalanan umum. Larangan itu dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit. Namun, Pemprov Kaltim tak bisa menindak. Lantaran kewenangan penegakan hukum di jalan nasional berada di kepolisian.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kaltim Arih Franata Filifus (AFF) Sembiring mengungkapkan terbitnya Perda 12/2012 yang diinisiasi Dishub Kaltim itu untuk merespons maraknya angkutan batu bara dan kelapa sawit yang menggunakan jalanan umum di poros Samarinda-Bontang. Namun, penegakan regulasi tersebut adalah kewenangan kepolisian.
Dalam perda tersebut telah menegaskan sanksi bagi kendaraan pengangkutan hasil tambang melalui jalan umum diancam pidana kurungan paling lama enam bulan. Atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta. “Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” katanya kepada Kaltim Post (induk bontangpost.id), Ahad (12/12).
Dia menambahkan, pada UU 22/2009 juga menerangkan kewenangan melakukan tindakan hukum terhadap kendaraan di jalanan umum adalah kepolisian. Sedangkan untuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) hanya sebatas membantu penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan di jalanan umum. Yang melakukan pengangkutan batu bara dan kelapa sawit. Dan tidak sesuai ketentuan. “Pelaksanaannya tetap harus ada pihak kepolisian. Jadi kewenangan Dishub terbatas sekali untuk penegakan di lapangan,” terang Sembiring.
Untuk menguatkan Perda 12/2012 tersebut, gubernur kala itu juga menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim Nomor 43 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit.
Di mana setiap perusahaan pertambangan batu bara dan perusahaan perkebunan kelapa sawit, wajib membangun prasarana jalan khusus. Kewajiban membuat jalan khusus tersebut termasuk pembuatan underpass atau flyover di persilangan/crossing jalan umum. Di mana pembuatan underpass atau flyover di persilangan/crossing dilakukan setelah mendapat pertimbangan teknis dari instansi terkait dan sesuai ketentuan.
Namun, instruksi tersebut tidak dipatuhi oleh semua perusahaan tambang batu bara maupun sawit di Kaltim. Sebab, kembali lagi, kewenangan untuk menindak kendaraan pengangkut batu bara maupun sawit berada di kepolisian.
“Kami sudah beberapa kali rapat koordinasi. Yang salah satunya membahas ini. Dan memang, sulit penegakan hukum dilakukan. Kalau tidak bisa tegas. Saya enggak tahu, kenapa tidak bisa tegas penegakan hukumnya. Semoga, ini hanya soal waktu,” katanya.
Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Kaltim Kombes Singgamata tak banyak berkomentar mengenai kewenangan penindakan kendaraan pengangkut batu bara maupun sawit, yang diduga menjadi penyebab kerusakan jalan di Kaltim.
Pria berpangkat melati tiga di pundaknya itu, hanya menjawab hingga saat ini belum ada laporan dari pihak terkait mengenai hal tersebut. “Belum ada laporan. Jalan rusak seharusnya segera diperbaiki oleh (Kementerian) PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Karena itu jalan nasional. Dengan kualitas jalan yang layak dan kuat,” kata dia, singkat.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno berpendapat seharusnya pihak kepolisian lebih proaktif melakukan penindakan terhadap kendaraan pengangkut batu bara dan sawit. Yang ditengarai menjadi penyebab utama kerusakan jalan nasional di Kaltim. Di mana kewenangan penindakan di jalanan umum ada di pihak kepolisian. “Apakah pihak kepolisian setempat sudah melakukan itu? Saya rasa belum. Padahal itu menjadi kewenangan mereka,” kritiknya.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu sempat berkunjung dan menyaksikan langsung rusaknya jalan nasional di Kaltim. sekitar tahun 2018 lalu, dia sempat ke Kutai Timur (Kutim). Dan mendapatkan fakta bahwa jalanan umum di sana rusak akibat kendaraan pengangkut sawit.
Dishub setempat pun sempat mengusulkan memasang jembatan timbang. Namun, hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Akhirnya, perusahaan sawit yang biasa menggunakan jalanan umum itu diharuskan memperbaiki jalanan tersebut. Namun, setelah diperbaiki, yang memperbolehkan jalanan tersebut dilintasi kendaraan pengangkut sawit adalah pihak kepolisian.
Padahal menurutnya, pihak kepolisian tidak mengetahui teknis mengenai struktur jalan. Dan kondisi itu, disebutnya tidak hanya terjadi di Kalimantan. Tetapi, banyak terjadi juga di Jawa. “Makanya, kewenangan di UU 22/2009 itu harus diubah. Saya sudah usulkan wewenang penegakan hukum di jalan tidak hanya polisi. Tapi juga PPNS Dishub atau Kemenhub (Kementerian Perhubungan),” ungkap Djoko.
Usulan agar PPNS Dishub maupun Kemenhub memiliki kewenangan penindakan pada jalanan umum disampaikan dalam revisi UU 22/2009 yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
Kepolisian menurutnya, selalu beralasan keterbatasan personel di lapangan saat hendak melakukan penindakan. “Kalau memang alasannya kekurangan SDM (sumber daya manusia), maka bisa dibantu PPNS,” ujar dia.
Djoko menambahkan, keterlibatan PPNS dalam penindakan ini, seperti yang dilakukan PPNS Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pada Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Putusan MK tersebut memberikan kewenangan bagi PPNS sebagai penyidik pidana asal untuk menyidik tindak pidana pencucian uang. Jadi PPNS boleh melakukan penyelidikan sampai berita acara untuk tindak pidana pencucian uang. Karena sebelumnya PPNS hanya meneruskan ke kepolisian dan kejaksaan.
“Entah diteruskan atau tidak. Itu, juga bisa dilakukan untuk penindakan di jalan. Apalagi, banyak APBN yang dihabiskan untuk membangun dan membenahi jalan nasional yang rusak,” ucapnya.
Diwartakan sebelumnya, jalan Samarinda-Bontang banyak ditemukan lubang. Bahkan ada pula sejumlah titik mengalami kerusakan parah. Sedangkan di titik lain juga ditemukan aspal yang terkelupas. Di kawasan Tanah Datar, Marangkayu di Kutai Kartanegara hingga kawasan Gunung Menangis terdapat banyak tambang batu bara tak jauh dari jalan poros.
Diduga keberadaan tambang itu jadi salah satu penyebab kerusakan jalan. Itu juga dibuktikan dengan adanya truk hauling batu bara di poros Samarinda-Bontang. Muatan kendaraan melebihi kekuatan jalan jadi pemicu jalan lebih cepat rusak. (kip/rom/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post