Oleh: Galeh Akbar Tanjung (Anggota Bawaslu Kaltim)
Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa pemilu itu merupakan pesta demokrasi. Layaknya pesta yang ada di masyarakat, hajatan yang digelar 5 (lima) tahun sekali itu setidaknya diisi dengan kegembiraan dan kesenangan oleh warga di bangsa ini. Hajatan ini merupakan sarana di bangsa ini untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota dan Wakil Rakyat secara langsung, jujur, adil dan rahasia.
Kita perhatikan pemilu 2019 yang telah usai, namun masih ada permasalahan yang sama dari pemilu ke pemilu yang muncul dan belum berhasil dicegah dan tertangani secara keseluruhan. Seperti halnya politik uang yang selalu ada dan ini seakan menjadi kebutuhan dalam pemilu.
Politik uang merupakan istilah lain dari pemberian uang atau barang pada saat tahapan kegiatan kampanye atau menjelang hari pemungutan suara pada Pemilu maupun Pilkada. Uang dan barang tersebut di jadikan alat untuk mempengaruhi pemilih agar pemilih memilih orang yang memberikan uang atau barang tersebut. Dalam konteks pemilu, hak pilih menjadi komoditas jual yang memiliki nilai pasar tinggi, sehingga banyak caleg maupun kandidat yang ingin memiliki dukungan dengan membeli hak suara masyarakat.
Di sini pemilu ibarat pasar bagi pelaku curang yang menggunakan uang untuk mendulang dukungan. Kemenangan dalam pemilu bukan hanya soal siapa memiliki modal dan meraup suara terbanyak, namun lebih pertanggungjawaban akan suara yang diraih dan penyampai aspirasi yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat untuk kesejahteraan. Tak heran ketika dalam perhelatan pesta demokrasi, tokoh komunitas-komunitas akan menjadi magnet yang mampu mengumpulkan suara dan menjelma menjadi agen-agen transaksi.
Dalam peraturan pemilu kita tidak akan menjumpai istilah politik uang. Tengok Pasal 286, ayat (1) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi “Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih.” Namun di masyarakat pemberian yang berdampak pada mempengaruhi pilihan kemudian lebih dikenal dengan politik uang.
Larangan terkait politik uang ini bukan tanpa dasar. Namun secara substansi Pemilihan Umum merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis. Masyarakat diharapkan memilih dengan tanpa pengaruh oleh pihak lain, tapi memilih berdasarkan keinginan pribadi dengan mempertimbangkan visi, misi, program kerja maupun kemampuan calon wakil rakyat yang bisa menjalankan amanah dengan baik.
Penyelenggara pemilu sebenarnya memberikan ruang bertemu antara calon wakil rakyat dengan pemilih melalui kampanye. Kampanye sendiri merupakan sarana penyampaian visi, misi, program kerja dan sekaligus sebagai uji kemampuan komunikasi untuk meyakinkan para pemilih, ketika keyakinan masyarakat terbangun maka masyarakat pasti akan memilih. Kehadiran politik uang ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan para calon wakil rakyat meyakinkan pemilih melalui kampanye tersebut, sehingga lebih memilih cara instan dengan politik uang.
Ada hal yang sangat menarik ketika dilakukan survei persepsi masyarakat terhadap politik uang. Survei ini di lakukan oleh Klinik Pemilu Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, bekerjasama Dengan Bawaslu Kaltim. Survei ini mengambil lokus di Desa Loa Duri Ilir dengan 600 responden yang telah memiliki hak pilih. Hasil survei tersebut di antaranya adalah, ketika masyarakat yang menjadi responden ditanya “alasan menerima uang atau barang dari kandidat?” 50% responden menjawab bahwa sayang jika ditolak, karena rezeki, 28% menganggap itu hal biasa, 13% berpendapat bahwa penerimaan tersebut untuk mencari keuntungan dari kandidat, sedangkan 9% akan memilih kandidat yang akan membayar.
Angka 50% sebagai rezeki dan 13% mencari keuntungan dari kandidat itu bukan sebuah berkah, namun menjadi musibah atas demokrasi di bangsa ini. Uuang yang diterima akan mempengaruhi putusan masyarakat dalam menentukan pilihan. Uang yang diterima juga merupakan pembelian hak suara masyarakat sehingga aspirasi masyarakat tidak perlu di penuhi karena telah terbeli sebelumnya. Politik uang merupakan penyakit sistemik yang perlu dicegah dari awal.
Pencegahan terhadap potensi politik uang merupakan tanggung jawab bersama antara penyelenggara pemilu, pemerintah dan peserta pemilu, pencegahan tersebut dilakukan melalui sosialisasi sebagai bentuk pendidikan politik untuk masyarakat agar terbangun kesadaran kolektif dan meminimalisir atau bahkan memberangus politik uang dalam setiap pesta demokrasi.
Dampak dan Sanksi Politik Uang
Peredaran uang yang banyak menjelang hari pemungutan suara membuat silau para pemilik hak pilih. Iming-iming pertukaran suara dengan uang mulai didengungkan sampai terjadinya transaksi jual beli suara. Tanpa disadari dan diketahui asal muasal uang yang di berikan dari para caleg maupun kandidat. Entah dari pinjaman atau penjualan aset guna meraih dukungan maksimal. Tentu akan menjadi pertanyaan ketika kemenangan diraih dengan modal yang banyak, mulai dari membayar hutang? mengembalikan aset? dan menumpuk aset serta menabung modal untuk pertarungan berikutnya?
Pola pikir yang terbangun ketika calon wakil rakyat dan kandidat terpilih sebagai wakil rakyat dan pemimpin dengan proses curang dengan menghalalkan politik uang, tentu dalam setiap kebijakannya bukan berorientasi penyampai aspirasi serta penyambung lidah rakyat, namun lebih berorientasi proyek dan profit dalam setiap kebijakan yang akan di buat.
Ketika proyek dan profit sebagai landasan berpikir, maka kebijakan pembangunan jauh dari kata mensejahrerakan masyarakat Indonesia, akan lebih menambah pundi-pundi dari setiap kebijakan.
Maka dalam Undang-undang Pemilu secara tegas diatur terkait larangan kampanye yang berkaitan dengan politik uang. Seperti termaktub dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j bahwa dalam kampanye Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu”, yang kemudian di rangkai dengan sanksi pada Pasal 523 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
Peraturan di atas jelas terhadap pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu ketika mengabaikan larangan yang telah di atur maka akan dikenakan sanksi 2 (dua) tahun kurungan penjara dan denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Dalam proses penanganan pelanggaran terkait pidana pemilu akan ditangani oleh Bawaslu dan kemudian dibahas bersama antara Bawaslu, Kejaksaan dan Kepolisian yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Sentra Gakkumdu inilah yang akan menilai keterpenuhan unsur dalam perkara dugaan pidana pemilu.(*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post