PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Kaltim melalui Dinas Perhubungan (Dishub) memediasi pertemuan antara Pemerintah Kukar, kelompok nelayan, dan perwakilan perusahaan batu bara, di Kantor Gubernur Kaltim, Jumat (9/3) kemarin. Pertemuan tersebut membahas tuntutan nelayan yang meminta kompensasi dari perusahaan batu bara.
Ribuan nelayan meminta kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan dari aktivitas pengangkutan batu bara di perairan Muara Badak Ilir Kukar. Kerugian timbul karena cahaya kapal pengangkut batu bara lebih besar ketimbang cahaya kapal nelayan. Sehingga, ikan yang hendak ditangkap nelayan banyak yang berkerumun di kapal pengangkut batu bara.
Namun hasil negosiasi tak menemukan titik terang. Karena perusahaan hanya bersedia menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR) untuk memenuhi tuntutan nelayan. Sementara nelayan meminta kompensasi sesuai kerugian yang ditimbulkan selama perusahaan beroperasi.
Perwakilan Tim Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Kaltim, Muhammad Habib Hanzah mengatakan, perusahaan tidak bisa memenuhi permintaan kompensasi dari nelayan. Karena lokasi yang digunakan untuk pengangkutan batu bara tergolong wilayah publik.
“Jika wilayah laut itu masuk lahan konsesi atau milik badan hukum, bisa saja kami memberikan kompensasi. Tetapi karena ruang publik, tidak bisa diklaim ada kerugian yang ditimbulkan dari aktivitas kami,” kata Hanzah.
Ia menegaskan, apabila nelayan masih tetap menuntut perusahaan memberikan kompensasi, maka mediasi akan tetap berakhir buntu. Karena tidak ada payung hukum yang mengharuskan perusahaan memberikan kompensasi pada nelayan.
“Bisa panjang mediasinya, tidak bisa selesai sampai di sini. Perusahaan dan nelayan akan terus berdebat, tidak akan ada solusi,” ujarnya.
Karena itu, dirinya menawarkan nelayan agar menerima tawaran perusahaan yang memberikan bantuan melalui CSR. Pasalnya, CSR bisa direalisasikan tanpa melewati proses penelitian dan penyidikan atas kerugian yang ditimbulkan di balik aktivitas pengangkutan batu bara.
“Kami sangat prihatin dengan masyarakat. Atas dasar itu pula kami bersedia membantu mereka. Bukan kompensasi yang kami berikan, tapi CSR. Melalui CSR ini, nelayan dan perusahaan bisa bernegosiasi, apa yang harus ditunaikan perusahaan,” tutupnya.
Perwakilan Nelayan Muara Badak, Amiruddin menyebut, pada Juli 2017 lalu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar menggandeng Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Universitas berplat merah itu meneliti sejumlah kerugian yang ditimbulkan karena aktivitas pengangkutan batu bara di perairan Muara Badak Ilir.
“Berdasarkan penelitian itu, lokasi yang biasanya digunakan nelayan menangkap ikan, tidak lagi bisa digunakan karena sudah tercemar. Apakah dasar ini kurang kuat bagi perusahaan? Sudah jelas ada kerugian di sini,” tegasnya.
Atas dasar itu, dirinya beserta ribuan nelayan Muara Badak akan tetap meminta perusahaan agar memberikan kompensasi. Pasalnya, aktivitas perusahaan sudah menurunkan hasil tangkapan ikan nelayan.
“Kami akan tetap bertahan dengan tuntutan itu. Tidak akan ada perubahan. Bila tidak dipenuhi, kami minta kegiatan pengangkutan batu bara di Muara Badak Ilir dihentikan. Jika tetap tidak direalisasikan, akan ada gejolak di sana,” ujarnya.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Kukar, Dadang S Supriatman menegaskan, nelayan telah menanggung beban atas aktivitas pengangkutan batu bara di Muara Badak Ilir. Sehingga timbul kerugian karena pendapatan nelayan setiap tahun kian merosot.
“Nelayan menurun hasil tangkapannya karena cahaya kapal pengangkut batu bara lebih besar. Inilah yang harus dicarikan solusinya. Harus ada win-win solution antara perusahaan dan nelayan,” katanya.
Ia meminta perusahaan agar merealisasikan tuntutan kompensasi dari nelayan. “Dasar hukumnya sudah jelas ada di peraturan daerah. Nilai kompensasi itu lebih ringan, karena hanya negosiasi antara perusahaan dan nelayan,” sebutnya. (*/um)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini: