Opini: Hilarius Bryan Pahalatua Simbolon
Pilkada 2020 menjadi kontestasi yang penuh misteri dan kontroversi. Isu utama yang menjadi catatan besar dari banyak pihak adalah persoalan penanganan Covid-19 dan kepentingan sirkulasi elit di tingkat atas. Menurut data, tren kenaikan di Indonesia per 4 Oktober 2020 terdapat penambahan kasus sebesar 3.992 kasus terkonfirmasi positif dan total yang meninggal sebesar 11.151 jiwa (Kemenkes, 2020).
Sementara, di sisi lain Pemerintah bersama DPR sudah memutuskan untuk tetap melanjutkan rangkaian Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah di Indonesia berdasarkan Perppu 2/2020 tentang Pilkada.
Situasi ini menjadi rumit dan menimbulkan perdebatan yang sengit. Dari pihak pemerintah misalnya yang pro terhadap keberlanjutan Pilkada ini, merasa tidak ada jaminan kepastian wabah pandemi ini akan berakhir. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkret untuk agenda demokrasi selanjutnya.
Contohnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang mengatakan bahwa jika Pilkada ini ditunda ke 2021 apakah ada jaminan wabah ini juga sudah berakhir. Maka menurutnya, perlu tetap dilakukan skema optimis tersebut dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan berkaca dari negara lain yang dianggapnya berhasil melaksanakan Pemilu di tengah pandemi, seperti Korea Selatan dan Perancis.
Argumen yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh perwakilan Komisi II DPR RI yang menjamin bahwa seluruh keputusan ini sudah berdasarkan pertimbangan yang matang dan menampung segala kritikan atau resiko yang ada dengan tetap memastikan semua berjalan sesuai protokol kesehatan (Kompas.com, 2020).
Namun, gelombang penolakan banyak hadir di masyarakat. Contohnya dari Komnas HAM yang mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Menurut mereka, sangat jelas data di lapangan menunjukkan banyak sekali pelanggaran protokol kesehatan dan sangat berpotensi tidak menjamin keselamatan masyarakat terutama dengan dibuktikan banyaknya penyelenggara serta peserta Pilkada yang terinfeksi virus.
Selain itu, hal yang sama disampaikan oleh Perludem yang mengganggap bahwa pelaksanaan Pilkada kali ini sangat jauh dari kata ‘patuh’ protokol kesehatan. Buktinya ketika pendaftaran di KPU setempat banyak paslon yang justru melakukan konvoi yang diiringi kerumunan massa yang ramai. Fakta ini didukung oleh data Bawaslu yang mencatat 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam proses pendaftaran bakal paslon kepala daerah yang lalu (BBC Indonesia, 2020).
Berdasarkan data, menurut survei dari Polmatrix Indonesia, hasilnya 72,4 persen responden memilih untuk menunda Pilkada serentak, lalu 12,1 persen memilih penundaan dilakukan di daerah yang zona merah. Sementara 10,6 persen menjawab untuk tetap melanjutkan dan 4,9 persen tidak tahu/tidak jawab.
Survei ini dilakukan kepada 2.000 responden yang mewakili seluruh provinsi di Indonesia (Tempo.co, 2020). Salah satu alasan terbesar gelombang penundaan/penolakan begitu besar karena dengan adanya kerumunan massa saat kampanye atau ketika pemilihan dikhawatirkan akan menimbulkan klaster baru Covid-19.
Pro dan kontra ini menurut saya menyiratkan suatu fenomena bahwa terjadi perdebatan antara kepentingan elit untuk proses sirkulasi kekuasaan yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat sipil untuk penanganan dan keselamatan di masa krisis kesehatan saat ini.
Sejak awal sebenarnya keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada memiliki konsekuensi besar dibaliknya, yaitu dari sisi regulasi, anggaran, proses tahapan, pengawasan protokol kesehatan, hingga jaminan kesehatan seluruh masyarakat. Bahkan, ketika tren angka terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat banyak pihak yang merasa bahwa keputusan ini begitu menyiratkan kepentingan tertentu.
Misalnya saja, ketika beberapa pihak merasa pertandingan Liga 1 2020 bisa ditunda, PON 2020 bisa ditunda, tetapi kenapa agenda Pilkada 2020 ini sulit sekali untuk ditunda. Bagi saya, ini menjadi pertanyaan besar untuk keberlanjutan ke depan. Saya mengutip pesan menarik dari Presiden Jokowi yang menekankan soal ‘sense of crisis’, tetapi setelah begitu banyak kontroversi justru saya merasa situasi saat ini begitu politis dari berbagai keputusan yang diambil. Sehingga menjadi pertanyaan besar kemudian apakah ini soal ‘sense of crisis’ atau ‘sense of politics’.
Pilkada memang menjadi ajang untuk rakyat menggunakan kedaulatannya. Kedaulatan tersebut sangat terjamin dalam konteks demokrasi. Namun, saya ingin mengutip salah satu pandangan seorang ahli soal kualitas demokrasi yang berkaitan juga pada Pilkada. Menurut O’Donnel, komponen penting bahkan sangat dasar dari demokrasi, yang selama ini kerap diabaikan orang adalah manusia, dalam hal ini warga negara sebagai agen (agency). Ia percaya ada hubungan erat antara demokrasi, pembangunan manusia (human development), dan hak asasi manusia (human rights) (O’Donnell, 2004).
Artinya, bahwa konteks demokrasi yang paling mendasar adalah soal pemenuhan hak asasi manusia, tetapi menjadi pertanyaan besar ketika dikaitkan pada ajang Pilkada kali ini. Sudah seharusnya warga negara menjadi agen utama yang diprioritaskan haknya dan negara melalui pemerintah menjadi fasilitator dalam mewujudkannya. Pertanyaan selanjutnya adalah pilkada ini apakah hanya akan menjadi ajang pesta elit di tingkat atas atau menjadi penderitaan besar masyarakat di tingkat bawah yang ‘pemimpinnya’ hanya memikirkan transaksi kekuasaan daripada keselamatan masyarakatnya.
“Satu suara di Pilkada mungkin menentukan 5 tahun nasib daerahnya, tetapi satu pertolongan dan kepedulian di masa pandemi ini menyelamatkan puluhan bahkan ratusan tahun hidup setiap manusianya.”
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: