LAYAKNYA pahlawan Kaltim lainnya, nama Awang Long diabadikan pemerintah baik untuk nama jalan maupun nama instansi/lembaga di Bumi Etam. Termasuk salah satunya menjadi nama batalion infanteri di lingkungan Kodam VI Mulawarman, Yonif 611 Awang Long (Awl) di Loa Janan, Samarinda.
Menariknya, nama yang disandang sejak 24 Oktober 1970 tersebut bukan sekadar tempelan atau penghargaan terhadap panglima militer Kerajaan Kutai Kartanegara tersebut. Melainkan semangat sang senapati benar-benar diresapi dan ditularkan kepada para personel infanteri di Yonif 611/Awl tersebut. Hal ini ditandai dengan “ritual” ziarah makam yang rutin dilakukan Yonif 611/Awl.
Komandan Yonif 611/Awl, Mayor Inf Moch Rizqi Hidayat Djohar menuturkan, satuannya bukan sekadar menyandang nama Awang Long. Melainkan turut menggembleng setiap prajurit untuk meneladani kepahlawanan sang panglima.
Pengenalan terhadap sosok Awang Long dilakukan Yonif 611/Awl sejak prajurit baru menjejakkan kaki di lingkungan batalion. Yaitu dengan mengharuskan prajurit maupun komandan yang baru bertugas di Yonif 611/Awl, untuk melakukan ziarah ke makam Awang Long di kompleks pemakaman Awang Long di RT 4 Kelurahan Sukarame, Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar).
“Tujuannya (ziarah) untuk menumbuhkan rasa bangga dan cinta kepada kesatuan. Supaya mengenang Awang Long sebagai panglima pendahulu, meneladani sikap-sikap positifnya, jiwa pemberani, pengabdian, dan setia pada negara,” urai Rizqi.
Dalam ziarah tersebut, para prajurit baru mengikuti latihan taktis untuk mengambil badge Awang Long di bukit yang berada di belakang makam Awang Long. Kisah Awang Long sendiri secara garis besar disampaikan kepada para prajurit di lingkungan Yonif 611/Awl, khususnya terkait sikap dan perilaku yang layak diteladani.
Ziarah ke makam Awang Long turut dilakukan sebelum dan sesudah Yonif 611/Awl melakukan operasi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Awang Long selaku panglima pendahulu di tanah Kutai.
MENYIMPAN MISTERI
Sebagaimana usia yang masih dipertanyakan, makam Awang Long di Sukarame, Tenggarong turut menyimpan misteri. Menurut keterangan sejarah yang telah dibukukan para sejarawan Kutai terdahulu meliputi D Adham, Anwar Suttun, dan Aslie Amin bersama Amir Hamzah Idar, diriwayatkan bila makam Awang Long di pemakaman muslimin Kampung Panji tersebut berdampingan dengan makam salah seorang istrinya.
Tidak begitu jelas siapa yang menemukan pertama kali situs yang berada di dekat teluk tersebut. Hanya saja, dalam buku lokal yang dimaksud, terdapat tulisan yang berbunyi “Karena ratap tangis yang berkepanjangan dari rakyat yang mengantar jenazah Awang Long, maka teluk itu disebut Teluk Menangis.”
Belakangan dicocokkan adanya makam yang berdampingan seperti halnya makam suami istri, sebagaimana terlihat di Sukarame. Terdapat beberapa kemungkinan terkait jenazah Awang Long, yang di antaranya diikutkan bersama pasukannya sampai di Teriti, atau mungkin direncanakan dibawa serta ke hadapan sultan di Kota Bangun.
“Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, mengingat Awang Long pada saat itu adalah seorang panglima di mata pasukannya sebagai sosok yang sangat diagung-agungkan,” kata Hamdani, salah seorang penyusun buku “Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur” yang mencantumkan kisah Awang Long.
Versi lain mengenai makam Awang Long menyebutkan, dari sumber Datuk Mis, Aji Pangeran Misbahuddin bergelar Aji Pangeran Soemantri II, dituturkan bahwa pada peristiwa tertimpanya tembok kayu ulin yang mengakibatkan Awang Long luka parah dan meninggal dunia, jenazahnya dibawa serta merta sampai ke Dusun Teriti di Mahulu. Tepatnya di benteng pertahanan terakhir pasukan Sepangan Raja.
Di benteng tersebut, pasukan Awang Long masih bertahan meladeni gempuran pasukan Belanda. Sisa pasukan Awang Long melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Bangun setelah meladeni gempuran serangan Belanda. Di tengah jalan antara Tenggarong dan Kota Bangun, tepatnya di Selerong, Awang Long dimakamkan senja, 12 April 1884.
“Selerong dianggap aman dari pengejaran serta penggalian makam Panglima Awang Long oleh pasukan Belanda, akhirnya timbul inisiatif untuk dimakamkan di Selerong. Karena sangat mustahil untuk terus membawa jenazah Awang Long ke hadapan sultan di Kota Bangun mengingat jaraknya yang masih cukup jauh,” beber Hamdani.
Dengan dimakamkannya di Selerong, almarhum Awang Long diberi gelar “Ni Ranca Suji di Selerong”. Namun sampai saat ini tidak ditemui satu tanda atau nisan tentang keberadaan makam Awang Long. Selanjutnya menurut penuturan Datuk Mis, ketiadaan nisan tersebut karena alasannya saat itu tidak ingin makamnya diketahui Pasukan Belanda.
Masyarakat Kukar dan Kaltim sendiri secara umum meyakini makam Awang Long berada di Sukarame. Untuk mendapatkan informasi lebih dalam, tim Bontang Post mendatangi makam tersebut. Menempuh perjalanan sekira 119 kilometer dari Bontang ke Tenggarong dengan menumpang mobil, tim sempat bertanya kepada warga sekitar terkait keberadaan makam tersebut.
Dalam penelusuran media ini, warga Tenggarong sebagian besar mengetahui lokasi makam Awang Long tersebut. Namun sebagian lagi, khususnya kalangan remaja dan anak-anak, hanya mengetahui lokasi makam sebagai pemakaman umum biasa. Mereka sempat bingung saat media ini mencoba menanyakan lokasi makam Awang Long.
Keberadaan makam Awang Long ini sendiri rupanya tak jauh dari Museum Mulawarman. Tepatnya beberapa kilometer saja ke arah utara dari Museum Mulawarman, menelusuri tepian Sungai Mahakam menuju Jalan Awang Long Senopati.
Beberapa meter memasuki Jalan Awang Long Senopati, makam tersebut bisa ditemukan di kiri jalan, di sebuah gang dengan papan nama putih berdiri, bertuliskan “Makam Pahlawan Awang Long Gelar Pangeran Senopati”. Melintasi gapuranya, masih perlu melangkahkan kaki sekira 90 meter hingga mencapai ke kompleks makam muslimin tempat makam Awang Long berada.
Makam Awang Long bisa langsung ditemukan saat pertama kali menginjakkan kaki di areal makam. Pasalnya, makam Awang berada dalam pendopo kecil beratap dan bertangga, berlantai ubin putih, dan dikelilingi pagar kayu. Posisinya lebih tinggi dibandingkan makam-makam lain di sekitarnya.
Dalam pendopo seluas sekira 6×6 meter, dengan satu pintu pagar tersebut, terdapat dua makam berkijing. Satu makam di sisi dalam lebih tinggi kijingnya dibandingkan makam lainnya. Makam tersebut dipercaya sebagai makam Awang Long, sementara makam lainnya diyakini sebagai makam salah seorang istri Awang Long.
Tak diketahui jelas siapa istri Awang Long yang dimakamkan di sana. Mengingat dalam catatan sejarah sang panglima disebut memiliki dua istri, namun dari keduanya Awang Long tak dikaruniai anak. Sementara batu nisan kedua makam tersebut tampak polos tanpa tulisan sedikit pun.
“Tidak tahu istri yang mana. Hanya diyakini kalau itu makam istri Awang Long,” tutur Ahmad Uni, warga Tenggarong yang pernah menjaga makam tersebut selama 13 tahun.
Meski diyakini secara luas sebagai makam Awang Long, namun Uni menyebut bisa saja makam itu bukan makam Awang Long. “Ada yang meragukan (makam Awang Long). Karena sejarahnya juga kurang jelas,” tutur Uni yang menjadi petugas kebersihan makam sejak 2000 hingga 2013 ini.
Keraguan tersebut dikarenakan adanya makam keramat tanpa nama di lokasi makam Awang Long. Nisan makam itu sempat akan dipindah saat akan dibuatkan pendopo kecil untuk menandai makam Awang Long sekira tahun 1980-an. Namun yang mengherankan, meski sudah ditarik dengan kendaraan berat, nisan tersebut tak mampu dipindahkan.
“Makam yang dikenal sebagai makam Awang Long itu bisa jadi memang makam Awang Long, bisa juga makam keramat tersebut. Tapi masyarakat secara umum meyakini itu Makam Awang Long,” jelasnya.
Berangkat dari keyakinan tersebut, makam Awang Long lantas mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini, bangunan makam tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kaltim.
Meski menjadi cagar budaya, Uni menyatakan makam Awang Long itu tak ubahnya makam pada umumnya. Pemakaman yang ditempati makam tersebut pun layaknya pemakaman umum warga biasanya. Yang rutin disambangi keluarga atau kerabat dari orang-orang yang dimakamkan di sana.
“Saya pernah tahu ada kerabat Awang Long yang berziarah ke sini. Di luar itu saya rasa tidak ada yang khusus. Tapi biasanya kalau hari kemerdekaan atau hari pahlawan, prajurit TNI ziarah ke sini. Mereka juga berlatih di bukit di belakang makam ini,” beber pria 45 tahun ini.
Memang, tak banyak informasi tentang Awang Long yang bisa didapatkan dari makam ini. Karena di depan pendopo makam, hanya tergantung dua papan putih yang menyatakan makam tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Keterangan yang terpampang dalam dua papan tersebut hanya menyebutkan keterangan benda cagar budaya berikut larangan merusaknya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: