Pola belajar daring tidak teraplikasi dengan baik di beberapa tempat. Ada guru yang berjuang menutupi celahnya, seperti yang dilakukan Nanang Nuryanto.
EDWIN AGUSTYAN, Marangkayu
Rambut Aditya Darmawan (13) tersisir rapi ke sebelah kanan. Klimis. Dia berdiri di muka pintu. Dengan senyum simpul murid kelas 5 itu menyambut Nanang Nuryanto. Wali kelasnya di SD 021 Marangkayu.
Di dekat kasur tergulung yang diletakkan di pojok rumah panggung itu, Nanang melepaskan tasnya. Enam gelas plastik berisi air dijejer. Aditya menyimak dengan seksama. “Hari ini kita belajar IPA, ya, Tema 9 Bab I. Tentang campuran homogen dan heterogen,” katanya kepada Aditya, kemarin (1/5) pukul 09.15.
Kopi, tepung, gula, garam, minyak, dan sabun cair, yang dibungkus plastik diambil satu per satu. Aditya diminta untuk memasukkan masing-masing benda itu ke dalam gelas. “Coba diaduk. Lihat cairan mana saja yang bercampur dan tidak,” pintanya.
Selama 30 menit, Nanang dengan telaten mengajar Aditya. Mulai dari teori sampai praktik. Pria ramah senyum itu juga meminta anak keempat dari lima bersaudara itu mempresentasikan apa yang sudah diajarkan. Semua dengan tetap menerapkan physical distancing. Dan memakai masker.
Di kelas 5, keseluruhan ada 22 murid. Aditya merupakan salah satu dari 10 murid Nanang yang tidak bisa mengikuti pembelajaran sistem daring. Metode itu diberlakukan sejak masa pandemi. Setelah seluruh sekolah diliburkan.
Telepon genggam yang menjadi syarat utama untuk bisa mengikuti metode itu merupakan barang mewah bagi Aditya. Hermin (43), sang ibu, yang penjaga salah satu toko di Samarinda belum bisa membelikannya.
“Bapaknya sudah tidak ada (meninggal). Saya memang punya handphone, tapi lebih sering di Samarinda. Tidak bisa mendampingi belajar,” terang Hermin.
Solusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan pembelajaran melalui stasiun TVRI pun tak bisa dilakoni Aditya. Televisi di rumahnya seolah hanya menjadi penghias. Tidak ada saluran yang bisa ditangkap.
Kondisi itu menggerakkan Nanang untuk mencari solusi sendiri. Agar muridnya tidak ketinggalan pelajaran. Dia sangat paham bahwa orangtua murid tidak semua berada. Sebagian besar adalah petani atau berkebun.
Kalaupun ada handphone, mereka kesulitan membeli paket data. Lebih memikirkan apa yang bisa dimakan besok,” ucapnya lirih.
Untuk memudahkan, Nanang membuat modul bagi murid yang tetap belajar tatap muka. Bahan pembelajaran sama dengan murid yang belajar melalui daring. Sampul modul memuat terkait bahaya virus corona. “Tidak ada murid yang saya bedakan. Saya tidak mau ada ketimpangan pembelajaran,” jelasnya.
Setiap hari, satu sampai dua murid disambangi. Jarak yang cukup jauh membuatnya tidak bisa sekaligus mendatangi anak didiknya. Untuk ke rumah Aditya di RT 12, Desa Santan Ulu, Marangkayu, Km 24, Jalan Poros Bontang-Samarinda, misalnya. Dia harus berkendara sekitar tiga kilometer. Melewati dua jembatan kayu. Jalan cor semen. “Kalau saya tinggal di RT 07,” katanya.
Setelah dari rumah Aditya, Nanang mengarahkan kendaraannya ke kediaman Wicaksono Aji Setiawan (11). Masih di Desa Santan Ulu. Kaltim Post yang sejak dari rumah Aditya sudah mengikuti proses pembelajaran turut ikut. Kendaraan tidak bisa masuk hingga depan rumah Aji, yang berada di tengah kebun. Apalagi sedang becek, akibat baru diguyur hujan.
Sebenarnya, Aji sudah mengikuti pembelajaran sistem daring. Caranya, bahan pelajaran dan soal dikirim melalui WhatsApp. Setiap hari satu mata pelajaran.
Namun, ada yang mengganjal lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unmul itu. Jawaban yang dikirim Aji. Juga melalui WhatsApp. Ada kekeliruan. “Jika saya biarkan bisa menyulitkan murid. Bisa fatal. Makanya harus saya datangi. Tidak bisa kalau menjelaskan lewat telepon,” tutur alumnus SMA Yabis Bontang ini.
Kepada Aji, Nanang juga mengajarkan tentang campuran homogen dan heterogen. Minyak, sabun cair, dan air dimasukkan ke gelas kaca. “Kenapa tidak bercampur,” tanya Nanang, yang dijawab Aji, “Karena minyak takut air, Pak.” Jawaban yang membuat ibunya, Windari (35), dan Nanang tertawa.
Cairan tersebut kemudian diaduk Aji. Hasilnya, menjadi warna kehijauan. “Sekarang minyaknya di mana?” tanya Nanang. “Dimakan air, Pak,” seloroh Aji.
Guru yang mulai mengabdi pada 2003 itu tidak ingin membebankan anak didiknya dengan tugas. Jika satu soal belum dikerjakan, dia tidak memberikan soal lain. “Saya mengerti bahwa tidak semua orangtua memiliki banyak waktu mendampingi anaknya. Mereka lebih banyak berkebun,” ungkapnya.
Jika ada murid yang belum terlalu paham, dia bakal lebih sering mendatangi. Itu dilakukan guru yang diangkat menjadi PNS pada 2008 tersebut dengan inisiatif sendiri. Sejak empat pekan lalu. Sempat istirahat sepekan, karena kesehatannya menurun. “Semoga kondisi ini bisa segera berakhir. Agar anak bisa sekolah seperti biasa,” pungkasnya. (*)
[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=ojaVwMT5p1g[/embedyt]
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post