BALIKPAPAN – Cerdas dan blak-blakan. Itulah kalimat yang tepat saat para peserta memaparkan pemikiran mereka di Rembuk Etam yang mengambil tema “Bergelimang Politik Uang”. Berlokasi di Hotel Blue Sky, Selasa (9/4), diskusi apik menyikapi praktik politik uang jelang pemilu ditampilkan. Menghadirkan puluhan tokoh ternama. Dari pusat hingga daerah.
Pemukulan gong dari Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi mengawali diskusi. Sebelumnya, Rizal memberikan sambutan. Menyebut Rembuk Etam sebagai wadah melahirkan pemikiran baru untuk mencapai solusi. Para peserta diajak menguraikan permasalahan praktik kotor yang menurutnya sebagai fakta yang sulit diungkap.
“Saat ini, ada anggapan hanya mereka yang berduit yang berkuasa. Itulah faktanya,” ungkap Rizal.
Sebab itu, pendidikan politik menjadi hal penting. Dengan begitu, demokrasi di Indonesia bisa lebih jernih. Upayanya selaku pemimpin sering disampaikan dalam berbagai pertemuan dengan masyarakat. Pesannya, jangan membebani calon legislatif (caleg) dengan permintaan yang bersifat keuntungan sesaat.
“Sampai ada caleg yang takut untuk turun ke masyarakat. Ke pengajian ibu-ibu misalnya. Berat. Banyak permintaan tapi belum tentu memilih. Bahkan minta juga ke caleg yang lain. Ini kan bahaya tentang integritas pengajian,” bebernya.
Apalagi dalam masa tenang hingga pencoblosan. Indikasi bagi-bagi uang untuk memilih calon tertentu bakal semakin memanas. Istilahnya ‘serangan fajar’. Rizal menyebut kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab dirinya gagal dalam Pilgub 2018 lalu.
“Terus terang kami tak bisa membendung ‘serangan fajar’ itu. Ini fakta yang tak bisa dielakkan,” ujarnya.
Tujuan Rembuk Etam salah satunya untuk mengubah persepsi di masyarakat. Menjadi bahan kajian bersama. Baik dari peserta maupun lembaga penyelenggara dan penindakan pelanggaran pemilu. Sebuah nilai positif sebenarnya bisa diambil ketika masyarakat yang menyumbangkan uangnya untuk caleg pilihannya.
“Ada masyarakat yang justru membiayai calonnya. Ini kan baik. Jadi caleg tidak terbebani,” sebutnya.
Dipandu moderator Wiji Winarko, Rembuk Etam lantas dibuka dengan pemaparan dari mantan Wali Kota Bontang Andi Sofyan Hasdam. Sebagai salah satu caleg yang maju di DPR RI, dirinya mengapresiasi diskusi yang diadakan Kaltim Post ini. Sebab, mampu menyuarakan kegelisahan pihak-pihak yang menginginkan pemilu jujur dan adil.
“Saya masih ingat. Jam tiga subuh saat pilgub lalu, saya menerima telepon dari tim di Balikpapan. Dia bilang terjadi ‘serangan’ terang-terangan. Saya bilang ikhlas saja. Itu fakta,” sebut Sofyan.
Pada Pemilu 2019 ini pun dirinya mendapati kondisi serupa. Saat menemui seorang kenalan ketua RT di salah satu kota. Menyebut banyak warga yang sudah menentukan pilihan setelah didatangi caleg. Namun, menawarkan sisa 40 warganya untuk mau memilih dirinya.
“Jadi, betul-betul dia (oknum ketua RT) ini memperdagangkan suara warganya,” ucapnya miris.
Menurut Sofyan, sistem pemilu di Indonesia cenderung dikuasai kapitalisme. Politik uang dilakukan secara terang-terangan. Bahkan menggunakan sistem paket memilih. Rp 500 ribu adalah nominal yang standar diberikan ke pemilih untuk mencoblos calon tertentu.
“Jadi, mohon maaf kepada Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Jangan hanya mengejar izin-izin kampanye caleg saja,” kata Sofyan.
Menyambung Sofyan, caleg petahana dan anggota DPRD Kaltim Muhammad Adam juga ingin Bawaslu lebih punya kemampuan. Pria berdarah Sulawesi Selatan itu menyebut politik uang seperti hantu. Disebut ada namun tak terlihat bentuknya. Menjadi tugas lembaga pengawas pemilu untuk mengungkapnya.
“Ini sebenarnya panggung bagi Panwaslu atau Bawaslu. Menjadi bintang di saat kondisi pemilu seperti ini,” ujar Adam yang kini maju kembali sebagai caleg DPRD Kaltim.
Tidak hanya menjadi tugas KPU mengedukasi masyarakat tentang pemilu yang bebas dari praktik uang, caleg juga bisa memanfaatkan panggung politiknya untuk membuktikan langsung bagaimana masih banyak caleg yang bersih dan tak ingin mengotori tangannya agar bisa duduk di kursi parlemen.
“Mari kawan-kawan, jangan justru jadi aktor (yang berpolitik uang). Berikan pemahaman kepada masyarakat jika ada konsekuensi hukum bagi pelaku money politic,” ungkapnya.
Menurutnya, satu suara bukan lagi perkara uang Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu. Namun, menentukan nilai anggaran yang seharusnya menjadi hak suatu daerah. Angkanya bisa miliaran. Jika yang terpilih menjadi wakil rakyat adalah mereka yang melakukan politik uang maka ada kemungkinan perjuangannya bukan untuk masyarakat.
“Ketika konstituennya menelepon dia bisa dengan enteng menjawab ‘maaf saya sudah membeli suara Ibu’. Jadi, gugur kewajibannya untuk memperjuangkan anggaran pembangunan untuk konstituennya itu,” paparnya.
Anggota DPR RI Ihwan Datu Adam juga merasakan betapa hebatnya politik uang mampu menyingkirkan calon pemimpin dan wakil rakyat yang punya kapabilitas. Mantan wakil bupati Penajam Paser Utara (PPU) itu bahkan menyebut ada praktik adu domba yang dilakukan oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi jelang pemilu.
“Caleg ini juga korban. Diadu jika tidak menggunakan money politic maka akan kalah dengan caleg yang menggunakan money politic,” kata caleg DPR RI itu.
Menurutnya, caleg yang berpolitik uang adalah yang tak percaya diri. Dan sudah pasti tidak amanah. Sebab itu, pendidikan politik memang harus dijalankan semua pihak. Di samping itu, penegakan hukum juga dilakukan lembaga berwenang. Sebagai pembelajaran bagi masyarakat.
“Malu dan prihatin jika money politic. Tegaskan kepada pemilih. Bermain politik uang itu bisa dipidana hingga dua tahun penjara,” ujarnya.
Politik uang memang sering terjadi setiap pemilu. Apalagi pada pemilihan legislatif (Pileg). Angkanya meningkat hingga 85 persen. Bahkan kecenderungan masyarakat menemukan praktik ini bisa mencapai lebih dari 50 persen. Sebab itu perlu partisipasi juga dari pemilih untuk membuktikannya.
“Bawaslu juga jangan beralasan kekurangan bukti. Datang langsung ke masyarakat. Harus ada penegakan hukum sebagai efek jera,” sebutnya.
Tidak semua masyarakat menjual harga dirinya dalam ‘serangan fajar’. Yang menerima pun karena alasan perut. Sebab itu perhatian juga harus diarahkan kepada pemerintah daerah. Kaltim yang kaya sumber daya alam harus bisa mengatasi pengangguran dan rakyat miskin. Di sanalah akar masalah sebenarnya.
“Jika ada masyarakat tak mampu, harusnya dikelola. Dengan membuat proposal bantuan atas nama kelompok. Misalnya kelompok tani atau nelayan. Jadi, manfaatnya lebih dirasakan bersama,” ujarnya.
Mantan ketua DPRD Balikpapan dan caleg DPRD Kaltim Andi Burhanuddin Solong menyebut, bahwa politik uang terjadi sebagai bentuk bisikan setan. Pelakunya merupakan karakter yang hanya mencari popularitas lewat kursi perwakilan rakyat. Ketika sudah duduk, maka kekuasaan hanya digunakan untuk merampok hak rakyat.
“Sebab itu, selama saya duduk sebagai ketua DPRD Balikpapan, saya haramkan politik uang,” tegas pria yang akrab disapa ABS itu menggelora.
Menjadi tanggung jawab moral bagi setiap caleg untuk bisa bersikap. Aspirasi yang terselubung dengan iming-iming harus disingkirkan. Dirinya pun menantang Kaltim Post untuk lebih meninjau sisi hukum dan pidana dalam setiap pemberitaannya.
“Baik yang menyuap atau yang disuap. Bawaslu juga harus tegas sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jika terbukti politik uang, seorang caleg meski sudah terpilih maka digugurkan,” sebut ABS.
Sementara menurut anggota DPRD Balikpapan Andi Arif Agung, politik uang seperti kentut. Ada baunya namun tidak terlihat. Namun, harus dibedakan antara cost politic dengan money politic. Setiap caleg pasti dalam prosesnya mengeluarkan cost politic. Namun, dia sedih jika ada anggapan seolah ada transaksi permintaan dan penawaran.
“Akhirnya menyalahkan masyarakat. Padahal di grass root itu masyarakat hanya ingin caleg turun menyapa mereka. Namun, jujur dari 450 caleg Balikpapan, berapa yang hanya turun silaturahmi,” ungkapnya.
Pengalamannya selama turun ke masyarakat, banyak yang menyebut adanya oknum caleg khususnya yang sudah duduk di kursi parlemen hanya perhatian jelang pemilu. Sebab itu mereka bersikap apatis. Petahana harus menengok ke belakang bagaimana sikap mereka sebelum dan sesudah menjadi wakil rakyat.
“Akhirnya pertanyaannya ada dua. Mengapa baru datang pas dekat pemilu. Lalu apakah nanti datang lagi kalau terpilih,” ujarnya.
Bagi petahana pula bisa merenungkan kinerjanya selama menjabat. Ibarat musim semi dan musim gugur. Rapor wakil rakyat yang ada saat ini akan tampak setelah hasil pileg keluar. Terlepas dari praktik politik uang atau tidak, patut disadari masyarakat secara langsung melihat bagaimana sosok wakil rakyat yang pernah dipilihnya.
“Sepele saja. Masyarakat hanya ingin disapa. Banyak cerita di kampung-kampung, mereka yang sudah jadi (wakil rakyat) begitu lewat, jangankan menyapa. Buka kaca jendela saja tidak. Bagaimana mau dipilih kembali,” beber caleg petahana DPRD Balikpapan itu.
Calon anggota DPD RI Piatur Pangaribuan lebih fokus bagaimana peran rendahnya tingkat pendidikan sejalan dengan maraknya praktik uang. Secara teori, pemilih dengan pendidikan tinggi tak akan terpengaruh dengan suap untuk meraih suara. Namun, dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, hanya 16 persen penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga bangku kuliah.
“Sementara separuh penduduk Indonesia itu berlatar pendidikan setingkat SMP bahkan tak tersentuh pendidikan,” ungkap Rektor Universitas Balikpapan itu.
Sejalur dengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan di Indonesia juga memengaruhi mengapa politik uang sulit dihilangkan. Sebab, motivasinya ekonomi, pemilih dengan senang hati menerima bahkan mengharapkan imbalan dari caleg. Sebab itu upaya pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan pendidikan.
“Sadar tidak sadar bahwa gaya zaman penjajahan Belanda diterapkan saat ini. Membiarkan masyarakat bodoh. Sebab itu, ini tanggung jawab bersama,” sebutnya.
Caleg DPR RI Erwin Izharuddin yang baru tahun ini ikut berkompetisi juga mengakui betapa praktik politik begitu masif di masyarakat. Dirinya yang sudah datang sosialisasi ke 350 titik di Kaltim kerap diadang dengan pertanyaan dari calon pemilih.
“Pak mana amplopnya. Saya kasih tapi mereka marah. Sebab, yang saya berikan amplop kosong,” ujarnya.
Indonesia menurut survei Eurasia berada di nomor tiga tertinggi praktik politik uang. Dan sesuai kesaksian, ‘serangan fajar’ menjadi efektif untuk meraih suara calon pemilih. Ini diperkuat dari data yang diperolehnya dari tim pemenangan di pemilihan presiden. Di mana dari 100 orang pemilih, 30 orang akan memilih peserta pemilu yang memberikan uang.
“Ini data dan fakta. Dan ini berbahaya,” katanya.
Dirinya mengaku sudah tiga kali masuk ke rumah sakit karena kelelahan berkampanye ingin membuktikan. Apakah dengan sikap jujur bisa mengalahkan mereka yang bermain politik uang. “Mana yang menang. Sosialisasi murni dengan politik uang,” ujarnya.
Caleg DPRD Balikpapan Krishna Galih Mahendra Putra yang juga baru terjun di dunia politik dikejutkan ketika baru melakukan sosialisasi sudah ditodong oleh calon pemilih. Selama ini, dia berpikir kondisi ini hanya isu belaka. Namun, kondisi menyatakan sebaliknya.
“Saya seperti masuk ke kandang singa. Belum apa-apa sudah tanya berapa Pak,” kata Khrisna.
Ada kondisi di mana caleg baru seperti dirinya dipaksa mengikuti pola lama. Praktik culas yang pernah dilakukan dalam pemilu sebelumnya. Aturan dari penyelenggara dan pengawas pemilu juga membatasi sosialisasi melalui media massa. Padahal itu adalah salah satu cara untuk mengedukasi publik secara efektif.
Dia ingin caleg punya komitmen bersama. Menghindari praktik politik uang dalam setiap sosialisasi ke masyarakat. Diganti dengan edukasi politik yang benar agar masyarakat sadar. Menginginkan pemimpin yang bersih harus dimulai dari pemilih yang bersih pula.
“Banyak yang harus diperbaiki jika ingin demokrasi di Indonesia sempurna. Langkah awal membuat warga cerdas,” sebutnya.
Peserta Rembuk Etam tak hanya dari caleg. Mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Balikpapan dan pengusaha Gatot Koco juga memberikan komentarnya. Pernah masuk dalam pusaran politik, dia menyebut merasakan gejolak yang luar biasa. Yang mengusik hati nuraninya sebagai seorang yang menjunjung tinggi idealisme.
“Dan saat ini perkembangan politik sangat luar biasa,” kata Gatot.
Dari sisi pengusaha, terlibat dalam politik merupakan pilihan. Jika tidak ingin terlibat di dalamnya, maka bisa membantu calon yang punya kans yang lebih besar untuk menang. Efeknya pada level tertentu seperti pilpres bisa menguntungkan. Karena bersentuhan langsung dengan proses pembangunan.
“Pengusaha itu petarung,” ujar Gatot.
Perkara saat ini bukan persoalan politik uang. Mengambil bukti dari survei yang dilakukan tim riset Kaltim Post, Gatot menyebut pemilih saat ini sudah cerdas. Meskipun sudah disogok dengan uang untuk memilih calon tertentu, pada akhirnya uang tersebut tak menentukan pilihan orang tersebut.
“Masalahnya sekarang pada caleg-nya,” ucapnya.
Dirinya pernah menanyakan langsung kepada rekan-rekannya yang sedang menjadi caleg. Baik yang kaya hingga yang pas-pasan. Jawaban miris yang diperoleh. Misal seorang rekannya hanya ingin jadi caleg karena hanya ingin merasakan bagaimana rasanya duduk di kursi parlemen.
“Juga alasan hanya karena ingin dipandang. Ini ke mana otaknya,” sebutnya.
Tokoh masyarakat Achdian Noor menyebut, untuk melahirkan seorang pemimpin harus dilalui secara alami. Seperti metamorfosis kupu-kupu tanpa ada paksaan menggunakan cara curang seperti politik uang. Sehingga saat terbang membawa kebaikan.
“Dalam Islam itu rahmatan lil alamin. Pemimpin yang ikhlas membangun. Seperti Presiden Ir Soekarno,” sebutnya.
Pemimpin harus memiliki empati dan rasa. Sering tegur sapa dengan masyarakat. Dengan peduli, masyarakat akan memilih calon pemimpinnya tanpa harus dikotori politik uang. “Makanya doakan yang terbaik. Kalau memang pemimpin ini zalim, maka singkirkan. Jangan sampai masyarakat Kaltim diakal-akalin. Serahkan ke alam semesta,” ujarnya. (rdh/rom/k15)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post